Sabtu, 20 Februari 2010

Bahan Tambahan Pangan Berbahaya dalam Pangan Asal Hewan

Denny Widaya Lukman
Bagian Kesmavet FKH IPB



Pendahuluan

Keamanan pangan merupakan persyaratan utama yang semakin penting di era perdagangan bebas. Masalah pentingnya keamanan pangan juga telah tercantum dalam Deklarasi Gizi Dunia dalam Konferensi Gizi Internasional pada tanggal 11 Desember 1992 „kesempatan untuk mendapatkan pangan yang bergizi dan aman adalah hak setiap orang“ (ICD/SEAMEO TROPMED RCCN 1999). Pangan yang aman, bermutu, bergizi, berada dan tersedia cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makan berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Setiap negara membutuhkan program keamanan pangan yang efektif untuk melindungi kesehatan bangsa dan berpartisipasi dalam produk perdagangan pangan internasional. Perdagangan merupakan pendorong penting bagi pengembangan ekonomi suatu negara dan dengan ekonomi global saat ini, tidak mungkin suatu negara tetap mengisolasi dari perubahan tuntutan persyaratan internasional tentang peraturan keamanan pangan. Berkaitan dengan pengaturan pangan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-undang tersebut merupakan landasam hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Undang-undang ini juga merupakan acuan dari berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan pangan. Agar Undang-undang Pangan ini dapat diterapkan dengan mantap, maka pemerintah melengkapinya dengan Peraturan Pemerintah. Salah satu peraturan pemerintah yang telah ditetapkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

Pangan asal hewan seperti daging, susu dan telur serta hasil olahannya umumnya bersifat mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung bahaya biologik, kimiawi dan atau fisik, yang dikenal sebagai potentially hazardous foods (PHF). Hal tersebut berhubungan dengan faktor intrinsik pangan asal hewan yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, pangan asal hewan secara alami memiliki enzim-enzim yang dapat mengurai protein dan lemak sehingga terjadi autolisis. Oleh sebab itu, telah banyak cara atau metode yang dikembangkan untuk mengawetkan pangan dengan cara menghambat pembusukan dengan mengurangi atau menghilangkan mikroorganisme pembusuk dalam pangan asal hewan, bahkan juga dapat mengurangi dan menghilangkan mikroorganisme patogen.

Salah satu metode pengawetan pangan adalah pemakaian bahan tambahan pangan (BTP). Dari aspek keamanan pangan, pemakaian BTP yang salah dan berlebihan dapat membawa dampak negatif bagi kesehatan konsumen.


Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alamai bukan meruapakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Syah et al. 2005). Menurut Penjelasan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, antigumpal, pemucat, dan pengental.

Tujuan penggunaan BTP adalah untuk (1) mengawetkan makanan, (2) membentuk makanan lebih baik, lebih renyak dan enak di mulut, (3) memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera, (4) meningkatkan kualitas pangan, serta (5) menghemat biaya (Syah et al. 2005).

BTP digolongkan berdasarkan tujuan penggunaannya di dalam pangan. Pengelompokan BTP yang diizinkan digunakan pada makanan dapat digolongkan sebagai: pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan penguat rasa serta aroma, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap dan pengental, pengeras, dan sekuestran (pengikat ion logam). BTP lain yang ditambahkan ke makanan adalah enzim, penambah gizi, dan humektan yaitu BTP yang dapat menyerap uap air sehingga mempertahankan kadar air pangan (Syah et al. 2005).

Berdasarkan fungsinya, menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 235/Menkes/Per/VI/1979, BTP dapat dikelompokkan menjadi 14, yaitu: (1) antioksidan, (2) antikempal, (3) pengasam, penetral dan pendapar, (4) enzim, (5) pemanis buatan, (6) pemutih dan pematang, (7) penambah gizi, (8) pengawet, (9) pengemulsi, pemantap dan pengental, (10) pengeras, (11) pewarna alami dan sintetis, (12) penyedap rasa dan aroma, (13) sekuestran, (14) BTP lain.

Pada pangan asal hewan yang segar, terutama daging, banyak digunakan bahan pengawet oleh pedagang untuk memperpanjang masa simpan. Di Eropa, pemakaian bahan pengawet pada daging segar tidak diperkenankan. Pendinginan adalah cara yang diperkenankan untuk mempertahankan kesegaran daging. Jika mengikuti konsep aman sehat utuh dan halal (ASUH) di Indonesia, penggunaan bahan pengawet pada daging juga tidak diperkenankan, karena tidak memenuhi prinsip utuh (tidak ada penambahan atau pengurangan bahan). Selain bahan pengawet, BTP yang mungkin diberikan pada pangan asal hewan segar antara lain antioksidan dan enzim pengempuk daging.

Dalam prakteknya saat ini banyak produsen atau pedagang yang menggunakan bahan tambahan yang berbahaya bagi kesehatan konsumen yang sebenarnya bukan untuk pangan atau dilarang digunakan untuk pangan. Pengaruh BTP terhadap kesehatan manusia umumnya tidak langsung dapat dilihat atau dirasakan dalam waktu dekat, karena umumnya bersifat akumulatif (kronis). Praktek penggunaan BTP yang menyimpang oleh produsen atau pedagang pangan umumnya berkaitan dengan ketidak-tahuan produsen atau pedagang mengenai sifat dan keamanan BTP atau berkaitan dengan penghematan biaya produksi.

Penyimpangan atau pelanggaran penggunaan BTP yang sering dilakukan oleh produsen pangan, yaitu: (1) menggunakan bahan tambahan yang dilarang penggunaannya untuk makanan, dan (2) menggunakan BTP melebihi dosis yang diizinkan (Syah et al. 2005).

BTP yang diperkenankan digunakan untuk pangan telah diteliti dan diuji lama, terutama dari aspek toksisitasnya dan risiko terhadap kesehatan. Oleh sebab itu, setiap BTP telah ditetapkan nilai acceptable daily intake (ADI) dan batas maksimum penggunaannya oleh pemerintah atau organisasi internasional (Sinell 1992). Di tingkat internasional, masalah keamanan BTP (food additive) secara rutin dibahas oleh the Joint FAO/WHO Experts Committee on Food Additive (JECFA), yang merupakan forum internasional yang paling berwibawa di dunia dalam menyarikan pendapat dan pandangannya mengenai masalah keamanan BTP (Winarno 2004).

Dalam UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, BTP diatur dalam Bagian Kedua Pasal 10, 11 dan 12. Pangan yang diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai BTP yang dinyatakan terlarang atau melampaui batas maksimal yang ditetapkan. Pemerintah menetapkan BTP yang dilarang dan atau dapat digunakan, serta ambang batas maksimalnya (Pasal 10). BTP yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam pangan untuk diedarkan dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Pemerintah (Pasal 11).


Bahan Tambahan Berbahaya dalam Pangan Asal Hewan

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 menetapkan sejumlah BTP yang aman ditambahkan ke dalam pangan, serta menetapkan daftar BTP yang dilarang digunakan. BTP yang dilarang digunakan adalah: asam borat, asam salisilat, dietilpirokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan formalin. Terkait dengan distribusi dan pengawasan bahan berbahaya tersebut, Menteri Perdagangan telah menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-Dag/Per/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.

Untuk zat pewarna sebagai BTP yang dilarang telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 239/Menkes/ Per/V/1985, yang menetapkan 30 zat pewarna tertentu yang dinyatakan berbahaya. Zat pewarna yang dilarang adalah auramine, alkanet, butter yellow, black 7984, burn umber, chrysbidine, chrysoine S, citrus red no. 2, chocolate brown FB, fast red E, fast yellow AB, guinea green B, indanthrene blue RS, magenta, metanil yellow, oil orange SS, oil orange XO, oil yellow AB, oil yellow OB, orange G, orange GGN, orange RN, orchil and orcein, ponceau 3R, ponceau SX, ponceau 6R, rhodamin B, sudan I, scarlet GN, violet 6B.

Bahan tambahan berbahaya yang sering digunakan oleh produsen pangan asal hewan segar sebagau bahan pengawet, antara lain: formalin untuk karkas ayam dan asam borat (boraks) untuk pembuatan baso.


Formalin

Formalin atau formaldehid adalah larutan 37% formaldehid dalam air, yang biasanya mengandung 10-15% metanol untuk mencegah polimerisasi. Formalin ditujukan sebagai bahan antiseptik, disinfektan, dan pengawet jaringan atau spesimen biologi dan pengawet mayat. Selain itu, formalin umum digunakan untuk pembersih lantai; pembasmi lalat dan serangga; bahan pembuatan sutra, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak; bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea; bahan pembuatan parfum; bahan perekat untu produk kayu lapis.

Penyalahgunaan penggunaan formalin dalam makanan sering ditemukan pada jenis makanan tahu, mi, kerupuk, ikan, karkas ayam.

Dalam dosis rendah, jika formalin tertelan akan menyebabkan iritasi lambung, sakit perut, disertai muntah-muntah, menimbulkan depresi susunan syaraf, serta kegagalan peredaran darah. Selain itu, formalin juga dapat menyebabkan alergi, kanker (bersifat karsinogenik), mutagen atau perubahan fungsi sel atau jaringan (bersifat mutagenik). Dalam dosis tinggi, formalin yang tertelan dapat menyebabkan kejang-kejang, kencing darah, tidak dapat kencing, muntah darah, dan akhirnya menyebabkan kematian.

Penggunaan formalin dalam jangka waktu lama akan berakibat buruk pada organ tubuh, seperti kerusakan hati dan ginjal.


Asam Borat (Boraks)

Asam borat atau boraks atau boric acid merupakan senyawa berbentuk kristal putih, tidak berbau, serta stabil pada suhu kamar dan tekanan normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium hidroksida dan asam borat. Umumnya boraks digunakan untuk mematri logam, pembuatan gelas dan enamel, pengawet kayu, pembasmi kecoa. Namun boraks sering disalahgunakan untuk campuran pembuatan bakso, kerupuk, dan mi.

Boraks biasanya bersifat iritan dan racun bagi sel-sel tubuh, berbahaya bagi susunan syaraf pusat, ginjal, dan hati. Jika tertelan akan menimbulkan kerusakan usus, otak atau ginjal. Jika digunakan berulang-ulang secara kumulatif akan tertimbun di otak, hati, dan jaringan lemak. Asam borat ini akan menyerang sistem syaraf pusat dan menimbulkan gejala seperti mual, muntah, diare, kejang perut, iritasi kulit, gangguan peredaran darah, koma, bahkan dapat menimbulkan kematian akibat gangguan peredaran darah.


Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah golongan antibiotik dengan spektrum luas, dan biasa digunakan unutk mengobati infeksi Salmonella, meningitis, dan infeksi riketsia yang resisten dengan tetrasiklin.

Pada beberapa orang, kloramfenikol dapat menyebabkan ketidaknormalan produksi sel darah (blood dyscrasias) atau menyebabkan anemia aplastik akibat kerja kloramfenikol pada sumsum tulang. Kloramfenikol juga diketahui memiliki sifat karsinogenik. Oleh sebab itu, penggunaan kloramfenikol pada hewan produksi dilarang.


Pengawasan Bahan Tambahan Berbahaya dalam Pangan Asal Hewan

Dalam rangka menjamin pangan asal hewan yang aman dan layak (safe and suitable for human consumption) dianjurkan penerapan jaminan keamanan dan mutu pangan mulai dari peternakan sampai dikonsumsi. Konsep ini dikenal dengan safe from farm to table concept. Pada setiap tahapan dalam mata rantai penyediaan pangan asal hewan diterapkan good practices. Good practices di peternakan dikenal sebagai good farming practices, saat pemerahan dikenal sebagai good milking practice, di rumah pemotongan hewan/unggas dikenal good slaughtering practices, di industri dikenal sebagai good manufacturing practices. Good practices tersebut merupakan dasar atau fondamen dari penerapan sistem jaminan keamanan pangan.

Pengendalian dan pencegahan pemakaian bahan tambahan yang berbahaya dalam pangan yang efektif dimulai dari komitmen dari produsen pangan. Selain itu, pemerintah berkewajiban mengatur dan mengawasi produksi, distribusi dan peredaran bahan kimia sehingga tidak masuk ke dalam rantai makanan. Hal itu didukung oleh pemberlakuan peraturan perundangan dan penegakan hukumnya. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain pengambilan contoh dalam rangka monitoring dan surveilen, inspeksi, audit dan sertifikasi. Konsumen perlu dilibatkan dalam pengawasan pemakaian bahan tambahan berbahaya untuk pangan.

Di Indonesia, peraturan tentang bahan tambahan pangan telah diatur dalam UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, serta untuk jenis BTP yang dilarang ditetapkan melalui Permenkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, dan zat pewarna yang dilarang untuk makanan ditetapkan dalam Permenkes Nomor 239/Menkes/ Per/V/1985.

Pengawasan pemakaian bahan tambahan berbahaya dalam pangan asal hewan yang perlu dilaksanakan oleh Pemerintah antara lain inspeksi, monitoring dan surveilens, akreditasi dan sertifikasi. Untuk itu diperlukan sistem keamanan pangan asal hewan yang merupakan bagian dari sistem kesehatan masyarakat veteriner (SISKESMAVET), yang harus didukung oleh organisasi, sarana dan prasarana, sumberdaya manusia, program yang baik, sistem informasi yang baik, serta dana yang rasional dan operasional.

Pengujian laboratorium terhadap bahan tambahan berbahaya dari contoh pangan asal hewan perlu menjadi program nasional yang terencana, rutin, berkesinambungan sebagai bagian dari program monitoring dan surveilens. Pengujian contoh sebaiknya dilakukan di laboratorium yang terakreditasi. Data hasil pengujian laboratorium uji harus senantiasa dianalisis menggunakan statistik untuk memperoleh kesimpulan yang sahih, serta diinformasikan melalui jejaring informasi laboratorium, yang selanjutnya dibuat kesimpulan secara nasional oleh pemerintah mengenai keberadaan, jenis, konsentrasi, dan penyebaran bahan tambahan berbahaya dalam pangan asal hewan.



BAHAN BACAAN

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 235/Menkes/Per/VI/1979 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 239/Menkes/ Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-Dag/Per/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.

Sinell H.-J. 1992. Einführung in die Lebensmittelhygiene. 3. überarbeitete Auflage. Verlag Paul Parey, Berlin.

Syah D. et al. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan Jilid 2. M-Brio Press, Bogor.

Tidak ada komentar: