Minggu, 12 Oktober 2008

KESMAVET: Definisi, Ruang Lingkup dan Tantangan

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER: DEFINISI, RUANG LINGKUP, DAN TANTANGAN

Denny Widaya Lukman
Bagian Kesmavet FKH IPB



Definisi

Istilah Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal sebagai Veterinary Public Health (VPH) diperkenalkan pertama kali oleh World Health Organization (WHO) dan Food Agriculture Organization (FAO) pada laporannya the Joint WHO/FAO Expert Group on Zoonoses pada tahun 1951. Dalam laporan tersebut, Kesmavet (VPH) didefinisikan sebagai seluruh usaha masyarakat yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh seni dan ilmu kedokteran hewan yang diterapkan untuk mencegah penyakit, melindungi kehidupan, dan mempromosikan kesejahteraan dan efisiensi manusia (veterinary public health comprises all the community efforts influencing and influenced by the veterinary medical arts and sciences applied to the prevention of diseases, protection of life, and promotion of the well-being and efficiency of man).

Menurut Schwabe (1984), istilah Kesmavet mengarah kepada bidang kesehatan masyarakat yang mana kedokteran hewan berkontribusi secara khusus.

Selanjutnya definisi Kesmavet dimodifikasi oleh WHO/FAO pada tahun 1975. Kesmavet didefinisikan sebagai suatu komponen aktivitas kesehatan masyarakat yang mengarah kepada penerapan keterampilan, pengetahuan dan sumberdaya profesi kedokteran hewan untuk perlindungan dan perbaikan kesehatan masyarakat (veterinary public health is a component of public health activities devoted to the application of professional veterinary skills, knowledge and resources for the protection and improvement of human health).

Pada tahun 1999, WHO, FAO, OIE dan WHO/FAO Coloborating for Research and Training in Veterinary Epidemiology and Management mengusulkan definisi kesmavet dikaitkan dengan definisi sehat menurut WHO. Menurut WHO, health is the state of complete physical, mental, and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity. Oleh sebab itu, pada tahun 1999, Kesmavet didefinisikan sebagai kontribusi terhadap kesejahteraan fisik, mental dan sosial melalui pemahaman dan penerapan ilmu kedokteran hewan (veterinary public health is the contribution to the complete physical, mental, and social well-being of humans through an understanding and application of veterinary medical science).

Indonesia memasukkan istilah Kesmavet pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Definisi Kesmavet dalam UU tersebut adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983.

Kesmavet merupakan penghubung antara bidang pertanian/peternakan dan kesehatan. Ruang lingkup tugas dan fungsi kesmavet adalah administrasi dan konsultasi, pencegahan penyakit zoonotik, higiene makanan, riset dan penyidikan penyakit hewan dan zoonosis, serta pendidikan kesmavet. Secara garis besar, tugas, dan fungsi kesmavet adalah menjamin keamanan dan kualitas produk-produk peternakan, serta mencegah terjadinya resiko bahaya akibat penyakit hewan/zoonosis dalam rangka menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.



Ruang Lingkup dan Fungsi Kesmavet

1. Memberi masukan teknis dalam penyusunan peraturan perundangan, kebijakan, pedoman, perencanaan strategis dan pelaksanaan dalam bidang pengendalian dan pencegahan penyakit hewan dan manusia, sanitasi, higiene, dan lingkungan;
2. Pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik atau zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia);
3. Higiene pangan dan keamanan pangan, termasuk pengendalian foodborne illness (penyakit yang ditularkan melalui makanan);
4. Identifikasi dan evaluasi bahaya-bahaya (hazards) baik biologis, kimiawi, dan fisik yang menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan hewan;
5. Pendidikan kesehatan masyarakat;
6. Kerjasama antar instansi/badan dalam rangka menjamin kesehatan hewan, manusia, lingkungan.


Tantangan Kesmavet


1. Perubahan demografi (penduduk) dan dampak urbanisasi
2. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat
3. Perubahan industri dan teknologi
4. Pariwisata
5. Perdagangan bebas/global
6. Mikrooganisme atau agen patogen baru (emerging disease), serta adaptasi dan resistensi mikroorganisme
7. Disaster medicine
8. Kesejahteraan hewan
9. Agriculture bioterorisms

Product Safety di RPH

PRODUCT SAFETY PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN

Denny Widaya Lukman

Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Disampaikan pada fgW Food Conference di Jakarta, 6-7 Oktober 2004

Pendahuluan

Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food). Beberapa penyakit hewan yang bersifat zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan kepada manusia) dapat ditularkan melalui daging (meat-borne disease). Selain itu, daging juga dapat mengandung residu obat hewan dan hormon, cemaran logam berat, pestisida atau zat-zat berbahaya lain, sehingga daging juga dikategorikan sebagai pangan yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan manusia (potentially hazardous food/PHF). Agar daging tetap bermutu baik, aman dan layak untuk dikonsumsi, maka perlu penanganan daging yang aman dan baik mulai dari peternakan sampai dikonsumsi. Konsep tersebut dikenal sebagai safe from farm to table concepts.

Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem product safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.

Penerapan product safety pada RPH ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan dan mutu daging yang dihasilkan, termasuk kehalalan, dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen, serta turut menjaga kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu, sistem tersebut berfungsi sebagai pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis di RPH sebagai bagian dari sistem kesehatan hewan nasional.

Penyediaan pangan yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi di Indonesia telah diatur oleh peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Khusus untuk pangan asal hewan (daging, susu dan telur) diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu, kebijakan pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, terhadap penyediaan daging di Indonesia harus memenuhi konsep penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).



Penyediaan Daging dan RPH di Indonesia

Penyediaan daging di Indonesia dipasok dari pemotongan hewan di dalam negeri (lokal) dan impor (pemasukan) daging dari luar negeri. Seiring dengan peningkatan penduduk di Indonesia, konsumsi daging di Indonesia pada lima tahun terakhir (1999-2003) terus meningkat, dengan rata-rata peningkatan rata-rata konsumsi daging sebesar 15,0% per tahun.

Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. Dalam peraturan tersebut, persyaratan RPH dibagi menjadi empat kelas (A, B, C dan D) berdasarkan peredaran dagingnya. Pengelompokan tersebut mengatur fasilitas yang harus dimiliki oleh suatu RPH, bukan mengatur persyaratan minimum yang menyangkut aspek teknik higiene, sanitasi dan kesehatan masyarakat veteriner.

Sebaiknya persyaratan RPH yang diatur adalah persyaratan minimum yang harus dimiliki oleh suatu RPH, terutama yang berkaitan dengan aspek higiene dan sanitasi, mengingat RPH adalah suatu tahapan dalam mata rantai penyediaan daging yang memungkinkan munculnya risiko yang dapat membahayakan kesehatan konsumen dan atau menyebabkan penurunan mutu daging. Kemudian pada tahun 1999 diterbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan, yang memuat persyaratan minimum yang harus dimiliki oleh RPH yang memenuhi ketentuan higiene dan sanitasi. Namun sayangnya SNI ini masih bersifat sukarela (voluntary).

Jumlah RPH di Indonesia menurut Buku Statistik Peternakan 2003 sebanyak 777 RPH sapi/kerbau dan 208 RPH babi. Namun secara umum, lokasi dan kondisi hampir seluruh RPH tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan, baik dari aspek lingkungan, higiene dan sanitasi. Umumnya RPH yang ada saat ini dibangun sejak zaman penjajahan Belanda (+ 50-70 tahun), dikelola oleh pemerintah daerah dan proses penyembelihan hewan dilakukan secara tradisional.

Berdasarkan sistem jaminan keamanan pangan yang dikenal dengan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), maka penyembelihan di RPH dapat dikategorikan sebagai titik kendali kritis (critical control point). Beberapa bahaya-bahaya yang mungkin terdapat pada daging dapat dikendalikan (dihilangkan atau diturunkan sampai tingkat yang dapat diterima) di RPH. Selain itu, RPH memegang peran penting dalam pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis, sebagai bagian dari sistem kesehatan hewan nasional. Sehingga peran dan fungsi RPH dalam mata rantai penyediaan daging perlu mendapat perhatian.

Product Safety pada Rumah Pemotongan Hewan

Untuk menghasilkan daging yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi, maka perlu diterapkan sistem jaminan mutu dan keamanan pada rantai penyediaan daging mulai dari peternakan sampai ke meja makan. Salah satu programnya adalah penerapan jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH atau penerapan product safety di RPH.

Jaminan product safety pada RPH diterapkan melalui penerapan praktek higiene dan sanitasi atau dikenal sebagai praktek yang baik/higienis, good manufacturing practices (GMP) atau good hygienic practices (GHP). Penerapan GMP/GHP pada RPH disebut pula Good Slaughtering Practices (GSP). Secara umum praktek higiene dan sanitasi pada pangan mencakup penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi (Luning et al. 2003). Selain itu, sistem product safety pada RPH di Indonesia sebaiknya mencakup aspek kehalalan dan kesejahteraan hewan, dalam rangka penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

Penerapan higiene untuk personal di RPH mencakup kesehatan dan kebersihan diri, perilaku/kebiasaan bersih, serta peningkatan pengetahuan/pemahaman dan kepedulian melalui program pendidikan dan pelatihan yang terprogram dan berkesinambungan. Setiap pegawai yang menangani langsung daging harus sehat dan bersih. Higiene personal yang buruk merupakan salah satu sumber pencemaran terhadap daging.

Lokasi, disain, konstruksi, tata letak (lay out) dan fasilitas bangunan RPH mempengaruhi kondisi higiene dan sanitasi. Lokasi RPH perlu dipertimbangkan dengan seksama dan terencana, sehingga RPH dan proses penyembelihan tidak dicemari dan mencemari lingkungan sekitarnya. Bangunan tempat proses penyembelihan RPH dibagi menjadi dua area terpisah, yaitu area kotor (mulai dari hewan masuk sampai pengeluaran jeroan/eviserasi) dan area kotor (setelah pengeluaran jeroan sampai karkas/daging didistribusikan). Bahan-bahan konstruksi RPH umumnya harus kuat, kedap air (tidak dari bahan kayu), mudah perawatan, serta mudah dibersihkan dan didisinfeksi. Fasilitas utama yang dimiliki RPH antara lain sumber air, listrik, jalan, dan instalasi pengolah limbah. Air yang memenuhi persyaratan air bersih harus selalu tersedia di RPH, yaitu 1000 liter untuk setiap ekor sapi/kerbau per hari atau 450 liter untuk setiap ekor babi per hari. Intensitas cahaya pada ruang-ruang untuk pemeriksaan (inspeksi), khususnya pada tempat pemeriksaan kesehatan hewan (pemeriksaan antemortem) dan pemeriksaan daging (pemeriksaan postmortem) minimum 540 luks, sehingga pemeriksa dapat mendeteksi dan membedakan perubahan warna yang kecil pada hewan dan daging.

Seluruh peralatan yang digunakan untuk daging harus kuat, tidak mudah berkarat, tidak bereaksi dengan zat-zat yang terkandung dalam daging, mudah dirawat, serta mudah dibersihkan dan didisinfeksi. Peralatan yang memiliki sudut dan atau terbuat dari kayu tidak dapat digunakan untuk daging.

Proses penanganan hewan sebelum, sesaat dan setelah penyembelihan perlu memperhatikan aspek halal, higiene dan sanitasi, serta kesejahteraan hewan. Sebelum penyembelihan, hewan sebaiknya diistirahatkan minimum selama 12 jam dan dipuasakan (tetapi tetap diberikan minum). Kesehatan hewan harus diperiksa oleh dokter hewan atau tenaga paramedis yang dilatih dan di bawah pengawasan dokter hewan maksimum 24 jam sebelum penyembelihan. Hanya hewan yang sehat dapat disembelih. Penyembelihan hewan harus memperhatikan syariat agama Islam (halal) dan ditangani dengan baik, hewan tidak menderita dan disakiti sebelum mati (kesejahteraan hewan). Penerapan sistem rantai dingin (cold chain system) pada penanganan daging selanjutnya sangat perlu untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan proses autolisis daging oleh enzim-enzim dalam daging. Sistem rantai dingin adalah penerapan suhu dingin selama peyimpanan daging. Daging sebaiknya tidak disimpan pada suhu lebih dari 4 oC dengan harapan suhu bagian dalam daging tetap terjaga di bawah 4 oC untuk daging segar atau suhu –18 oC untuk daging beku.

Menurut Bolton et al. (2001) terdapat empat titik kendali kritis dalam proses penyembelihan di RPH, yaitu (1) pelepasan kulit, (2) eviserasi atau pengeluaran jeroan, (3) pemisahan sumsum tulang belakang (pada daerah tidak bebas penyakit sapi gila atau mad cow), dan (4) pendinginan. Pada pelepasan kulit, yang perlu diperhatikan adalah ketajaman dan kebersihan pisau. Sebaiknya pisau senantiasa dibersihkan dan didisinfeksi menggunakan air panas (suhu >82 oC). Dalam proses penyembelihan, sebaiknya setiap pekerja yang menangani daging memiliki dua pisau, pisau pertama digunakan dan pisau kedua direndam dalam air panas >82 oC, kemudian ditukar, sehingga memperkecil terjadinya pencemaran silang pada daging. Hal ini dikenal dengan sistem dua pisau (two knives system). Pada eviserasi, pengikatan esofagus (rodding) dan anus sangat penting agar isi (cairan) bagian dalam saluran pencernaan tidak keluar dan mengenai daging. Pemisahan sumsum tulang belakang perlu dilakukan secara hati-hati, karena sumsum tulang belakang dapat mengandung prion sebagai penyebab penyakit sapi gila (mad cow; Bovine Spongiform Encephalopathie/BSE) yang dapat masuk ke dalam rantai pangan manusia. Selanjutnya pendinginan daging sangat perlu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem rantai dingin perlu diterapkan pada penyimpanan daging.

Hal utama mutlak dan sangat penting agar penerapan sistem product safety pada RPH adalah adanya komitmen dari manajemen dan seluruh sumberdaya manusia. Setelah itu komitmen dan keseriusan diterapkan pada perencanaan dan pelaksanaan sistem.

Untuk RPH di Indonesia, dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan sistem product safety atau sistem jaminan mutu dan keamanan daging, maka perlu penerapan sistem tersebut secara bertahap, terencana dan berkesinambungan dengan tetap memperhatikan sumberdaya lokal (alat, manusia dan metode). Pada tahap awal, konsep “better practice” atau “best practice” perlu direncanakan dan diterapkan, yang artinya proses penyembelihan hewan di RPH menggunakan campuran antara metode/cara konvensional dan cara modern. Selain itu, peningkatan pengetahuan untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran dan kepedulian personal yang terlibat dalam proses penyembelihan hewan harus terus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Komitmen dan konsistensi Pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk mengembalikan fungsi RPH sebagai unit pelayanan penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) sangat mutlak.

Simpulan

1. Untuk penyediaan daging yang ASUH dan perlindungan konsumen diperlukan penerapan sistem jaminan keamanan pangan konsep “safe from farm to table” penerapan higiene dan sanitasi (GHP) sebagai persyaratan dasarnya.

2. Product safety pada RPH artinya penerapan higiene dan sanitasi (termasuk halal dan kesejahteraan hewan) yang mencakup dari penerimaan hewan sampai distribusi daging.

3. Higiene di RPH diterapkan pada bangunan (lokasi, lingkungan, disain, konstruksi, lay out), sarana, alat, personal (higiene personal) dan proses di RPH.

4. RPH di Indonesia saat ini perlu ditata dan ditingkatkan, terutama perlu ada komitmen kuat dan konsistensi dari pemerintah (pusat dan daerah) untuk menjadikan RPH sebagai pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang ASUH.

5. Pengembangan konsep “better practice” atau “best practice” di RPH Indonesia menuju perbaikan higiene dan sanitasi yang terus menerus.

Daftar Pustaka

Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999, tentang Rumah Pemotongan Hewan. Jakarta: BSN.

Bolton, DJ, Doherty, AM, Sherudan, JJ. 2001. Beef HACCP: intervention and non-intervention systems. Int J Food Microbiol 66: 119-129.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian. 2003. Buku Statistik Peternakan Tahun 2003. Jakarta: Departemen Pertanian.

Luning, PA, Marcelis, WJ, Jongen WMF. 2003. Food Management Quality – a Techno-Managerial Approach. Wageningen: Wageningen Pers.