Minggu, 09 November 2008

Pangan Asal Hewan yang ASUH

Menjaga Pangan Asal Hewan yang Aman, Sehat, Utuh, Halal

Denny Widaya Lukman
Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB





Pendahuluan


Keamanan pangan merupakan persyaratan utama yang semakin penting di era perdagangan bebas. Masalah pentingnya keamanan pangan juga telah tercantum dalam Deklarasi Gizi Dunia dalam Konferensi Gizi Internasional pada tanggal 11 Desember 1992 „kesempatan untuk mendapatkan pangan yang bergizi dan aman adalah hak setiap orang“ (ICD/SEAMEO TROPMED RCCN 1999). Pangan yang aman, bermutu, bergizi, berada dan tersedia cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makan berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Setiap negara membutuhkan program keamanan pangan yang efektif untuk melindungi kesehatan bangsa dan berpartisipasi dalam produk perdagangan pangan internasional. Perdagangan merupakan pendorong penting bagi pengembangan ekonomi suatu negara dan dengan ekonomi global saat ini, tidak mungkin suatu negara tetap mengisolasi dari perubahan tuntutan persyaratan internasional tentang peraturan keamanan pangan.

Berkaitan dengan pengaturan pangan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-undang tersebut merupakan landasam hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Undang-undang ini juga merupakan acuan dari berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan pangan. Agar Undang-undang Pangan ini dapat diterapkan dengan mantap, maka pemerintah melengkapinya dengan Peraturan Pemerintah. Salah satu peraturan pemerintah yang telah ditetapkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

Pangan asal hewan seperti daging, susu dan telur serta hasil olahannya umumnya bersifat mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung bahaya biologik, kimiawi dan atau fisik, yang dikenal sebagai potentially hazardous foods (PHF). Oleh sebab itu, penanganan produk tersebut harus higienis.


Keamanan Pangan Asal Hewan

Menurut Codex Alimentarius (FAO/WHO 1997), keamanan pangan didefinisikan sebagai jaminan bahwa pangan tidak akan menyebabkan bahaya bagi konsumen saat disiapkan dan atau dikonsumsi sesuai dengan tujuan penggunaannya. Dalam Undang-Undang Pangan, definisi keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.


Persediaan pangan yang aman dan tidak membahayakan kesehatan konsumen melalui pencemaran kimia, biologi atau yang lain adalah hal penting untuk mencapai status gizi yang baik. Perlindungan konsumen dan pencegahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne illness) adalah dua elemen penting dalam suatu program keamanan pangan, dan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri pangan (produsen) dan konsumen.


Pangan asal hewan memiliki potensi mengandung bahaya biologis, kimia dan atau fisik yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Selain itu, pangan asal hewan juga dapat membawa agen penyakit hewan (bakteri, cacing, protozoa, prion) yang dapat menular ke manusia atau yang dikenal dengan zoonosis, antara lain antraks, salmonelosis, bruselosis, toksoplasmosis, sistiserkosis, bovine spongioform encephalopathie). Menurut WHO (2005), sekitar 75% penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia dalam 2 dasa warsa terakhir disebabkan oleh patogen-patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan. Dengan demikian, pangan asal hewan lebih berpotensi berbahaya dibandingkan pangan nabati karena dapat menyebabkan zoonosis pada konsumen. Oleh sebab itu, aspek keamanan pangan asal hewan perlu mendapat perhatian khusus.


Pangan Asal Hewan yang ASUH

Kebijakan pemerintah dalam penyediaan pangan asal hewan di Indonesia didasarkan atas pangan yang aman, sehat, utuh dan halal atau dikenal dengan ASUH. Hal tersebut sejalan dengan keamanan (safety) dan kelayakan (suitability) pangan untuk dikonsumsi manusia yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius.

Aman berarti tidak mengandung penyakit dan residu, serta unsur lain yang dapat menyebabkan penyakit dan mengganggu kesehatan manusia. Sehat berarti mengandung zat-zat yang berguna dan seimbang bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh. Utuh berarti tidak dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau dipalsukan dengan bagian dari hewan lain. Halal berarti disembelih dan ditangani sesuai dengan syariat agama Islam.


Masalah Pangan Asal Hewan di Indonesia

Beberapa masalah yang terkait dengan ASUH di Indonesia antara lain cemaran mikroorganisme (E. coli, Staphylococcus aureus), antraks, residu antibiotika, residu hormon, cemaran mikotoksin, penggunaan formalin pada daging ayam, penggunaan boraks pada daging olahan, pemalsuan daging (daging sapi dengan daging celeng), penjualan ayam bangkai, penggunaan bahan pewarna non-pangan untuk daging ayam, penyuntikan air ke dalam daging ayam, daging sapi glonggongan. Namun data yang terkait dengan permasalahan tersebut relatif jarang, hanya beberapa yang dilaporkan secara tertulis dan dilakukan pengawasan, seperti Pelaksanaan Monitoring dan Surveillans Residu (PMSR) terhadap cemaran mikroorganisme dan residu antibiotik yang telah dilaksanakan oleh BPMPP (Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan), BPPV (Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner), dan Laboratorium Kesmavet.

Masalah ASUH yang terkait dengan sistem penyediaan antara lain higiene sanitasi, tidak ada pengawasan dan pemeriksaan yang konsisten (misalnya pemeriksaan kesehatan hewan dan kesehatan daging di RPH/RPU), belum adanya penegakan hukum, serta belum adanya sistem kesehatan masyarakat veteriner yang bertanggung jawab terhadap keamanan, kesehatan dan kelayakan pangan asal hewan.


Higiene Sanitasi

Istilah sanitasi dan higiene memiliki arti yang berbeda. Definisi sanitasi adalah menciptakan segala sesuatu yang higienis dan kondisi yang menyehatkan. Tujuan sanitasi ini adalah untuk meningkatkan atau mempertahankan suatu tempat atau benda yang sehat sehingga tidak berpengaruh negatif terhadap lingkungan hidup kita. Sedangkan definisi higiene adalah seluruh tindakan untuk mencegah atau mengurangi kejadian bahaya terhadap kesehatan dan lingkungan. Secara umum, sanitasi lebih ditekankan terhadap lingkungan di sekitar pangan, sedangkan higiene ditekankan terhadap pangan itu sendiri.

Penerapan higiene dan sanitasi secara umum dikenal sebagai Good Hygienic Practices (GHP) atau Good Manufacturing Practices (GMP), yang diterapkan dalam setiap tahapan dan dijadikan pedoman pada setiap tahapan tersebut. Penerapan GHP mulai dari peternakan sampai di meja meliputi Good Farming Practices (GFP), Good Veterinary Practices (GVP), Good Miliking Practices (GMP), Good Handling Practices (GHP), Good Transportation Practices (GTP), Good Slaughtering Practices (GSP), Good Handling Practices (GHP), Good Distribution Practices (GDP), Good Manufacturing Practices (GMP) dan Good Catering Practices (GCP).

Secara umum praktek higiene dan sanitasi pada pangan mencakup penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi (Luning et al. 2003). Dalam sistem jaminan keamanan pangan, penerapan praktek higiene merupakan persyaratan dasar mutlak.


Adanya cemaran mikroorganisme pada pangan asal hewan umumnya terkait dengan praktek higiene sanitasi yang kurang baik selama proses penyediaan pangan tersebut. Sebagai contoh dalam penyediaan daging, terutama Rumah Pemotongan Hewan. Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Jumlah RPH di Indonesia menurut Buku Statistik Peternakan 2003 sebanyak 777 RPH sapi/kerbau dan 208 RPH babi. Namun secara umum, lokasi dan kondisi hampir seluruh RPH tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan, baik dari aspek lingkungan, higiene dan sanitasi. Umumnya RPH yang ada saat ini dibangun sejak zaman penjajahan Belanda (+ 50-70 tahun), dikelola oleh pemerintah daerah dan proses penyembelihan hewan dilakukan secara tradisional. Kondisi RPH yang demikian sangat mempengaruhi kualitas dan keamanan daging.



Menjaga dan Menciptakan Pangan Asal Hewan yang ASUH


Untuk menjaga, menciptakan dan meningkatkan program ASUH pada pangan asal hewan, maka perlu penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan asal hewan secara bertahap, terencana dan berkesinambungan dengan tetap memperhatikan sumberdaya lokal (alat, manusia dan metode). Pada tahap awal, konsep „better practice“ atau „best practice“ perlu direncanakan dan diterapkan sebagai bagian dari penerapan Good Hygienic Practice (GHP) atau Good Manufacturing Practice (GMP). Dalam konsep tersebut, terdapat perpaduan atau campuran antara metode/cara konvensional dan cara modern. Praktek higiene diterapkan mulai dari hal yang relatif mudah dan sederhana.


Sistem jaminan keamanan dan kualitas pangan asal hewan dirancang dan dikembangkan sebagai bagian dari Sistem Kesehatan Masyarakat Veteriner (Siskesmavet). Siskesmavet ini harus dirancang, dikembangkan dan diimplementasikan. Agar sistem berjalan baik, maka perlu ditopang dengan peraturan perundangan yang diikuti dengan penegakan hukum yang konsisten, organisasi yang baik dan tangguh, penyediaan sarana dan prasarana fisik, sumberdaya manusia yang mumpuni, serta anggaran dana yang memadai dan operasional.


Peningkatan pengetahuan sumberdaya manusia baik di pemerintah, produsen atau stakeholder, maupun konsumen diperlukan untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran dan kepedulian. Komitmen dan konsistensi Pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk penyediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) sangat mutlak.



Kesimpulan


1. Pangan asal hewan dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak dan berpotensi berbahaya. Untuk penyediaan pangan asal hewan yang ASUH diperlukan penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan pada setiap tahapan dalam mata rantai penyediaannya, mulai dari peternakan sampai ke meja makan atau dikenal sebagai konsep „safe from farm to table“.


2. Pengembangan konsep „better practice“ atau „best practice“ pada praktek penyediaan pangan asal hewan menuju perbaikan higiene dan sanitasi yang terus menerus sangat diperlukan sebagai bagian dari penerapan Good Hygienic Practice dalam penyediaan pangan asal hewan.

3. Untuk menjaga dan menciptakan pangan asal hewan yang ASUH diperlukan perancangan, pengembangan dan implementasi sistem keamanan dan mutu pangan asal hewan. Sistem tersebut ditunjang oleh sarana dan prasarana fisik, sumberdaya manusia, organisasi dan dana yang memadai.


Daftar Pustaka

FAO/WHO. 1997. Food Hygiene Basic Texts. FAO and WHO, Rome.

ICD/SEAMEO TROPMED RCCN. 1999. Isu Mengenai Keamanan Pangan: Pedoman untuk Meningkatkan Program Keamanan Pangan Nasional. SEAMEO Tropmed RCCN UI, Jakarta.

Luning, PA, Marcelis, WJ, Jongen WMF. 2003. Food Management Quality – a Techno-Managerial Approach. Wageningen Pers, Wageningen.

Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan

WHO. 2005. Zoonoses and veterinary public health. http://www.who.int/zoonoses/v[h/en/ [6 April 2005].


Daging yang Baik dan Sehat

DAGING YANG BAIK DAN SEHAT


Denny Widaya Lukman

Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB

Jalan Agatis Kampus IPB Darmaga Bogor; dennylukman@hotmail.com



Daging merupakan bahan makanan yang mengandung gizi tinggi yang baik untuk tubuh manusia. Karena kandungan zat gizinya tersebut, daging juga merupakan media atau tempat yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembang-biakan kuman-kuman, baik kuman yang dapat menyebabkan pembusukan daging ataupun kuman yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan manusia.

Kuman-kuman pada daging tersebut dapat berasal dari hewan masih hidup (karena hewan hidup telah mengandung kuman) atau berasal dari pencemaran mulai hewan dipotong sampai saat daging siap dikonsumsi. Sumber pencemaran kuman-kuman tersebut antara lain hewan hidup, tangan manusia, insekta, air, peralatan dan udara.

Beberapa kriteria yang dapat dijadikan dasar untuk memilih daging yang baik dan sehat adalah sebagai berikut:

a. Cap atau Stempel

Untuk daging sapi, kerbau, domba, kambing dan babi, daging memiliki cap dari Dinas Peternakan atau Dinas yang memiliki fungsi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) yang menyatakan “BAIK”. Berdasarkan peraturan, cap wajib diberikan pada daging setelah pemeriksaan kesehatan di RPH.

Cap untuk daging sapi berbentuk lingkaran, di dalam lingkaran terdapat tulisan: bagian atas terdapat nama RPH, bagian tengah terdapat tulisan „baik“, „baik bersyarat“, „baik diawasi“, atau „afkir“, kemudian di bagian bawah terdapat Nomor Kontrol Veteriner. Hal ini diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya.

Cap untuk daging babi berbentuk segi enam, di dalam segi enam tersebut terdapat tulisan: bagian atas terdapat nama RPH, bagian tengah terdapat tulisan „baik“, „baik bersyarat“, „baik diawasi“, atau „afkir“, kemudian di bagian bawah terdapat Nomor Kontrol Veteriner. Hal ini diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 295/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babidan Hasil Ikutannya.

b. Warna Daging


Warna daging adalah salah satu kriteria penilaian mutu daging yang dapat dinilai langsung. Warna daging ditentukan oleh kandungan dan keadaan pigmen daging yang disebut mioglobin dan dipengaruhi oleh jenis hewan, umur hewan, pakan, aktivitas otot, penanganan daging dan reaksi-reaksi kimiawi yang terjadi di dalam daging.

\Warna daging sapi segar yang diingini adalah warna merah cerah. Warna daging babi segar yang diingini adalah keabuan, dan warna daging ayam segar yang diingini adalah putih keabuan.

Warna daging sapi yang baru dipotong yang belum terkena udara adalah warna merah-keunguan, lalu jika telah terkena udara selama kurang lebih 15-30 menit akan berubah menjadi warna merah cerah. Warna merah cerah tersebut akan berbah menjadi merah-coklat atau coklat jika daging dibiarkan lama terkena udara atau jika daging dikemas dalam kantong hampa udara (vacuum pack).

c. Kondisi Permukaan Daging

Daging segar memiliki permukaan daging yang lembab, tidak basah, tidak kering dan tidak ada lendir. Selain itu daging yang bermutu ditandai dengan permukaan daging yang bersih, bebas dari kotoran-kotoran yang nampak oleh mata. Daging yang kotor akan mudah rusak atau busuk.

d. Bau

Bau daging dipengaruhi oleh jenis hewan, pakan, umur daging, jenis kelamin, lemak, lama waktu, dan kondisi penyimpanan. Bau daging dari hewan yang tua relatif lebih kuat dibandingkan hewan muda, demikian pula daging dari hewan jantan memiliki bau yang lebih kuat daripada hewan betina.

e. Suhu Penyimpanan Daging

Setelah proses pemotongan, sangat dianjurkan agar daging disimpan pada suhu dingin (<4>oC) untuk mempertahankan mutu daging serta untuk mencegah atau menghambat pertumbuhan dan perkembang-biakan kuman. Daging yang disimpan pada suhu 0-2 oC dapat bertahan selama 2-3 hari (daging dikemas). Untuk daging giling yang disimpan pada suhu 0-4 oC akan bertahan sampai 12 jam.

Apabila daging dijual tanpa pendingin (suhu ruang di Indonesia sekitar 27-32 oC), sebaiknya daging tersebut disimpan atau dibiarkan tanpa pendinginan tidak lebih dari 6 jam. Jika daging dibiarkan lebih dari 6 jam tanpa didinginkan, maka jumlah kuman pada daging tersebut telah melewati batas yang diperbolehkan.

Untuk memproduksi daging yang bermutu, biasanya setelah proses pemotongan dilakukan pendinginan (chilling), dan dilakukan proses pelayuan daging atau “pematangan” daging, atau dikenal dengan istilah aging atau conditioning. Pendinginan daging dilakukan pada suhu –1 sampai 1 oC selama 24-36 jam sehingga suhu bagian dalam daging mencapai suhu 4 oC. setelah 24-36 jam.

Pelayuan dilakukan antara proses pendinginan dan pembekuan (freezing). Tujuan pelayuan adalah untuk memberi kesempatan terhadap berlangsungnya reaksi-reaksi kimiawi di dalam daging, sehingga daging akan memiliki mutu yang optimum, karena daging memiliki keempukan yang sangat baik, serta memiliki cita rasa dan aroma yang lebih baik. Proses pelayuan ini sebaiknya dilakukan dengan menggantung daging pada ruang bersuhu 0 oC selama 14 hari, atau pada suhu 2-3 oC selama 10-12 hari, atau pada suhu 4 oC selam 6 hari, atau pada suhu 9-10 oC selama 1-3 hari. Pelayuan pada suhu dingin sangat dianjurkan untuk menghambat pertumbuhan dan perkembang-biakan kuman-kuman pada daging.


Gangguan Kesehatan yang Dapat Disebabkan oleh Daging

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, daging adalah media yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembang-biakan kuman-kuman. Oleh sebab itu, daging dapat berperan sebagai media untuk menularkan kuman-kuman penyakit kepada manusia. Penyakit yang dapat ditularkan oleh bahan makanan atau dikenal sebagai foodborne disease adalah penyakit yang timbul setelah konsumen memakan makanan yang mengandung kuman atau racun yang telah dihasilkan kuman. Kuman-kuman yang dapat menyebabkan sakit atau gangguan kesehatan dikenal sebagai kuman patogen.

Beberapa kuman yang dapat menyebabkan penyakit pada konsumen yang dapat ditularkan oleh daging antara lain:

a. Antraks

Penyakit ini merupakan penyakit hewan (terutama pada sapi, kambing domba, kuda, babi, burung unta) yang dapat ditularkan ke manusia, yang disebabkan oleh kuman (bakteri) Bacillus anthracis. Di luar tubuh hewan dan manusia, bakteri ini dalam bentuk spora. Spora tersebut banyak ditemukan pada tanah di wilayah atau daerah tertular dan dapat bertahan hidup sampai 75 tahun. Penyakit ini dapat ditularkan dari hewan yang sakit antraks ke manusia melalui daging dan jeroannya. Gejala yang ditimbulkan antara lain muntah, sakit perut (nyeri), feses berdarah, yang dapat berakhir pada kematian.

b. Salmonella

Kuman ini menyebabkan tifus, paratifus atau gangguan pencernaan (gastroenteritis). Kuman ini hidupnya (habitatnya) di saluran pencernaan ternak potong dan manusia. Kuman ini akan dikeluarkan ke alam melalui kotoran (tinja). Kuman ini sangat infektif, artinya hanya dengan sejumlah kurang dari 100 sel cukup untuk menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan konsumen. Oleh karena jumlah (dosis) infeksinya rendah, maka umumnya tidak diperlukan perkembang-biakan sel di dalam bahan makanan untuk menjadi berbahaya. Kuman ini sering ditemukan pada daging segar (terutama daging ayam).

c. Staphylococcus aureus.

Jika kuman ini tumbuh dan berkembang-biak pada bahan makanan akan menghasilkan racun (enterotoksin). Apabila bahan makanan yang telah mengandung racun kuman tersebut dikonsumsi, maka akan menyebabkan gangguan kesehatan yang mendadak, yaitu gejala keracunan seperti kekejangan pada perut dan muntah-muntah dan dapat pula terjadi diare. Untuk menghasilkan racun yang cukup untuk meracuni konsumen dibutuhkan kira-kira jumlah kuman sebanyak satu juta sel. Kuman ini sering ditemukan terutama ada bagian kulit, hidung dan tenggorokan manusia dan hewan. Keberadaan kuman ini pada bahan makanan menandakan penanganannya yang kurang baik dan higienis oleh manusia. Keracunan karena kuman ini lebih banyak disebabkan oleh daging yang telah dimasak.

d. Clostridium perfringens

Kuman ini dapat hidup pada suhu relatif tinggi (bersifat tahan panas) dan banyak dijumpai di alam. Secara alamiah, kuman ini ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan hewan sehat dan dikeluarkan ke tanah dan air. Di dalam tanah dan air, kuman ini dapat bertahan hidup dalam jangka waktu cukup lama. Dosis infeksi kuman ini cukup besar, yaitu 100 juta sel, artinya apabila jumlah kuman telah mencapai angka tersebut baru dapat menyebabkan sakit pada konsumen. Gejala-gejala keracunan akan nampak setelah 6-24 jam setelah memakan bahan makanan yang tercemar kuman, yang ditandai dengan sakit perut, diare, pusing, tetapi jarang terjadi muntah-muntah. Kuman ini sering ditemukan pada daging yang telah dimasak dan dibiarkan dingin perlahan-lahan atau disimpan pada suhu kamar.

e. Clostridium botulinum

Kuman ini bersifat tahan panas dan menghasilkan racun. Racun dihasilkan pada bahan makanan sebelum dikonsumsi dan bersifat sangat fatal untuk sistem syaraf (disebut pula neurotoksin). Kuman dapat ditemukan pada tanah dan air.Gejala-gejala keracunan akan nampak dalam waktu 24-72 jam (dapat sampai 8 hari) setelah memakan racun tersebut. Gejala ditandai dengan lesu, sakit kepala, pusing, muntah dan diare, tetapi akhirnya penderita mengalami kesulitan buang air besar (konstipasi). Sistem syaraf pusat penderita akan terganggu. Kuman ini sering ditemukan pada produk-produk olahan daging, terutama yang diolah dengan pemanasan, misalnya daging kaleng.

Selain kuman, daging dapat pula mengandung larva cacing. Larva cacing tersebut berada di dalam daging atau otot sejak hewan hidup. Apabila larva yang masih hidup termakan oleh manusia, maka larva tersebut akan menjadi cacing dewasa dalam tubuh manusia, atau pada beberapa kasus bahkan dapat menjadi larva kembali yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Cacing yang dapat menyebabkan gangguan antara lain: Taenia solium (ditemukan larvanya pada daging babi) dan Taenia saginata (ditemukan larvanya pada daging sapi).

Selain kuman dan cacing, daging dapat juga mengandung zat-zat yang dapat membahayakan atau mengganggu kesehatan manusia, seperti adanya residu (cemaran) antibiotika dan hormon. Keberadaan zat-zat tersebut disebabkan karena hewan yang dipotong baru diobati oleh antibiotika atau hormon. Gangguan kesehatan yang dapat disebabkan residu antibiotika antara lain alergi (merah-merah, bengkak-bengkak pada kulit) dan sesak nafas. Bahaya lainnya adalah timbulnya resistensi kuman baik pada tubuh manusia ataupun pada lingkungan.



Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penanganan Daging dan Bahan Makanan

a. Daging segar (mentah) harus dikemas secara baik sehingga tidak mencemari bahan makanan lain, terutama bahan makanan yang siap disantap (sudah dimasak).

b. Daging segar dapat disimpan pada lemari pendingin (kulkas atau refrigerator) tidak lebih dari 2 hari (harus dikemas). Apabila daging tidak digunakan dalam 2 hari, sebaiknya daging dibekukan.

c. Simpanlah daging atau masakan pada suhu > 60 oC atau pada suhu <>oC. Jangan biarkan daging atau masakan disimpan pada suhu 4-60 lebih lama dari 4 jam.

d. Apabila membeli daging, perhatikan cap, label pada kemasan, kondisi kemasan, warna daging dan kondisi permukaan daging.

e. Apabila membeli daging, sebaiknya belilah daging pada akhir belanja, sehingga daging tidak dibiarkan terlalu lama tanpa pendingin. Setiba di rumah, daging segera disimpan dalam lemari es (kulkas).

f. Jika daging hendak dibekukan, sebaiknya daging dipotong-potong beberapa bagian sesuai kebutuhan masak. Masukkan daging ke dalam kantung plastik, ditutup dan dibekukan.

g. Tempatkan daging segar pada wadah/tempat khusus yang terpisah dengan bahan makanan lain. Jangan satukan daging segar (mentah) dengan bahan makanan lain.

h. Jangan gunakan pisau atau peralatan masak (talenan, piring, sendok) yang telah digunakan pada daging mentah untuk bahan makanan yang telah dimasak atau siap disantap, kecuali telah dicuci terlebih dahulu.

i. Apabila hendak menangani daging atau bahan makanan, cucilah tangan sebelumnya. Cucilah tangan setelah memasuki WC/kamar mandi, memegang hidung, memegang daging segar, atau benda-benda yang kotor.

j. Apabila ada luka di tangan, tutuplah luka dengan plester sebelum menangani bahan makanan.

k. Hindari batuk atau bersin di depan bahan makanan.

l. Gunakan peralatan yang bersih untuk mempersiapkan, mengolah/ memasak bahan makanan.

Minggu, 12 Oktober 2008

KESMAVET: Definisi, Ruang Lingkup dan Tantangan

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER: DEFINISI, RUANG LINGKUP, DAN TANTANGAN

Denny Widaya Lukman
Bagian Kesmavet FKH IPB



Definisi

Istilah Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal sebagai Veterinary Public Health (VPH) diperkenalkan pertama kali oleh World Health Organization (WHO) dan Food Agriculture Organization (FAO) pada laporannya the Joint WHO/FAO Expert Group on Zoonoses pada tahun 1951. Dalam laporan tersebut, Kesmavet (VPH) didefinisikan sebagai seluruh usaha masyarakat yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh seni dan ilmu kedokteran hewan yang diterapkan untuk mencegah penyakit, melindungi kehidupan, dan mempromosikan kesejahteraan dan efisiensi manusia (veterinary public health comprises all the community efforts influencing and influenced by the veterinary medical arts and sciences applied to the prevention of diseases, protection of life, and promotion of the well-being and efficiency of man).

Menurut Schwabe (1984), istilah Kesmavet mengarah kepada bidang kesehatan masyarakat yang mana kedokteran hewan berkontribusi secara khusus.

Selanjutnya definisi Kesmavet dimodifikasi oleh WHO/FAO pada tahun 1975. Kesmavet didefinisikan sebagai suatu komponen aktivitas kesehatan masyarakat yang mengarah kepada penerapan keterampilan, pengetahuan dan sumberdaya profesi kedokteran hewan untuk perlindungan dan perbaikan kesehatan masyarakat (veterinary public health is a component of public health activities devoted to the application of professional veterinary skills, knowledge and resources for the protection and improvement of human health).

Pada tahun 1999, WHO, FAO, OIE dan WHO/FAO Coloborating for Research and Training in Veterinary Epidemiology and Management mengusulkan definisi kesmavet dikaitkan dengan definisi sehat menurut WHO. Menurut WHO, health is the state of complete physical, mental, and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity. Oleh sebab itu, pada tahun 1999, Kesmavet didefinisikan sebagai kontribusi terhadap kesejahteraan fisik, mental dan sosial melalui pemahaman dan penerapan ilmu kedokteran hewan (veterinary public health is the contribution to the complete physical, mental, and social well-being of humans through an understanding and application of veterinary medical science).

Indonesia memasukkan istilah Kesmavet pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Definisi Kesmavet dalam UU tersebut adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983.

Kesmavet merupakan penghubung antara bidang pertanian/peternakan dan kesehatan. Ruang lingkup tugas dan fungsi kesmavet adalah administrasi dan konsultasi, pencegahan penyakit zoonotik, higiene makanan, riset dan penyidikan penyakit hewan dan zoonosis, serta pendidikan kesmavet. Secara garis besar, tugas, dan fungsi kesmavet adalah menjamin keamanan dan kualitas produk-produk peternakan, serta mencegah terjadinya resiko bahaya akibat penyakit hewan/zoonosis dalam rangka menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.



Ruang Lingkup dan Fungsi Kesmavet

1. Memberi masukan teknis dalam penyusunan peraturan perundangan, kebijakan, pedoman, perencanaan strategis dan pelaksanaan dalam bidang pengendalian dan pencegahan penyakit hewan dan manusia, sanitasi, higiene, dan lingkungan;
2. Pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik atau zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia);
3. Higiene pangan dan keamanan pangan, termasuk pengendalian foodborne illness (penyakit yang ditularkan melalui makanan);
4. Identifikasi dan evaluasi bahaya-bahaya (hazards) baik biologis, kimiawi, dan fisik yang menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan hewan;
5. Pendidikan kesehatan masyarakat;
6. Kerjasama antar instansi/badan dalam rangka menjamin kesehatan hewan, manusia, lingkungan.


Tantangan Kesmavet


1. Perubahan demografi (penduduk) dan dampak urbanisasi
2. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat
3. Perubahan industri dan teknologi
4. Pariwisata
5. Perdagangan bebas/global
6. Mikrooganisme atau agen patogen baru (emerging disease), serta adaptasi dan resistensi mikroorganisme
7. Disaster medicine
8. Kesejahteraan hewan
9. Agriculture bioterorisms

Product Safety di RPH

PRODUCT SAFETY PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN

Denny Widaya Lukman

Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Disampaikan pada fgW Food Conference di Jakarta, 6-7 Oktober 2004

Pendahuluan

Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food). Beberapa penyakit hewan yang bersifat zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan kepada manusia) dapat ditularkan melalui daging (meat-borne disease). Selain itu, daging juga dapat mengandung residu obat hewan dan hormon, cemaran logam berat, pestisida atau zat-zat berbahaya lain, sehingga daging juga dikategorikan sebagai pangan yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan manusia (potentially hazardous food/PHF). Agar daging tetap bermutu baik, aman dan layak untuk dikonsumsi, maka perlu penanganan daging yang aman dan baik mulai dari peternakan sampai dikonsumsi. Konsep tersebut dikenal sebagai safe from farm to table concepts.

Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem product safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.

Penerapan product safety pada RPH ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan dan mutu daging yang dihasilkan, termasuk kehalalan, dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen, serta turut menjaga kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu, sistem tersebut berfungsi sebagai pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis di RPH sebagai bagian dari sistem kesehatan hewan nasional.

Penyediaan pangan yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi di Indonesia telah diatur oleh peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Khusus untuk pangan asal hewan (daging, susu dan telur) diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu, kebijakan pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, terhadap penyediaan daging di Indonesia harus memenuhi konsep penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).



Penyediaan Daging dan RPH di Indonesia

Penyediaan daging di Indonesia dipasok dari pemotongan hewan di dalam negeri (lokal) dan impor (pemasukan) daging dari luar negeri. Seiring dengan peningkatan penduduk di Indonesia, konsumsi daging di Indonesia pada lima tahun terakhir (1999-2003) terus meningkat, dengan rata-rata peningkatan rata-rata konsumsi daging sebesar 15,0% per tahun.

Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. Dalam peraturan tersebut, persyaratan RPH dibagi menjadi empat kelas (A, B, C dan D) berdasarkan peredaran dagingnya. Pengelompokan tersebut mengatur fasilitas yang harus dimiliki oleh suatu RPH, bukan mengatur persyaratan minimum yang menyangkut aspek teknik higiene, sanitasi dan kesehatan masyarakat veteriner.

Sebaiknya persyaratan RPH yang diatur adalah persyaratan minimum yang harus dimiliki oleh suatu RPH, terutama yang berkaitan dengan aspek higiene dan sanitasi, mengingat RPH adalah suatu tahapan dalam mata rantai penyediaan daging yang memungkinkan munculnya risiko yang dapat membahayakan kesehatan konsumen dan atau menyebabkan penurunan mutu daging. Kemudian pada tahun 1999 diterbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan, yang memuat persyaratan minimum yang harus dimiliki oleh RPH yang memenuhi ketentuan higiene dan sanitasi. Namun sayangnya SNI ini masih bersifat sukarela (voluntary).

Jumlah RPH di Indonesia menurut Buku Statistik Peternakan 2003 sebanyak 777 RPH sapi/kerbau dan 208 RPH babi. Namun secara umum, lokasi dan kondisi hampir seluruh RPH tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan, baik dari aspek lingkungan, higiene dan sanitasi. Umumnya RPH yang ada saat ini dibangun sejak zaman penjajahan Belanda (+ 50-70 tahun), dikelola oleh pemerintah daerah dan proses penyembelihan hewan dilakukan secara tradisional.

Berdasarkan sistem jaminan keamanan pangan yang dikenal dengan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), maka penyembelihan di RPH dapat dikategorikan sebagai titik kendali kritis (critical control point). Beberapa bahaya-bahaya yang mungkin terdapat pada daging dapat dikendalikan (dihilangkan atau diturunkan sampai tingkat yang dapat diterima) di RPH. Selain itu, RPH memegang peran penting dalam pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis, sebagai bagian dari sistem kesehatan hewan nasional. Sehingga peran dan fungsi RPH dalam mata rantai penyediaan daging perlu mendapat perhatian.

Product Safety pada Rumah Pemotongan Hewan

Untuk menghasilkan daging yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi, maka perlu diterapkan sistem jaminan mutu dan keamanan pada rantai penyediaan daging mulai dari peternakan sampai ke meja makan. Salah satu programnya adalah penerapan jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH atau penerapan product safety di RPH.

Jaminan product safety pada RPH diterapkan melalui penerapan praktek higiene dan sanitasi atau dikenal sebagai praktek yang baik/higienis, good manufacturing practices (GMP) atau good hygienic practices (GHP). Penerapan GMP/GHP pada RPH disebut pula Good Slaughtering Practices (GSP). Secara umum praktek higiene dan sanitasi pada pangan mencakup penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi (Luning et al. 2003). Selain itu, sistem product safety pada RPH di Indonesia sebaiknya mencakup aspek kehalalan dan kesejahteraan hewan, dalam rangka penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH).

Penerapan higiene untuk personal di RPH mencakup kesehatan dan kebersihan diri, perilaku/kebiasaan bersih, serta peningkatan pengetahuan/pemahaman dan kepedulian melalui program pendidikan dan pelatihan yang terprogram dan berkesinambungan. Setiap pegawai yang menangani langsung daging harus sehat dan bersih. Higiene personal yang buruk merupakan salah satu sumber pencemaran terhadap daging.

Lokasi, disain, konstruksi, tata letak (lay out) dan fasilitas bangunan RPH mempengaruhi kondisi higiene dan sanitasi. Lokasi RPH perlu dipertimbangkan dengan seksama dan terencana, sehingga RPH dan proses penyembelihan tidak dicemari dan mencemari lingkungan sekitarnya. Bangunan tempat proses penyembelihan RPH dibagi menjadi dua area terpisah, yaitu area kotor (mulai dari hewan masuk sampai pengeluaran jeroan/eviserasi) dan area kotor (setelah pengeluaran jeroan sampai karkas/daging didistribusikan). Bahan-bahan konstruksi RPH umumnya harus kuat, kedap air (tidak dari bahan kayu), mudah perawatan, serta mudah dibersihkan dan didisinfeksi. Fasilitas utama yang dimiliki RPH antara lain sumber air, listrik, jalan, dan instalasi pengolah limbah. Air yang memenuhi persyaratan air bersih harus selalu tersedia di RPH, yaitu 1000 liter untuk setiap ekor sapi/kerbau per hari atau 450 liter untuk setiap ekor babi per hari. Intensitas cahaya pada ruang-ruang untuk pemeriksaan (inspeksi), khususnya pada tempat pemeriksaan kesehatan hewan (pemeriksaan antemortem) dan pemeriksaan daging (pemeriksaan postmortem) minimum 540 luks, sehingga pemeriksa dapat mendeteksi dan membedakan perubahan warna yang kecil pada hewan dan daging.

Seluruh peralatan yang digunakan untuk daging harus kuat, tidak mudah berkarat, tidak bereaksi dengan zat-zat yang terkandung dalam daging, mudah dirawat, serta mudah dibersihkan dan didisinfeksi. Peralatan yang memiliki sudut dan atau terbuat dari kayu tidak dapat digunakan untuk daging.

Proses penanganan hewan sebelum, sesaat dan setelah penyembelihan perlu memperhatikan aspek halal, higiene dan sanitasi, serta kesejahteraan hewan. Sebelum penyembelihan, hewan sebaiknya diistirahatkan minimum selama 12 jam dan dipuasakan (tetapi tetap diberikan minum). Kesehatan hewan harus diperiksa oleh dokter hewan atau tenaga paramedis yang dilatih dan di bawah pengawasan dokter hewan maksimum 24 jam sebelum penyembelihan. Hanya hewan yang sehat dapat disembelih. Penyembelihan hewan harus memperhatikan syariat agama Islam (halal) dan ditangani dengan baik, hewan tidak menderita dan disakiti sebelum mati (kesejahteraan hewan). Penerapan sistem rantai dingin (cold chain system) pada penanganan daging selanjutnya sangat perlu untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan proses autolisis daging oleh enzim-enzim dalam daging. Sistem rantai dingin adalah penerapan suhu dingin selama peyimpanan daging. Daging sebaiknya tidak disimpan pada suhu lebih dari 4 oC dengan harapan suhu bagian dalam daging tetap terjaga di bawah 4 oC untuk daging segar atau suhu –18 oC untuk daging beku.

Menurut Bolton et al. (2001) terdapat empat titik kendali kritis dalam proses penyembelihan di RPH, yaitu (1) pelepasan kulit, (2) eviserasi atau pengeluaran jeroan, (3) pemisahan sumsum tulang belakang (pada daerah tidak bebas penyakit sapi gila atau mad cow), dan (4) pendinginan. Pada pelepasan kulit, yang perlu diperhatikan adalah ketajaman dan kebersihan pisau. Sebaiknya pisau senantiasa dibersihkan dan didisinfeksi menggunakan air panas (suhu >82 oC). Dalam proses penyembelihan, sebaiknya setiap pekerja yang menangani daging memiliki dua pisau, pisau pertama digunakan dan pisau kedua direndam dalam air panas >82 oC, kemudian ditukar, sehingga memperkecil terjadinya pencemaran silang pada daging. Hal ini dikenal dengan sistem dua pisau (two knives system). Pada eviserasi, pengikatan esofagus (rodding) dan anus sangat penting agar isi (cairan) bagian dalam saluran pencernaan tidak keluar dan mengenai daging. Pemisahan sumsum tulang belakang perlu dilakukan secara hati-hati, karena sumsum tulang belakang dapat mengandung prion sebagai penyebab penyakit sapi gila (mad cow; Bovine Spongiform Encephalopathie/BSE) yang dapat masuk ke dalam rantai pangan manusia. Selanjutnya pendinginan daging sangat perlu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem rantai dingin perlu diterapkan pada penyimpanan daging.

Hal utama mutlak dan sangat penting agar penerapan sistem product safety pada RPH adalah adanya komitmen dari manajemen dan seluruh sumberdaya manusia. Setelah itu komitmen dan keseriusan diterapkan pada perencanaan dan pelaksanaan sistem.

Untuk RPH di Indonesia, dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan sistem product safety atau sistem jaminan mutu dan keamanan daging, maka perlu penerapan sistem tersebut secara bertahap, terencana dan berkesinambungan dengan tetap memperhatikan sumberdaya lokal (alat, manusia dan metode). Pada tahap awal, konsep “better practice” atau “best practice” perlu direncanakan dan diterapkan, yang artinya proses penyembelihan hewan di RPH menggunakan campuran antara metode/cara konvensional dan cara modern. Selain itu, peningkatan pengetahuan untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran dan kepedulian personal yang terlibat dalam proses penyembelihan hewan harus terus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Komitmen dan konsistensi Pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk mengembalikan fungsi RPH sebagai unit pelayanan penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) sangat mutlak.

Simpulan

1. Untuk penyediaan daging yang ASUH dan perlindungan konsumen diperlukan penerapan sistem jaminan keamanan pangan konsep “safe from farm to table” penerapan higiene dan sanitasi (GHP) sebagai persyaratan dasarnya.

2. Product safety pada RPH artinya penerapan higiene dan sanitasi (termasuk halal dan kesejahteraan hewan) yang mencakup dari penerimaan hewan sampai distribusi daging.

3. Higiene di RPH diterapkan pada bangunan (lokasi, lingkungan, disain, konstruksi, lay out), sarana, alat, personal (higiene personal) dan proses di RPH.

4. RPH di Indonesia saat ini perlu ditata dan ditingkatkan, terutama perlu ada komitmen kuat dan konsistensi dari pemerintah (pusat dan daerah) untuk menjadikan RPH sebagai pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang ASUH.

5. Pengembangan konsep “better practice” atau “best practice” di RPH Indonesia menuju perbaikan higiene dan sanitasi yang terus menerus.

Daftar Pustaka

Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999, tentang Rumah Pemotongan Hewan. Jakarta: BSN.

Bolton, DJ, Doherty, AM, Sherudan, JJ. 2001. Beef HACCP: intervention and non-intervention systems. Int J Food Microbiol 66: 119-129.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian. 2003. Buku Statistik Peternakan Tahun 2003. Jakarta: Departemen Pertanian.

Luning, PA, Marcelis, WJ, Jongen WMF. 2003. Food Management Quality – a Techno-Managerial Approach. Wageningen: Wageningen Pers.