Jumat, 21 Agustus 2009

FOODBORNE ZOONOSIS (4)

Foodborne Zoonosis (4)


Emerging Food Pathogens dari Pangan Asal Hewan

Emerging pathogen dapat diartikan sebagai salah satu dari kondisi berikut: (1) patogen yang sudah diketahui muncul di area/wilayah baru, (2) agen yang sudah diketahui atau yang kerabat dekatnya menginfeksi spesies baru, dan (3) agen tidak diketahui sebelumnya (Brown 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya emerging foodborne disease antara lain perubahan demografi manusia, perubahan perilaku (pola makan), teknologi dan industri, perjalanan dan perdagangan internasional, adaptasi mikrob, perkembangan ekonomi dan penggunaan lahan, serta berkurangnya tindakan-tindakan kesehatan masyarakat (Altekruse et al. 1997). Emerging foodborne pathogen dari pangan asal hewan antara lain Campylobacter spp, Salmonella spp (non-tifoid), Enterobacter sakazakii, Mycobacterium paratuberculosis, Norovirus, prion penyebab bovine spongiform encephalopathy (BSE).

Mycobacterium avium subspesies paratuberculosis atau Mycobabterium paratuberculosis menyebabkan Johne’s disease pada hewan ruminansia. Bakteri ini jarang disebut dalam buku atau tulisan keamanan pangan, dan beberapa peneliti menyatakan bakteri ini bersifat zoonotik. Penyakit manusia yang dikaitkan dengan M. avium subspesies paratuberculosis adalah Crohn’s disease (Collins 2003).

Mycobabterium paratuberculosis telah diisolasi dari susu dan daging sapi. Sapi yang terinfeksi bakteri ini dapat mengekskresikan langsung bakteri ke susu. Selain itu, susu dapat tercemar dari bakteri yang berada dalam feses sapi terinfeksi. M. paratuberculosis relatif tahan panas dibandingkan dengan Mycobacterium lainnya. Studi keberadaan M. paratuberculosis pada susu dijual (ritel) dilakukan kali pertama tahun 1996. Bakteri tersebut dideteksi dengan polymerase chain reaction (PCR), tetapi tidak dapat diisolasi. Penelitian selanjutnya dilakukan pada tahun 2000 dan menemukan bakteri ini secara biakan pada 1,7% dari susu yang dijual (ritel) di Inggris (United Kingdom). Penelitian lain menemukan pada keju dan pada limfoglandula sapi yang disembelih yang mungkin terbawa saat pembuatan daging giling.

Enterobacter sakazakii berkaitan dengan wabah meningitis neonatal yang parah pada bayi-bayi yang lahir prematur atau necrotizing enterocolitis. Mortality rate infeksi bakteri ini dapat mencapai 40-80%, dan pada bayi yang baru lahir kematian terjadi dalam beberapa hari. Kelompok yang memiliki risiko tertinggi terhadap infeksi E. sakazakii adalah bayi yang baru lahir (sampai 28 hari), terutama lahir prematur, berat di bawah 2.5 kg, atau bayi yang tidak memiliki kekebalan tubuh (immunocompromised). Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV merupakan kelompok berisiko tinggi. Sumber utama wabah dan kasus sporadik dari E. sakazakii adalah susu bubuk formula untuk bayi (dry infant formula).

E. sakazakii banyak ditemukan di lingkungan pabrik yang berpotensi sebagai sumber kontaminasi setelah pasteurisasi. Secara garis besar terdapat tiga jalur masuknya E. sakazakii ke dalam formula bayi: (1) bahan baku untuk produksi susu formula bayi; (2) kontaminasi pada susu formula bayi atau bahan baku kering lainnya setelah proses pasteurisasi; dan (3) kontaminasi pada susu formula saat disiapkan sebelum dikonsumsi (Anon 2004). Sebanyak 20-50% dari kasus infeksi E. sakazakii disebabkan susu bubuk formula (sebagai vehicle), akan tetapi rendahnya sanitasi pada waktu rekonstitusi (penyiapan/penyajian) dan penanganan merupakan sumber penularan juga.

BSE merupakan salah satu penyakit transmissible spongiform encephalopathy (TSE) yang disebabkan oleh prion, dan merupakan penyakit baru yang pertama kali dilaporkan tahun 1980-an. Prion merupakan protein infeksius, bukan mikroorganisme, yang merupakan peptida dengan berat molekul rendah, yang dapat ditemukan secara normal di membran sel syaraf, namun fungsinya masih belum diketahui secara pasti. Prion dalam keadaan normal memiliki konfigurasi PrPC, dan bentuk infeksius yang bersifat resisten memiliki konfigurasi PrPSc. Akumulasi PrPSc pada sistem syaraf pusat, khususnya otak, akan menyebabkan perubahan (abnormalitas) struktur dan fungsi otak yang dapat menyebabkan kematian. Prion tidak memiliki asam nukleat, bersifat tahan panas, tahan terhadap disinfektan, tahan terhadap proteinase K (Cliver et al. 2006). Inaktivasi prion dapat dilakukan dengan pemanasan menggunakan autoklaf pada suhu 134-138 °C selama 18 menit pada 30 lb/inch2 (CFSPH 2007).

Prion dari sapi yang terinfeksi bovine spongiform encephalopathie (BSE) dapat ditularkan melalui jaringan sapi tersebut ke sapi dan manusia. Kasus pertama dari infeksi oleh prion pada manusia dilaporkan tahun 1996 di Inggris, dikenal sebagai new variant Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD). Selanjutnya diketahui adanya homologi antara agen penyebab BSE dan vCJD. Kasus vCJD pada manusia terus berkembang di beberapa negara, terutama Eropa.

Gejala penyakit vCJD pada manusia berkisar antara 11-12 tahun dan pernah dilaporkan sampai 16 tahun. Umur penderita berkisar antara 12-65 tahun dan rata-rata umur 28 tahun. Penyakit berjalan kira-kira selama 14 bulan (9,5-38 bulan). Gejala awal ditandai dengan perubahan psikis seperti kegelisahan, depresi, insomnia, dan gejala nyeri syaraf. Pada beberapa penderita menunjukkan gejala syaraf yang jelas, seperti gangguan berjalan, kehilangan keseimbangan, tidak ada koordinasi, hilang ingatan (memori), kesulitan bicara, dan tremor. Selanjutnya ditemukan penurunan fungsi kognitif secara bertahap. Gangguan gerakan (tidak terkoordinasi, kejang-kejang), gangguan penglihatan dan kehilangan akal ditemukan lebih lanjut pada gejala vCJD. Beberapa penderita meninggal dalam 6 bulan sampai 2 tahun kemudian (CFSPH 2007). Kematian dapat timbul dan ditandai dengan degenerasi spongiform dan diikuti dengan akumulasi plak amiloid di jaringan otak. Sampai tahun 2008, kematian manusia akibat vCJD tercatat sampai 157 orang, terutama di Inggris. Insidensi puncak terjadi tahun 2000 sebanyak 28 kasus (Cliver et al. 2006).

Jaringan sapi yang mengandung prion sebagai sumber penular ke hewan dan manusia adalah otak, sumsum tulang belakang, tonsil, distal ileum, dan mata. Prion tidak ditemukan pada susu dan produk susu, jaringan otot skeletal tanpa tulang (deboned skeletal muscle meat) dari sapi yang dipotong di bawah umur 30 bulan (tidak termasuk mechanically seperated meat/MSM), dan kulit. Jaringan yang mengandung prion dikenal sebagai specified risk material (SRM).


FOODBORNE ZOONOSIS (3)

Foodborne Zoonosis (3)


Campylobacteriosis

Campylobacteriosis menjadi penyebab kasus diare dan diperkirakan mengambil porsi 5-14% dari seluruh kasus diare di dunia (CFSPH 2005b). Foodborne campylobacteriosis umumnya disebabkan oleh Campylobacter jejuni dan C. coli. Kedua spesies tersebut merupakan patogen terpenting terhadap campylobacteriosis pada manusia, yang mana C. jejuni merupakan penyebab 80-90% dan C. coli 5-10% campylobacteriosis enterik pada manusia.

CDC melaporkan bahwa pada tahun 1998-2002 Campylobacter spp sebagai penyebab 61 wabah di Amerika Serikat dengan 1440 kasus. Campylobacteriosis diduda sebagai kasus tertinggi di antara foodborne bacterial infection di Amerika Serikat, yang diperkirakan mencapai 1,9 juta kasus per tahun dan berhubungan erat dengan konsumsi ayam. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat dari infeksi Campylobacter ini adalah spesies ini telah resisten terhadap beberapa antibiotik, khususnya florokuinolon dan makrolida, serta bersifat zoonotik(Bhunia 2008).
Campylobacter spp menyebabkan infeksi pada lambung dan usus (gastroenteritis) dan di luar usus (ekstra-intestinal). Kebanyakan spesies Campylobacter berkaitan dengan sejumlah penyakit pada manusia dan hewan, antara lain diare, pankreatitis, meningitis, bakterimia, septisemia, aborsi, dan periodontitis. Bakteri ini juga dapat menyebabkan komplikasi setelah infeksi, dan yang terpenting adalah sindrom Guillain-Barré (Hu dan Kopecko 2003).

Diare pada kasus campylobacteriosis bersifat terbatas dan umumnya kembali normal dalam waktu 7-10 hari. Kasus yang fatal biasanya terjadi pada penderita yang mengalami gangguan kekebalan tubuh (imunosupresi), kanker, adanya infeksi berulang (kambuh), adanya infeksi lain, atau bila terjadi septisemia. Sindrom Guillain-Barré diperkirakan dijumpai 1 dari 1000 yang didiagnosis. Sampai 5% penderita sindrom Guillain-Barré meninggal dan >30% penderita mengalami gangguan syaraf (CFSPH 2005b).

Gejala klinis enteritis campylobacteriosis terlihat rata-rata setelah 3 hari (berkisar 1-7 hari) setelah mengonsumsi pangan yang tercemar. Penyakit diawali dengna nyeri dan kram pada perut serta diare. Penderita dapat mengalami demam, menggigil, sakit kepala, dan nyeri otot. Mual sering ditemukan pada penderita, namun muntah jarang. Beberapa infeksi tidak menimbulkan gejala klinis (<25%).>


E. coli


Kebanyakan galur E. coli bersifat tidak patogen dan tinggal di saluran pencernaan manusia dan hewan. E. coli yang patogen dapat menyebabkan berbagai penyakit, antara lain gastroenteritis, disentri, hemolytic uremic syndrome (HUS), infeksi saluran kemih, septisemia, pneumonia, dan meningitis. Akhir-akhir ini yang menjadi perhatian adalah meningkatnya wabah yang disebabkan oleh enterohemorrhagic E. coli (EHEC) dan berkaitan dengan konsumsi daging, buah, sayuran yang tercemar, khususnya di negara berkembang. Pangan asal hewan yang sering terkait dengan wabah EHEC di Amerika Serikat, Eropa, dan Kanada adalah daging sapi giling (ground beef). Selain itu, daging babi, daging ayam, daging domba, dan susu segar (mentah).

Serotipe utama yang berkaitan dengan EHEC adalah E. coli O157:H7, yang pertama kali dilaporkan sebagai penyebab wabah foodborne disease pada tahun 1982-1983. EHEC ini menghasilkan Shiga-like toxins sehingga disebut pula sebagai Shiga toxin producing E. coli (STEC). Shiga toxin ini mematikan sel vero, sehingga disebut pula verotoxin-producing E. coli (VTEC). Bakteri ini umumnya tinggal di usus hewan, khususnya sapi, tanpa menimbulkan gejala penyakit. Bakteri ini juga dapat diisolasi dari feses ayam, kambing, domba, babi, anjing, kucing, dan sea gulls.

Infeksi EHEC sering menimbulkan diare berdarah yang parah dan kram bagian perut, namun kadang tidak menimbulkan diare berdarah atau tanpa gejala sama sekali. Pada anak di bawah umur 5 tahun dan orang tua sering menimbulkan komplikasi yang disebut hemolytic uremic syndrome (HUS), yang ditandai dengan rusaknya sel darah merah dan kegagalan ginjal. Kira-kira 2-7% infeksi EHEC mengarah ke HUS. Di Amerika Serikat, anak-anak yang mengalami kegagalan ginjal akut banyak disebabkan oleh HUS akibat EHEC. Infeksi EHEC ini dapat juga menimbulkan kematian, khususnya pada anak-anak dan orang tua, berkaitan dengan timbulnya hemorrhagic colitis (HC), HUS, thrombotic thrombocytopenic purpura (Eslava et al. 2003).

FOODBORNE ZOONOSIS (2)

Foodborne Zoonosis (2)


Foodborne diseases yang terkait daging. Daging mentah (segar) dapat tercemar oleh E. coli, Salmonella, dan Staphylococcus aureus. Dalam daging giling dapat ditemukan Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Listeria monocytogenes, enterohemorrhagic E. coli (EHEC). Clostridium botulinum terkait dengan produk olahan daging yang dikemas vakum. Beberapa parasit yang sering dijumpai adalah kista Taenia saginata pada daging sapi (Cysticercus bovis), kista Toxoplasma gondii dan Echinococcus granulosus (hydatid) pada daging kambing/domba, kista-kista Taenia solium (Cysticercus cellulosae) dan Trichinella spiralis pada daging babi.


Foodborne disease yang terkait unggas. Salmonella enterica serotipe (serovar) Enteritidis (Salmonella Enteritidis), Salmonella enterica serotipe Typhimurium (Salmonella Typhimurium), S. Infantis, S. Reading, S. Blockey, Clostridium perfringens, Campylobacter jejuni, dan E. coli sering dijumpai di produk unggas.


Foodborne disease yang terkait susu. Wabah yang diakibatkan Salmonella spp terkait dengan keju, es krim, susu segar, dan susu pasteurisasi; infeksi Campylobacter spp terkait susu segar; wabah Listeria monocytogenes terkait dengan keju dan produk-produk susu yang diolah dari susu tanpa pasteurisasi; serta Yersinia enterocolitica pernah menimbulkan wabah yang terkait dengan susu pasteurisasi.



Salmonellosis

Kasus foodborne disease akibat Salmonella saat ini lebih banyak disebabkan oleh Salmonella non-tifoid, terutama Salmonella Enteritidis dan Salmonella Typhimurium. Hampir semua serotipe/serovar Salmonella enterica dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan mamalia, serta bersifat zoonotik atau berpotensi zoonotik (CFSPH 2005a). Cara penularan Salmonella ke manusia umumnya melalui konsumsi makanan yang tercemar (jalur fekal-oral). Beberapa Salmonella memiliki sumber (reservoir) spesifik dan makanan tertentu sebagai media penularnya, misalnya Salmonella Enteritidis terkait dengan unggas dan produk unggas. Jenis pangan asal hewan yang terkait dengan salmonelosis pada manusia adalah daging, susu, unggas, dan telur. Beberapa produk olahan susu seperti keju dan es krim juga pernah menyebabkan wabah salmonelosis. Namun, pada beberapa wabah salmonelosis terakhir, pangan yang terkait adalah buah dan sayuran. Selain sakit dan kematian, ancaman kesehatan masyarakat dari bakteri Salmonella adalah resistensi bakteri ini terhadap antibiotik yang dapat diturunkan dan ditularkan ke bakteri lain (Bhunia 2008).

Insidensi salmonelosis non-tifoid di dunia diperkirakan sekitar 1,3 miliar kasus dan 3 juta kematian setiap tahunnya (Tassios et al. 1997). Laporan CDC menyebutkan bahwa insidensi Salmonella Typhimurium di Amerika Serikat dari tahun 1996-1998 sampai 2005 menurun nyata (42%), namun Salmonella Enteritidis dan Salmonella enterica serotipe Heidelberg meningkat (masing-masing 25%), begitu pula Salmonella enterica serotipe Javiana (82%).

Salmonella Enteritidis (SE) ditularkan dari induk ke telur secara transovarial, sehingga bakteri tersebut dapat ditemukan dalam isi telur dengan kondisi kerabang telur yang utuh. SE berkoloni di ovarium ayam petelur. Jika bakteri ini telah menginfeksi kelompok atau peternakan ayam, maka sulit sekali diberantas, karena keberadaan bakteri ini dipelihara di lingkungan, pakan, dan rodensia di peternakan ayam tersebut. Di Australia selama tahun 2006 dilaporkan terdapat 305 kasus salmonelosis yang disebabkan oleh SE. Mayoritas kasus berkaitan dengan perjalanan ke luar negeri (85%). Dari perjalanan ke luar negeri, paling banyak dilaporkan dari Asia, yaitu: Indonesia (36,15%), Thailand (30,13%), dan Singapur (24,10%) (OzFoodNet Working Group 2007).

Salmonella Typhimurium phage type DT104 yang memiliki resistensi terhadap beberapa antibiotik dan menjadi masalah salmonelosis pada manusia di Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada. S. Typhimurium phage type DT104 resisten terhadap minimum 5 antibitotik. Jenis antibiotik yang telah menjadi resisten pada S. Typhimurium adalah ampisilin, kloramfenikol, streptomisin, sulfonamid, tetrasiklin, trimetroprim, dan siprofloksasin. Beberapa antibiotik tersebut merupakan antibiotik pilihan yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengobati penderita gastro-enteritis.

Gejala klinis pada manusia yang disebabkan oleh Salmonella non-tifoid sangat bervariasi, namun umumnya menyebabkan gastroenteritis (radang lambung-usus). Gejala penyakit biasanya timbul 6-72 jam setelah mengonsumsi makanan atau minuman tercemar dan dalam kondisi akut ditandai dengan gejala seperti nyeri perut dan diare (kadang disertai lendir atau darah), demam 38-39 °C, serta mual dan muntah. Pada beberapa kasus gejala akut dapat sembuh dalam 48 jam. Namun, penyakit dapat berjalan terus dengan diare yang persisten dan demam ringan selama 10-14 hari. Pada kasus berat dapat menimbulkan dehidrasi, kemudian mengarah ke hipotensi (tekanan darah menurun), kram, sering buang air kecil (oliguria), dan uremia. Anak-anak dan orang tua (>60 tahun) akan mengalami gejala yang lebih parah. Gejala ini dapat menjadi lebih parah dan bahkan dapat menimbulkan kematian (Hanes 2003).