Minggu, 04 April 2010

Food Safety Culture

Membangun Budaya Keamanan Pangan (Food Safety Culture) dalam Unit Produksi Makanan



Salah satu faktor terpenting berkontribusi terhadap kejadian penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) adalah perilaku manusia yang tidak higienis atau tidak bersih (unsafe human behavior).

Berdasarkan laporan CDC tentang wabah foodborne disease di Amerika Serikat tahun 1993-1997, faktor terpenting yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut adalah:
Penyimpanan pada suhu yang tidak tepat (37%)
Higiene personal yang buruk (19%)
Peralatan yang tercemar (16%)
Pemanasan (suhu) yang kurang sempurna (11%)
Lain-lain (11%)
Makanan dari sumber yang tidak aman (6%)

Salah satu ide untuk memperbaiki keamanan pangan, diperlukan integrasi yang lebih baik antara ilmu pangan dan behavioral science, dengan menggunakan pendekatan berbasis sistem (system-based approach) untuk mengelola risiko keamanan pangan. Sistem yang dikembangkan dalam suatu unit produksi pangan (misalnya rumah potong hewan, industri pengolah makanan, ritel makanan, jasa boga) untuk memperbaiki keamanan pangan adalah bagaimana mengubah cara pekerja melakukan sesuatu, khususnya pekerja yang menangani makanan. Ini berarti sistem yang dikembangkan mampu mengubah perilaku (behavior) pekerja - food safety equals behavior. Sehingga dalam mencapai keamanan pangan, suatu unit produksi makanan perlu mengembangkan behavior-based food safety management.

Kekuatan budaya keamanan pangan di suatu organisasi dicerminkan secara langsung dari seberapa penting keamanan pangan bagi pemimpin (top management).

Budaya keamanan pangan harus dimulai dari atas (top management) dan mengalir ke tingkat bawah, bukan diciptakan dari bawah ke atas (buttom up). Manajemen menengah (mid level management) perlu mendukung top management mewujudkan budaya keamanan pangan, bukan saja hanya mendukung program keamanan pangan. Untuk itu, diperlukan pemahaman menyeluruh elemen budaya organisasi dan perilaku manusia. Mereka dituntut juga memiliki keterampilan komunikasi dan mempengaruhi orang serta menjaga hubungan baik.

Oleh karena itu, sistem tersebut merupakan sistem dengan pendekatan berbasis pengetahuan ilmiah tentang perilaku manusia (human behavior), budaya organisasi (organization culture) dan keamanan pangan (food safety), sehingga dapat disebut sebagai behavior-based food safety management system. Sistem ini perlu dikembangkan dengan model perbaikan yang terus menerus (continuous improvement).

Having a strong food safety culture is a choice!


Sumber bacaan:

Yiannas F. 2008. Food Safety Culture. Springer Science, New York.

Konsep Zona dalam Perdagangan Hewan dan Produk Hewan

Konsep Zona dalam Perdagangan terkait Kesehatan Manusia dan Hewan

Denny W. Lukman

Bagian Kesmavet FKH IPB




Dalam Perjanjian SPS, setiap negara anggota harus memastikan bahwa tindakan sanitary phytosanitary tidak membatasi perdagangan lebih dari tindakan yang diperlukan untuk mencapai tingkat perlindungan sanitary atau phytosanitary yang tepat (appropriate level of sanitary or phytosanitary protecetion), dengan memperhatikan kelayakan aspek teknis dan ekonomis (Artikel 5 ayat 6).


Istilah zona atau regional digunakan dalam Perjanjian Sanitary Phytosanitary (SPS) dalam kaitannya perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman akibat dampak negatif perdagangan internasional, serta digunakan pula oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE, World Organization for Animal Health) dalam rangka pencegahan dan pengendalian penyakit.


Dalam perjanjian SPS, penilaian karakteristik SPS dalam suatu regional memperhatikan tingkat prevalensi penyakit atau hama tertentu, adanya program pemberantasan (eradikasi) atau pengendalian, serta adanya kriteria atau pedoman yang dikembangkan oleh organisasi internasional yang relevan (Artikel 6 ayat 1). Penentuan regional bebas hama atau penyakit, atau regional dengan prevalensi hama atau penyakit yang rendah ditentukan atas dasar geografi, ekosistem, surveilans epidemiologi, dan efektivitas pengendalian sanitary atau phytosanitary (Artikel 6 ayat 2).



OIE mendefinisikan zona atau regional adalah bagian yang jelas batasannya dari suatu teritorial yang memiliki subpopulasi hewan dengan status kesehatan hewan berbeda terkait suatu penyakit tertentu, dengan penerapan surveilans, tindakan pengendalian dan biosekuriti untuk keperluan perdagangan internasional (Terrestrial Animal Health Code 2009).

Pendekatan zona akan memudahkan pemerintah melaksanakan program pemberantasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis. Terkait penyakit hewan atau zoonosis, pemerintah menetapkan zona bebas dan zona tertular (terinfeksi) berdasarkan program surveilans dan tindakan lainnya.

Pendekatan zona dalam perdagangan bebas bukan saja untuk tujuan impor, melainkan dapat mendorong Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mengekspor hewan dan produk hewan lainnya ke negara lain, apabila zona tersebut bebas terhadap penyakit hewan tertentu.


Penerapan konsep zona tidak begitu saja dilakukan dalam perdagangan, karena negara pengimpor dapat melakukan penilaian lain dan atau aturan lain yang diperlukan terhadap zona tersebut, sehingga importasi tidak membawa dampak buruk terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan. Salah satu yang dianjurkan adalah penerapan analisis risiko impor (import risk analysis), seperti yang tertuang dalam Terrestrial Animal Health Code (TAHC). Selanjutnya, standar dan rekomendasi tentang impor hewan dan produk hewan terkait penyakit hewan dan zoonosis telah diatur oleh OIE dalam Terrestrial Animal Health Code yang setiap tahun diperbaharui.

Selasa, 16 Maret 2010

Residu Antibiotik dalam Pangan Asal Hewan

Residu Antibiotik dalam Pangan Asal Hewan


Penggunaan antibiotika di peternakan memberikan manfaat bagi hewan dan peternak, namun dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan masyarakat jika pemakaiannya tidak sesuai aturan. Risiko tersebut berupa adanya residu antibiotika pada daging, susu dan telur akibat penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dengan dosis dan/atau tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawal time). Residu antibiotika adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari antibiotika tersebut. Jadi, residu dalam bahan pangan meliputi senyawa asal yang tidak berubah, metabolit dan/atau konyugat lain. Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik.

Ancaman potensial residu antibiotika dalam makanan terhadap kesehatan dibagi tiga kategori, yaitu (1) aspek toksikologis, (2) aspek mikrobiologis dan (3) aspek imunopatologis. Menurut Haagsma (1988), residu antibiotika dalam makanan dan penggunaannya dalam bidang kedokteran hewan berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat veteriner, aspek teknologi dan aspek lingkungan.

Dari aspek toksikologis, residu antibiotika bersifat racun terhadap hati, ginjal dan pusat hemopoitika (pembentukan darah). Dari aspek mikrobiologis, residu antibiotika dapat mengganggu mikroflora dalam saluran pencernaan dan menyebabkan terjadinya resistensi mikroorganisme, yang dapat menimbulkan masalah besar dalam bidang kesehatan manusia dan hewan. Dari aspek imunopatologis, residu antibiotika dapat menimbulkan reaksi alergi yang ringan dan lokal, bahkan dapat menyebabkan shock yang berakibat fatal. Selanjutnya dipandang dari aspek teknologi, keberadaan residu antibiotika dalam bahan pangan dapat menghambat atau menggagalkan proses fermentasi.

Pengaruh pemanasan terhadap kandungan residu dalam bahan pangan telah mendapat perhatian besar. Pemanasan dapat menginaktivasi residu klortetrasiklin dan oksitetrasiklin 5-10 ppm dalam bahan pangan menjadi kurang dari 1 ppm, namun belum diketahui sifat kedua antibiotik yang terinak-tivasi dan produk-produk uraiannya. Moats (1988) menyatakan bahwa istilah inaktivasi digunakan untuk menyatakan kehilangan aktivitas antimikroba dan tidak menerangkan mengenai perubahan kimia yang terjadi.

Berdasarkan informasi dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner, tantangan yang dihadapi bidang kesehatan masyarakat adalah resistensi mikroorganisme akibat residu antibiotik dalam pangan asal hewan.

Tindakan pencegahan dan pengendalian residu antibiotik antara lain kebijakan jenis antibiotik di kedokteran hewan (tidak menggunakan jenis antibiotik yang digunakan manusia untuk hewan), pengawasan pemakaian antibiotik, penerapan good practices sepanjang rantai pangan (from farm to table), penerapan jaminan keamanan pangan di unit usaha pangan asal hewan, serta pelaksanaan pemantauan dan surveilans residu antibiotik pada pangan asal hewan.



Bahan Bacaan

Haagsma N. 1988. Control of Veterinary Drug Residues in Meat – a Contribution to the Development of Analytical Procedures. Tesis. The University of Utrecht, the Netherlands

Moats W.A. 1988. Inactivation of antibiotics by heating in foods and other substrates – a review. J. Food Protect. 51: 491-497.

Kamis, 04 Maret 2010

Pengambilan dan Pengujian Contoh Daging

PENGAMBILAN CONTOH DAN PENGUJIAN KEAMANAN DAGING

Denny Widaya Lukman

Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Pendahuluan

Hasil pengujian laboratorium terhadap daging dan hasil olahannya sangat tergantung pada rencana dan teknik pengambilan, penanganan (pengiriman, penyimpanan) serta persiapan contoh (sample). Jika pengambilan contoh dilaksanakan dengan cara yang tidak benar, maka langkah selanjutnya berupa preparasi (persiapan) dan pengujian akan sia-sia, membuang waktu dan biaya.

Daging dikategorikan sebagai bahan makanan yang mudah rusak (perishable food) karena daging mengandung zat gizi yang baik, memiliki pH dan aktivitas air yang sangat menunjang pertumbuhan mikroorganisme. Dengan kata lain, daging merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, daging dikategorikan juga sebagai bahan makanan yang berpotensi berbahaya (potentially hazardous food), artinya daging dapat menjadi media pembawa mikroorganisme patogen yang dapat membahayakan kesehatan konsumen.

Daging yang beredar di Indoneia harus memenuhi persyaratan aman, sehat, utuh dan halal atau disingkat ASUH. Aman artinya daging tersebut tidak mengandung bahaya-bahaya biologis (bakteri, kapang, kamir, virus, parasit, prion), kimiawi (racun/toksin, mikotoksin, residu antibiotika, residu hormon, cemaran logam berat, cemaran pestisida, cemaran lingkungan) dan fisik (kaca, besi, tulang, kayu, dll) yang dapat membahayakan kesehatan manusia (konsumen). Sehat artinya daging tersebut mengandung bahan-bahan yang berguna bagi kesehatan manusia. Utuh artinya daging tersebut tidak dicampur dengan bahan lain. Halal artinya daging diproduksi mengikuti syariat agama Islam.

Untuk menjamin penyediaan daging yang ASUH, maka dilakukan pengawasan (surveillance, monitoring, inspeksi) terhadap daging dalam mata rantai penyediaan daging. Dalam pengawasan tersebut, dapat dilakukan pengambilan dan pengujian (laboratorium) contoh. Pengujian contoh di laboratorium perlu mengikuti prosedur baku baku agar hasil pengujian dapat dipertanggung-jawabkan. Laboratorium yang digunakan sebaiknya yang telah menerapkan Good Laboratory Practice (GLP) atau telah disertifikasi terhadap penerapan sistem manajemen mutu laboratorium ISO 17025, sehingga laboratorium tersebut memiliki kemampuan teknis dalam menghasilkan data atau hasil uji yang tepat, akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah dan hukum. Sertifikat tersebut diberikan oleh suatu lembaga yang telah diakreditasi, dan bahkan telah mendapat pengakuan/harmonisasi dengan negara-negara lain.

Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh (sampling) didefinisikan sebagai prosedur dengan cara tertentu mengambil suatu bagian dari substansi, bahan, atau produk untuk keperluan pengujian atau kalibrasi dari contoh yang mewakili kumpulannya.

Pengambilan contoh harus mewakili kumpulannya dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. perencanaan pengambilan contoh;

2. petugas pengambilan contoh;

3. prosedur pengambilan contoh;

4. peralatan yang digunakan;

5. lokasi dan titik pengambilan contoh;

6. frekuensi pengambilan contoh;

7. keselamatan kerja; dan

8. dokumentasi yang terkait.

Petugas yang melaksanakan pengambilan contoh harus terampil dan memahami prosedur pengambilan contoh dan menangani contoh tersebut hingga siap diuji di laboratorium. Sebaiknya, petugas pengambil contoh telah mengikuti pelatihan atau pendidikan tentang pengambilan contoh.

Rencana Pengambilan Contoh

Dalam rencana pengambilan contoh perlu diperhatikan lot dan unit (sample unit). Lot adalah sejumlah unit contoh dalam satu batch atau yang diproduksi dan ditangani pada kondisi yang seragam dalam periode waktu tertentu. Unit adalah contoh makanan yang diambil secara acak dari suatu lot, yang dianggap mewakili sifat-sifat lot tersebut. Pengambilan unit makanan dalam suatu lot harus dilakukan secara terpisah dan tidak tergantung satu sama lain. Contoh satu unit misalnya satu karkas, satu kaleng, satu botol, satu wadah pengemas.

Untuk pengujian mikrobiologis, perlu ditetapkan prosedur dan kriteria penetapan suatu contoh diterima atau tidak. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pengambilan contoh untuk pengujian mikrobiologis adalah:

a. Bahaya terhadap kesehatan

Semakin bahaya jenis mikroorganisme yang diduga terdapat di dalam makanan atau semakin kecil jumlah mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit, maka unit contoh yang diambil harus semakin besar dan banyak. Hal ini untuk meningkatkan peluang untuk mendapatkan contoh yang positif, sehingga dapat dihindari kemungkinan menyatakan suatu contoh aman padahal sebenarnya berbahaya (negatif palsu).

b. Keseragaman

Semakin seragam contoh, misalnya makanan cair (susu), pada proses homogenisasi, maka contoh yang diambil dapat lebih kecil. Namun jika suatu contoh tidak atau kurang seragam, maka unit contoh yang diambil harus lebih banyak atau lebih besar.

c. Pengelompokan

Jika di dalam suatu lot terdapat pengelompokan yang lebih kecil (sublot), misalnya beberapa unit kaleng dimasukkan ke dalam kotak karton, maka unit contoh dapat diambil dari masing-masing sublot untuk mewakili setiap atau sebagian besar sublot.

d. Konsistensi dalam produksi

Jika suatu produk selalu memiliki mutu yang baik setelah diuji, maka pengambilan contoh dapat dikurangi jumlahnya atau diperpanjang periodenya karena sudah mempunyai tingkat kepercayaan tinggi.

Apabila pengujian mikrobiologis bersifat kualitatif (positif atau negatif) maka rencana pengambilan contoh berdasarkan sistem dua kelas. Sedangkan jika pengujian mikrobiologis bersifat kuantitatif (jumlah mikroorganisme), maka rencana pengambilan contoh berdasarkan sistem tiga kelas.

Sistem Dua Kelas

Dalam sistem dua kelas ditentukan suatu batas m sebagai beriikut:

< m <

diterima ditolak

yang mana m dapat merupakan hasil uji kualitatif (positif/negatif) atau batas jumlah uji kuantitatif (misalnya jumlah mikroorganisme, total plate count). Untuk mikroorganisme yang sangat berbahaya, nilai m mungkin sama dengan 0 sel per gram atau per ml.

Penerimaan atau penolakan suatu contoh dilakukan sebagai berikut:

Misalnya jumlah unit contoh yang diuji adalah n dan jumlah maksimum unit contoh yang diperbolehkan menghasilkan uji lebih tinggi dari m adalah c. Jika ditetapkan n=10 dan c=2, maka contoh akan diterima atau ditolak dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Contoh diterima jika dua unit atau kurang (< 2 unit) menghasilkan uji lebih dari m (> m).

b. Contoh ditolak jika lebih dari dua unit (> 2unit) menghasilkan uji lebih dari m (> m).

Sistem Tiga Kelas

Dalam sistem tiga kelas ditentukan suatu batas m dan M sebagai berikut:

< m < < M <

diterima marginally ditolak

cceptable

Contoh makanan pada kondisi marginally acceptable berarti tidak diinginkan, tetapi masih dapat diterima jika jumlahnya tidak terlalu banyak (pada batas tertentu). Sistem tiga kelas dipengaruhi juga oleh besarnya n dan c. Unit contoh yang diambil harus mewakili tiga kelas yang menghasilkan jumlah mikroorganisme 0 sampai m, m sampai M, dan lebih besar dari M.

Prosedur Pengambilan Contoh

Sebelum pengambilan contoh, perlu dipersiapkan peralatan yang akan digunakan untuk mengambil dan membawa contoh. Untuk pengujian mikrobiologis, peralatan yang digunakan harus steril dan pengambilan contoh dilakukan seaseptik mungkin atau meminimumkan kemungkinan terjadinya pencemaran. Untuk pengujian kimiawi, peralatan tidak perlu steril, namun harus bersih dan kering.

Dalam pengambilan contoh daging perlu diperhatikan bentuk fisik contoh yang akan diambil (daging segar, daging beku, daging olahan) dan tujuan pengujian (uji mikrobiologis, kimiawi, atau residu). Jika contoh berupa daging segar atau karkas segar, contoh daging dapat diambil dari berbagai tempat atau tempat tertentu secara purposif. Misalnya untuk pengujian mutu daging biasanya digunakan M. longissimus dorsi atau M. gluteus. Untuk contoh daging olahan, dapat diambil berdasarkan unit kemasan (kaleng, plastik) yang utuh.

Contoh yang diambil dari daging/karkas segar atau beku dapat berupa contoh permukaan (surface samples) dan contoh jaringan (deep tissue samples). Contoh permukaan digunakan untuk pengujian mikrobiologis, misalnya jumlah mikroorganisme pada permukaan daging/karkas (cfu/cm2 atau cfu/karkas ayam). Contoh permukaan ini bersifat non-destruktif, artinya contoh tidak dihancurkan (homogenisasi) dalam pengujian. Contoh jaringan biasanya digunakan untuk pengujian mikrobiologis, kimiawi atau residu.

Contoh permukaan dapat dilaksanakan dengan tiga cara, yaitu:

a. Swab

Cara ini digunakan untuk permukaan daging/karkas segar (panas atau dingin). Kapas bergagang (cotton swab) steril diusapkan pada permukaan daging/karkas dengan luas tertentu, umumnya 25 atau 50 cm2. Kemudian kapas bergagang tersebut dimasukkan ke dalam tabung/wadah berisi larutan pengencer steril.

b. Excision

Cara ini digunakan untuk permukaan daging beku. Contoh diambil dengan menggunakan cork borrer yang ditusukkan ke dalam daging (kurang lebih 2 mm dari permukaan). Perlu diperhitungkan luas permukaan yang diambil dan jumlah larutan pengencer, sehingga diperoleh jumlah mikroorganisme per cm2.

c. Rinse technique

Cara ini biasanya digunakan untuk contoh kecil (maksimum 2 kg), misalnya karkas ayam, sosis, dan lain-lain. Contoh tersebut ditimbang secara aseptik dan dimasukkan ke dalam plastik steril yang besarnya memadai, lalu tambahkan larutan pengencer steril sebanyak 9 kali berat contoh.

Contoh jaringan diambil dari daging/karkas dengan menggunakan skalpel atau gunting dan pinset dengan kedalaman 0,5 sampai 1,0 cm dari permukaan daging/karkas, atau mengambil seluruh jaringan.

Pemberian Label

Contoh yang telah diambil dimasukkan ke dalam wadah tertentu yang telah disiapkan. Pada wadah diberikan label yang memberikan keterangan/ informasi terhadap contoh.

Keterangan pada label meliputi antara lain:

a. nama atau nomor contoh;

b. deskripsi contoh;

c. nama petugas pengambil contoh;

d. nama dan alamat produsen atau pemilik contoh;

e. keterangan batch/lot dan unit contoh yang diambil;

f. hari dan tanggal pengambilan contoh;

g. suhu saat pengambilan contoh;

h. keterangan lain;

i. uji yang akan dilakukan.

Pengiriman Contoh

Pengiriman contoh atau transportasi contoh dari tempat pengambilan contoh ke laboratorium perlu memperhatikan waktu dan kondisi penyimpanan contoh. Sebaiknya contoh dapat diperiksa sesegera mungkin setelah pengambilan. Contoh daging yang belum diolah (panas, dingin atau beku) harus diuji dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pengambilan contoh.

Contoh segar (panas dan dingin) sebaiknya disimpan pada suhu 0 – 4 oC. Contoh beku harus disimpan tetap dalam keadaan beku (-20 oC), misalnya menggunakan dry ice. Selama pengiriman/transportasi, contoh disimpan dengan baik dan tidak boleh kontak langsung dengan es atau dry ice.

Untuk pengujian mikrobiologis, kimiawi dan residu, contoh daging tidak boleh ditambah zat pengawet. Zat pengawet (transport media) hanya digunakan untuk contoh yang akan diuji patologis.

Pengujian Contoh di Laboratorium

Peran dari laboratorium uji untuk daging dan pangan asal hewan lainnya antara lain: (a) penyidikan, pengujian dan sertifikasi keamanan dan mutu pangan, (b) pengembangan spesifikasi/kriteria/standar mutu pangan, (c) menjamin keamanan dan mutu produk pangan asal hewan untuk konsumsi masyarakat, (d) menjamin penerapan higiene dan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan (verifikasi), serta (e) menunjang penerapan keamanan pangan mulai dari peternakan sampai ke meja.

Penerimaan dan penanganan contoh di laboratorium harus dilaksanakan dengan baik dan mengikuti prosedur baku yang telah ditetapkan sehingga contoh tetap dalam keadaan baik. Untuk beberapa jenis pengujian (misalnya uji mikrobiologis), contoh harus sesegera mungkin diuji; sedangkan pada pengujian lain, contoh dapat disimpan pada pendingin atau pembeku sampai batas waktu tertentu. Untuk pengujian keamanan daging (misalnya mikrobiologi, residu), umumnya contoh daging tidak boleh diberi bahan pengawet.

Metode pengujian yang diterapkan sebaiknya didasarkan pada metode baku. Metode tersebut dapat dirujuk dari standar (SNI, negara lain), pedoman pengujian dari perkumpulan/asosiasi tertentu, atau dari hasil penelitian dan pengembangan. Hasil pengujian diinterpretasikan, dianalisis, dilaporkan dan didokumentasikan.

Pengujian Keamanan dan Kualitas Daging

Pengujian keamanan dan kualitas daging dilakukan untuk menjamin daging aman dan layak dikonsumsi. Beberapa jenis pengujian daging dalam rangka menjamin keamanan daging antara lain:

a. Uji sensorik atau organoleptik terhadap kemasan, bentuk, warna, bau dan adanya perubahan patologi-anatomik;

b. Uji fisiko-kimia, misalnya untuk mengetahui kandungan lemak, mendeteksi kebusukan/ketengikan (uji Postma, uji Eber, penentuan asam tiobarbiturat), uji kesempurnaan pengeluaran darah (malachite green);

c. Uji mikrobiologis untuk mendeteksi mikroorganisme patogen tertentu, misalnya dengan metode isolasi dan pemupukan, ELISA, PCR, dan uji cepat lainnya;

d. Uji parasitologis untuk mendeteksi parasit tertentu;

e. Uji cemaran dan residu untuk mendeteksi kandungan atau keberadaan toksin, mikotoksin, cemaran logam berat (dengan atomic absorption spectophotometry/AAS)., cemaran lingkungan (seperti dioksin, polyvinyl chlorinated biphenyl/PCB), residu antibiotika, residu hormon, misalnya dengan ELISA, kromatografi (high performance liquid chromatography/HPLC, gas chromatography/GC)

e. Uji terhadap Bovine Spongioform Encephalopathie (BSE) dengan mendeteksi adanya prion pada daging atau keberadaan specified risk material (SRM) pada daging dan produk olahannya, misalnya dengan uji imunohistokimia;

f. Uji identifikasi spesies daging untuk menentukan spesies hewan, misalnya dengan ELISA dan PCR;

Bahan Bacaan

Fardiaz, S. 1999. Metode Pengambilan dan Penyiapan Sampel (Laboratorium Mikrobiologi Pangan). Pelatihan Singkat Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fiedler, I. dan Brancheid, W. 1998. Histologische und histochemische Untersuchung des Skelettmuskelgewebes. Dalam Brancheid, W., Honikel, K.O., Lengerken, G., Troeger, K. (eds.), Qualität von Fleisch und Fleischwaren Band 2. Deutscher Fachverlag, Frankfurt am Mainz.

Hadi, A. 2000. Sistem Manajemen Mutu Laboratorium. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Hofmann, K. 1998. Tierartbestimmung be Fleisch und Fleischerzeugnissen. Dalam Brancheid, W., Honikel, K.O., Lengerken, G., Troeger, K. (eds.), Qualität von Fleisch und Fleischwaren Band 2. Deutscher Fachverlag, Frankfurt am Mainz.

Honikel, K.O. 1998. Analyse von aufgetautem Gefrierfleisch. Dalam Brancheid, W., Honikel, K.O., Lengerken, G., Troeger, K. (eds.), Qualität von Fleisch und Fleischwaren Band 2. Deutscher Fachverlag, Frankfurt am Mainz.

Messer, J.W., Midura, T.F. dan Peeler, J.T. 1999. Sampling Plans, Sample Collection, Shipment, and Preparation for Analysis, p. 25-49. Dalam Vanderzant, C. dan Splittstoesser, D.F. (eds.), Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods. American Public Health Association, Washington.


Minggu, 21 Februari 2010

ANALISIS RISIKO TERHADAP BAHAYA KIMIAWI DALAM PANGAN

Denny Widaya Lukman

Pendahuluan

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar untuk menunjang kelangsungan hidup, menjaga kesehatan, pertumbuhan tubuh dan kecerdasan. Namun pangan juga memiliki risiko bahaya terhadap kesehatan konsumen. Untuk menjamin kesehatan masyarakat, risiko bahaya dalam pangan yang dapat mengganggu kesehatan manusia harus dikendalikan sampai tingkat yang dapat diterima (acceptable level). WHO/FAO telah mengembangkan suatu pendekatan untuk menilai risiko tersebut yang dikenal dengan analisis risiko (risk analysis). Analisis risiko telah diterapkan dengan baik pada bahaya kimiawi. Selain itu, analisis risiko juga dikembangkan terhadap bahaya mikrobiologis dan pemasukan komoditi ke dalam suatu wilayah (impor). Penerapan analisis risiko untuk standar pangan dan keamanan pangan telah dikembangkan pada pertemuan Joint FAO/WHO Expert Consultation on the Application of Risk Analysis to Food Standards Issues pada Maret 1995 di kantor pusat WHO Jenewa Swiss (WHO 1995).

Penerapan pendekatan analisis risiko sangat potensial untuk menilai risiko dan keuntungan (benefits) dalam program higiene pangan dan menjadi dasar ilmiah pengembangan standar-standar, guidelines dan recommendations tentang keamanan pangan. Analisis risiko yang dikembangkan untuk keamanan pangan tersebut terdiri dari tiga komponen, yaitu (1) penilaian risiko (risk assessment), (2) manajemen risiko (risk management), dan (3) komunikasi risiko (risk communication) (Hathaway dan Cook 1997).

Dalam perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS), setiap negara anggota World Trade Organization (WTO) diperkenankan menetapkan sanitary measures untuk melindungi negaranya dari risiko-risiko masuknya beberapa penyakit dan agen patogen lainnya. Penetapan sanitary measures di suatu negara dapat mengacu kepada standar-standar, guidelines, recommendations dari badan-badan internasional seperti Codex Alimentarius Commission (CAC) dan Office International des Epizooties (OIE, World Organization for Animal Health). Namun jika tidak ada standar, guidelines atau recommendations yang relevan atau jika suatu negara memilih menerima tingkat perlindungan (level of protection) lebih tinggi, maka perlu dilakukan analisis risiko yang ilmiah untuk menetapkan apakah komoditi tertentu yang dimasukkan (impor) ke dalam wilayah negara tersebut memiliki risiko yang signifikan bagi kesehatan hewan dan manusia, dan jika ada, maka perlu ditetapkan sanitary measures untuk mengurangi risiko tersebut sampai pada tingkat yang dapat diterima. Namun tingkat perlindungan bagi komoditi impor tersebut tidak diperkenankan berbeda dari yang diterapkan pada pasar dalam negeri.

Risiko suatu bahaya memiliki dua komponen, yaitu (1) peluang (probability), dan (2) konsekuensi atau akibat jika bahaya itu muncul (OIE 2004). Analisis risiko akan membantu pengambil keputusan (decision maker) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

§ apa yang dapat menyimpang? (what can go wrong?)

§ bagaimana/berapa besar peluang penyimpangan tersebut? (how likely is it to go wrong?)

§ Apa konsekuensi/akibat dari penyimpangan itu? (what are the consequences of it going wrong?)

§ Tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi peluang dan atau konsenkuensi/akibat dari penyimpangan itu? (what can be done to reduce the likelihood and/or the consequences of it going wrong?).

Definisi Istilah Analisis Risiko untuk Keamanan Pangan

Berikut ini adalah definisi beberapa istilah-istilah dalam analisis risiko untuk keamanan pangan yang dipengaruhi oleh foodborne agents. Foodborne agents tersebut mencakup agen kimiawi, biologis dan fisik pada pangan (WHO 1995).

Pangan (food) adalah setiap zat, baik yang telah diproses, semi-proses atau mentah yang ditujukan untuk konsumsi manusia, termasuk minuman, permen karet, dan zat-zat yang digunakan dalam proses manufaktur, penyiapan atau perlakuan terhadap pangan, namun tidak termasuk kosmetik, tembakau, dan zat-zat untuk obat (any substance, whether processed, semi-processed or raw which is intended for human consumption, including drinks, chewing gum and any substance which has been used in the manufacture, preparation or treatment of food but excluding cosmetics, tobacco and substances used only as drugs).

Bahaya (hazard) adalah agen biologis, kimiawi atau fisik di dalam atau bagian dari pangan yang dapat mengganggu kesehatan manusia.

Risiko (risk) adalah suatu fungsi dari peluang (probability) suatu pengaruh berbahaya (adverse effect) dan besarnya/tingkat pengaruh tersebut sebagai konsekuensi adanya bahaya dalam pangan (a function of the probability of an adverse effect and the magnitude of that effect, consequential to a hazard(s) in food).

Analisis risiko (risk analysis) adalah suatu proses yang terdiri dari tiga komponen: penilaian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko.

Penilaian risiko (risk assessment) adalah evaluasi ilmiah mengenai gangguan kesehatan yang diketahui atau potensial yang ditimbulkan dari keterpaparan manusia terhadap bahaya-bahaya yang terbawa oleh pangan (the scientific evaluation of known or potential adverse health effects resulting from human exposure to foodborne hazards).

Identifikasi bahaya (hazard identification) adalah identifikasi gangguan kesehatan yang diketahui atau potensial berkaitan dengan suatu agen tertentu (the identification of known or potential health effects associated with particular agent).

Karakterisasi bahaya (hazard characterization) adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif terhadap bentuk alamiah dari gangguan-gangguan kesehatan yang berkaitan dengan agen biologis, kimiawi dan fisik yang mungkin terdapat dalam pangan (the qualitative and/or quantitative evaluation of the nature of the adverse effects associated with biological, chemical, and physical agents which may be present in food).

Penilaian keterpaparan (exposure assessment) adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif terhadap tingkat/derajat penyerapan (degree of intake) yang mungkin terjadi (the qualitative and/or quantitative evaluation of the degree of intake likely to occur).

Manajemen risiko (risk management) adalah proses untuk mempertimbangkan penerapan berbagai alternatif kebijakan, sebagai hasil dari penilaian risiko, dan apabila diperlukan, menyeleksi dan melaksanakan pilihan tindakan pengendalian yang tepat, termasuk tindakan regulasi (the process of weighing policy alternatives in the light of the results of risk assessment and, if required, selecting and implementing appropriate control options, including regulatory measures).

Komunikasi risiko (risk communication) adalah pertukaran informasi dan pendapat secara interaktif menyangkut risiko dan manajemen risiko antara penilai risiko (risk assessor), manajer risiko, konsumen dan pihak lain yang berminat (the interactive exchange of information and opinions concerning risks and risk management among risk assessor, risk managers, consumers, and other interested parties).

Penilaian dosis-respon (dose-response assessment) adalah penentuan hubungan antara tingkat keterpaparan dan tingkat dan atau frekuensi gangguan kesehatan (the determination of the relationship between the magnitude of exposure and the magnitude and/or frequency of adverse effects).

Analisis Risiko dalam Codex Alimentarius Commission

Analisis risiko dalam sistem Codex dilaksanakan oleh beberapa badan. Beberapa badan tersebut merupakan badan subsider (subsidiary body) dari Codex Alimentarius Commission (CAC), yaitu Codex Committee on Food Additive and Contaminants, Codex Committee on Pesticide Residues, Codex Committee on Veterinary Drugs in Foods, Codex Committee on Food Hgyiene, Codex Committee on Meat Hygiene, Codex Committee on Food Import and Export Inspection and Certification Systems, Codex Committee on Nutrition and Foods for Special Dietary Use. Badan-badan tersebut memiliki kewajiban menyiapkan draft standar-standar, guidelines dan recommendations untuk dipertimbangkan oleh CAC.

Masukan ilmiah dalam proses keputusan Codex secara rutin disiapkan oleh badan pakar independen (independent expert bodies) seperti the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA for additives, chemical contaminants and veterinary drug residues, serta the Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues (JMPR) for pesticide residues. Codex juga mendapat masukan dari badan-badan di luar sistem Codex, seperti the International Commission on Microbiological Specifications for Food (ICMSF).

Diskusi mengenai analisis risiko dalam Codex dapat dibagi dalam beberapa bidang yaitu bahan tambahan (food additives), kontaminan kimia (chemical contaminants), residu pestisida (pesticide residues), residu obat veteriner (veterinary drug residues) dan agen biologis (biological agents).

Proses Analisis Risiko

Tahapan proses analisis risiko yang dikembangkan oleh NAS-NRC (National Academic Science - National Research Council) dan yang digunakan oleh Codex Alimentarius Commission memiliki tiga komponen yaitu (1) penilaian risiko, (2) manajemen risiko, dan (3) komunikasi risiko.

Proses penilaian risiko menurut sistem NAS-NRC terdiri dari empat tahap yaitu (1) identifikasi bahaya (hazard identification), (2) karakterisasi bahaya (hazard characterization), (3) penilaian keterpaparan (exposure assessment), dan (4) karakterisasi risiko (risk characterization).

Manajemen risiko menurut sistem NAS-NRC dan CAC terdiri dari (1) evaluasi risiko (risk evaluation), (2) option assessment, (3) implementation, dan (4) monitoring and review.

Penilaian Risiko terhadap Agen Kimiawi pada Pangan

Penilaian risiko terhadap agen kimiawi meliputi bahan tambahan pangan, residu pestisida, residu obat hewan, kontaminan kimia, dan toksin-toksin alami (tidak termasuk toksin bakteri). Penilaian risiko terhadap agen kimiawi dilakukan secara kuantitatif (quantitative risk analysis).

Proses penilaian risiko ini membutuhkan informasi toksikologis yang memadai, khususnya berdasarkan protokol uji standar yang telah diakui/diterima oleh komunitas internasional. Selain itu, penilaian risiko ini akan lebih dipercaya jika menggunakan data yang dihasilkan oleh organisasi atau badan yang diakui atau kompeten, seperti JECFA (Joint FAO/WHO Experts Committee on Food Additives), JMPR (Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues), EPA (US Environmental Protection Agency), FDA (US Food and Drugs Administration), OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). Beberapa kendala dalam proses penilaian risiko antara lain tidak tersedianya atau tidak lengkapnya data toksikologis, baik jumlah, ruang lingkup maupun kualitas data.

Identifikasi Bahaya

Tujuan dari identifikasi bahaya adalah mengidentifikasi gangguan kesehatan mansia berkaitan dengan keterpaparannya pada suatu bahan kimia, peluang terjadinya efek tersebut dan kepastian atau ketidakpastian berkaitan dengan efek tersebut. Dalam hal ini, identifikasi bahaya merupakan evaluasi peluang kualitatif dari terjadinya efek pada populasi manusia yang terpapar, bukan ekstrapolasi kuantitatif risiko pada populasi manusia seperti tahapan dose-response dan karakterisasi risiko.

Mengingat data yang ada tidak memadai, maka identifikasi bahaya dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan weight of evidence. Pendekatan tersebut membutuhkan review yang memadai dan terdokumentasi dari informasi ilmiah yang relevan, yang diperoleh dari data base, peer-reviewed literatures, dan jika ada data yang tidak dipublikasikan dari industri-industri. Pendekatan ini menekankan pada kajian epidemiologis, toksikologis hewan, pengujian in vitro, dan hubungan struktur-aktivitas kuantitatif. Data dari kajian epidemiologis yang ideal berasal dari penelitan atau kajian yang dirancang pada manusia, namun karena biaya kajian tersebut cukup mahal maka data epidemiologis yang tersedia umumnya diperoleh dari hewan dan penelitian in-vitro.

Data toksikologis hewan yang dibutuhkan antara lain NOEL (no-observed-effect-level), NOAEL (no-observed-adverse-effect-level), MTD (maximum tolerated dose), mekanisme kerja, hubungan antara dosis yang diberikan dan diedarkan, farmakokinetik dan farmakodinamik.

Karakterisasi Bahaya

Mengingat konsentrasi agen kimia dalam pangan umumnya dalam jumlah sedikit (dalam ppm atau ppb), sedangkan data kajian toksikologi pada hewan berasal dari pemberian dosis tinggi atau melebihi, maka penggunaan data tersebut untuk diterapkan pada manusia yang terpapar dengan agen kimia dengan dosis sedikit harus hati-hati. Untuk itu perlu dilakukan kajian atau penilaian antara lain terhadap dose-response, dose-scaling, genotoxic and non-genotoxic carcinogens, non-threshold approach.

Dalam penilaian dose-response, data dose-response pada hewan (biasanya dengan dosis relatif besar) yang diekstrapolasikan kepada manusia (dosis sangat kecil), perlu dikaji secara hati-hati. Karakteristik bahaya dapat berubah dengan dosis atau bahkan hilang. Model dose-response akan menjadi tidak tepat/benar jika karakteristik respon pada hewan dan manusia secara kualitatif sama. Metabolisme bahan kimia dengan dosis kecil dan besar berbeda.

Pada dose-scaling, JECFA dan JMPR biasanya menggunakan mg per kg berat badan untuk interspecies scaling. Scaling factor yang ideal diperoleh dengan mengukur konsentrasi jaringan dan clearance rate pada organ target baik hewan maupun di manusia.

Agen kimiawi yang bersifat karsinogen perlu dikaji berdasarkan penelitian/percobaan in vitro atau in vivo, pendekatan threshold (ambang batas) seperti pendekatan NOEL-safety factor dan informasi mekanisme karsinogenisitas.

Pengembangan Acceptable Daily Intake (ADI) dapat didasarkan atas penelitian/percobaan NOEL atau NOAEL atau Effective Dose seperti ED10 atau ED50. ADI adalah estimasi jumlah bahan tambahan pangan (BTP) yang diekspresikan atas dasar berat badan yang dapat dicerna setiap oleh tubuh per hari selama kurun waktu tertentu tanpa menimbulkan risiko kesehatan yang berarti.

Penilaian Keterpaparan

Secara umum penilaian keterpaparan manusia terhadap agen kimiawi dalam pangan dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu (1) studi diet total (total diet studies), (2) studi selektif pada pangan individual (selective studies of individual foods), dan (3) studi porsi duplikat (duplicate portion studies). Selanjutnya, penilaian keterpaparan dapat langsung diperoleh dari hasil pemantauan langsung terhadap jaringan dan cairan tubuh manusia, misalnya penentuan tingkat senyawa organoklorin dalam susu ibu yang umumnya berasal dari diet merupakan penilaian terintegrasi dari pemaparan manusia terhadap senyawa organoklorin.

Data tingkat agen kimiawi pada pangan dapat diperoleh dari industri dan atau hasil pengujian laboratorium. Konsentrasi agen kimiawi dalam pangan dapat berubah (menurun) sebelum dikonsumsi, misalnya akibat pengolahan, penyimpanan atau reaksi dengan komponen pangan.

Karakterisasi Risiko

Luaran (outcome) karakteristik risiko adalah suatu estimasi peluang gangguan kesehatan pada populasi manusia sebagai konsekuensi keterpaparan. Karakterisasi risiko dilaksanakan dengan memperhatikan hasil identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya dan penilaian keterpaparan. Untuk agen kimiawi yang memiliki ambang batas (threshold), risiko populasi dikarakterisasi dengan membandingkan antara ADI dan keterpaparan. Peluang gangguan kesehatan pada manusia menjadi nol jika tingkat keterpaparan kurang dari ADI.

Bahan Bacaan

Hathaway SC, Cook RL. 1997. A regulatory perspective on the potential uses of microbial risk assessment in international trade. Int J Food Microbiol. 36: 127-133.

Office International des Epizooties. 2004. Handbook on import risk analysis for animals and animal products. Vol.1. Introduction and qualitative risk analysis. OIE, Paris.

World Health Organization. 1995. Application of risk analysis to food standards issues. Report of the Joint FAO/WHO Expert Consultation. WHO, Geneva.

World Health Organization/Food and Agriculture Organization. 2000. Joint FAO/WHO expert consultation on risk assessment of microbiological hazards in foods. FAO, Rome.