Sabtu, 24 Maret 2012

Isu Veteriner dan Dokter Hewan

ISU VETERINER YANG PERLU MENDAPAT PERHATIAN

Sumber: One Health Project UC Davis School of Vet Med
(http://www.vetmed.ucdavis.edu/onehealth/about/issues.cfm)




1. Penyakit Zoonotik (Zoonotic Diseases)

Penyakit zoonotik adalah penyakit yang dapat ditularkan antara hewan dan manusia, seperti rabies, avian influenza, mad cow disease (bovine spongiform encephalopathy atau BSE). Saat ini banyak ditemukan penyakit zoonotik baru atau yang dikenal dengan istilah emerging zoonotic diseases. Emerging zoonotic diseases didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh agen penyakit yang baru atau agen penyakit yang sudah diketahui/dikenal sebelumnya namun muncul pada daerah/tempat yang baru atau pada spesies lain yang sebelumnya tidak pernah terinfeksi.

Pada satu dekade terakhir ini dilaporkan bahwa 75% penyakit infeksius baru (emerging infectious diseases) pada manusia disebabkan oleh agen penyakit (patogen) yang berasal dari hewan atau produknya, yang berarti penyakit tersebut dikategorikan sebagai penyakit zoonotik.

Dokter hewan menjadi "garis terdepan" dalam pengenalan, diagnosis, dan respon terhadap penyakit-penyakit zoonotik ini (
veterinarians find themselves on the front lines in recognizing, diagnosing, and responding to these diseases).



2. Keamanan Pangan (Food Safety)

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di dunia yang cepat maka kebutuhan dan ketergantungan terhadap pangan juga meningkat cepat. Diperkirakan bahwa sebelum tahun 2020 kebutuhan pangan meningkat mencapai 50%. Oleh sebab itu, perlu tindakan untuk menyediakan pangan yang aman dan cukup bagi populasi dunia (sekitar 7 miliar orang).

Dokter hewan memiliki kepakaran dalam praktik produksi pangan, manajemen ekosistem, dan masalah-masalah pencemaran mikrobial yang berkaitan dengan keamanan pangan (
veterinarians have the expertise to address food-production practices, ecosystem management, and microbial contamination problems associated with food safety).



3. Kesehatan Masyarakat (Public Health)

Perubahan dalam penggunaan lahan dan air, pengalihan hutan sebagai habitat satwa liar untuk pertanian dan aktivitas manusia, sampah, polusi dan cemaran berkontribusi terhadap ancaman dan degradasi sumberdaya alam yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup dan kehidupan. Selain itu perdagangan global, transportasi masal, industrialisasi pengolahan panga, dan perubahan iklim berkontribusi pula terhadap peningkatan tekanan dan penyebaran penyakit dan pencemaran. Hal-hal tersebut mengancam kesehatan masyarakat.

Dokter hewan yang memiliki pendidikan dalam interaksi biologis multi- dan antar-spesies, pendekatan klinis, dan kedokteran pencegahan menjadikannya sebagai mitra kerjasama yang ideal dan kritis (
veterinarians, with their education in multi- and cross-species biological interactions, clinical approaches, and preventive medicine, make ideal and critical public health collaborators).



4. Kesehatan Satwa Liar (Wildlife Health)

Sekitar 75% dari agen penyakit infeksius berasal dari infeksi endemis pada satwa liar. Gangguan manusia terhadap habitat satwa liar mengundang agen infeksius pada satwa liar menjadi patogen untuk populasi manusia. Dengan demikian, sangatlah penting untuk mengidentifikasi "rute" agen penyakit tersebut sampai menginfeksi manusia dan mengetahui dampaknya pada hewan sebagai induk semang utama atau induk semang antara. Pentingnya peran satwa liar dalam ekosistem memerlukan manajemen kerjasama yang peka dan terampil.

Dokter hewan memiliki posisi unik untuk menyebarkan latar belakang pendidikan dan pemahamannya tentang penyakit hewan untuk mengindentifikasi, mengelola, dan mengendalikan penyakit-penyakit bersumber pada satwa liar (
veterinarians are in a unique position to deploy their backgrounds and understanding of animal diseases to identify, manage, and control these diseases).



5. Resitensi Antimikrobial (Antimicrobial Resistance)

Kemunculan dan penyebaran resistensi antimikrobial diantara bakteri, virus dan organisme penyebab sakit lainnya menjadi ancaman terhadap usaha melawan penyakit infekius. Penyalahgunaan dan pemahaman yang kurang tentang antimikroba di masa lalu telah menyebabkan evolusi alami organisme patogen menjadi resisten. Hal ini yang menyebabkan kemampuan untuk melawan organisme-organisme tersebut berkurang. Walau resistensi antimikrobial ini belum diketahui pasti seberapa besar masalahnya, dokter hewan (harus) menjadi bagian terdepan dalam penggunaan antimikrobial yang tepat, tindakan-tindakan pengendalian secara komprehensif, dan penelitian pengembangan dan penerapan antibiotik (
veterinarians are on the forefront of proper use, comprehensive control measures, and research in antibiotic development and application).



6. Kesiapsiagaan Bencana (Disaster Preparedness)

Tantangan untuk kesiapan lebih baik menghadapi bencana alam dan yang diakibatkan oleh manuisa merupakan perhatian yang luar biasa dari semua pihak, namun dokter hewan memiliki posisi unik untuk menilai implikasi bencana terhadap komunitas manusia dan hewan. Saat ini, mayoritas usaha-usaha penanggulangan bencana ditargetkan hanya kepada manusia, walaupun dokter hewan paham kaitan yang erat (tidak mungkin diabaikan atau dipisahkan) antara manusia dan hewan. Profesi dokter hewan dapat berperan penting dalam bencana, termasuk ketentuan tentang penyelamatan (rescue) dan pemberian tindakan darurat kepada manusia, hewan pelihara, dan ternaknya. Dengan pengetahuan tentang epidemiologi veteriner, kesehatan, peternakan, dan tingkah laku, dokter hewan dapat memberikan kontribusi yang khas dalam perbaikan kualitas hidup baik pada hewan maupun manusia pada saat terjadinya bencana (drawing on their knowledge of animal epidemiology, health, husbandry, and behavior, veterinarians can uniquely contribute to improving quality of life for both animals and humans in the event of disaster).


Tulisan di atas bukan berarti dokter hewan segala-galanya, namun pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh selama pendidikan dokter hewan, termasuk pendidikan berkelanjutan, patut menjadikan dokter hewan sebagai mitra "signifikan" dalam bidang kesehatan dan kesejahteran masyarakat.


Senin, 19 Maret 2012

Tantangan Kesmavet di Indonesia

TANTANGAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DI INDONESIA

Denny W. Lukman



Kesehatan Masyarakat Veteriner

Istilah kesehatan masyarakat veteriner atau kesmavet masih banyak belum dikenal oleh masyarakat, termasuk di kalangan pemerintah dan bahkan di kolega dokter. Istilah kesmavet digunakan kali pertama dalam pertemuan World Health Organization (WHO) pada tahun 1946 untuk menyiapkan kerangka konseptual dan struktur program dari aktivitas kesehatan masyarakat yang melibatkan pengetahuan, kepakaran, dan sumberdaya kedokteran hewan untuk melindungi dan memperbaiki kesehatan masyarakat (Arambulo III 1991). Kesmavet merupakan bagian dari aktivitas kedokteran hewan yang berkaitan dengan pencegahan, perlindungan, dan promosi kesehatan masyarakat.

Definisi kesmavet sejak diperkenalkan kali pertama oleh WHO senantiasa disempurnakan. Definisi kesmavet terakhir direvisi pada WHO consultation on "future trends in veterinary public health" yang diselenggarakan di Teramo, Italy pada tahun 1999 sebagai "the sum of all contributions to the physical, mental and social well-being of humans through an understanding and application of veterinary science" (seluruh kontribusi terhadap kesehatan fisik, mental, dan sosial manusia melalui pemahaman dan penerapan ilmu veteriner". Definisi ini disesuaikan dengan definisi "sehat" menurut WHO dan turut mendukung pencapaian tujuan "health for all by the year 2000". Tujuan tersebut tidak berarti bahwa di tahun 2000-an tidak akan ada penyakit lagi, namun lebih ditujukan agar mayoritas populasi dunia memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dasar serta mendorong produktivitas secara ekonomis dan sosial yang dapat memberikan kepuasan hidup. Selain itu, perawaran kesehatan primer tidak hanya dapat dicapai melalui sektor kesehatan saja, melainkan membutuhkan kerjasama berbagai sektor pembangunan dan sosial, antara lain pertanian dan peternakan, sehingga diperlukan fungsi kesmavet dalam pencapaian tujuan "health for all by the year 2000" (Arambulo III 1991).

Beberapa praktisi menjelaskan bahwa kesmavet merupakan "jembatan" antara bidang pertanian dan bidang kesehatan masyarakat. Aktivitas kesmavet melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti kesehatan, sosial, ekologi, dan konservasi. WHO (2012) menyatakan bahwa kesmavet merupakan bagian esensial kesehatan masyarakat dan melibatkan berbagai jenis kerjasama antar disiplin ilmu yang berkaitan dengan segitiga sehat (health triad), manusia-hewan-lingkungan, serta semua interaksinya.

Ruang lingkup utama kegiatan kesmavet adalah keamanan dan produksi pangan, khususnya pangan asal hewan, pencegahan dan pengendalian zoonosis, kesehatan lingkungan, dan kesejahteraan hewan terkait pemanfaatan hewan oleh manusia.


Tantangan Kesmavet di Indonesia

Pengaturan kesmavet secara legal di Indonesia tertulis dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada tahun 2000, dibentuk Direktorat Kesmavet di bawah Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian untuk menangani bidang kesmavet seperti yang diamanahkan dalam UU Nomor 6 Tahun 1967.

Masalah yang terkait kesmavet pada dua dasa warsa terakhir antara lain munculnya penyakit infeksius baru (emerging infectious diseases) pada manusia yang sebagian besar bersumber pada hewan atau bersifat zoonotik. WHO (2012) menyatakan bahwa 75% penyakit infeksius baru pada manusia dalam 10 tahun terakhir disebabkan oleh agen patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan. Jones et al. (2008) menyebutkan bahwa 71.8% dari zoonosis yang baru muncul (emerging zoonoses) bersumber pada satwa liar. Beberapa faktor yang diidentifikasi memicu munculnya penyakit zoonotik baru tersebut antara lain perubahan demografi (peningkatan populasi dunia), perdagangan global, perubahan pola hidup masyarakat, perubahan sistem pertanian (pengalihan hutan menjadi lahan pertanian), dan pariwisata.

Masalah kesmavet, khususnya zoonosis baru, dihadapi juga oleh Indonesia, selain zoonosis yang telah ada di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, avian influenza telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dan telah menyebabkan kasus sakit dan kematian pada manusia. Selain itu, beberapa daerah bebas historis rabies telah menjadi daerah tertular. Kasus penyakit parasitik yang bersifat zoonotik seperti toksoplasmosis dan sistiserkosis masih menjadi masalah di beberapa daerah, namun belum menjadi perhatian serius pemerintah dalam hal pencegahan dan pengendalian di hewan.

Selain zoonosis, pemotongan hewan masih banyak dilakukan di tempat pemotongan hewan atau rumah potong hewan yang sangat memprihatinkan, karena tidak memenuhi persyaratan higiene sanitasi. Hal ini tentunya akan mempengaruhi keamanan dan kualitas karkas/daging yang dihasilkan. Selanjutnya, kesejahteraan hewan yang belum diterapkan di tempat atau rumah potong hewan. Praktik kesejahteraan hewan tersebut menjadi "masalah" dalam perdagangan dengan Australia.

Hal yang lebih memprihatinkan, banyaknya penutupan rumah potong hewan untuk babi akibat relokasi atau renovasi, sementara kebutuhan masyarakat tertentu terhadap daging babi masih harus disediakan. Hal ini yang mendorong terjadinya pemotongan babi di tempat yang tidak mendapat pengawasan dari pemerintah. Dari aspek kesmavet, pemotongan babi di luar pengawasan pemerintah atau otoritas medis veteriner akan membawa risiko pencemaran lingkungan oleh agen patogen zoonotik yang mengancam kesehatan masyarakat, hewan, dan lingkungan. Selain itu, adarisiko "masuknya" produk babi ke dalam rantai penyediaan pangan halal.

Masalah kesmavet lain di Indonesia adalah eksploitasi hutan untuk pertanian dan pertambangan yang dapat mengakibatkan munculnya zoonosis baru yang bersumber dari satwa liar. Peran vektor di sekitar hutan menjadi penting.

Masalah di atas semakin sulit diatasi dan mungkin tidak akan pernah diatasi dengan kondisi pemerintahan saat ini, yang mana "hilangnya rantai komando" kesehatan hewan dari pusat sampai daerah akibat menurunnya "tingkat kewenangan" yang membidangi kesehatan hewan dan kesmavet di kabupaten/kota. Selain itu, belum adanya undang-undang yang khusus mengatur veteriner dan praktik dokter hewan memberikan kontribusi "kelemahan pengaturan" bidang kesmavet.

Sebagai simpulan, tantangan kesmavet di Indonesia adalah munculnya zoonosis baru atau kembali munculnya zoonosis endemis, penyediaan pangan asal hewan yang belum memenuhi keamanan dan kelayakan, praktik penanganan hewan yang belum memenuhi kesejahteraan hewan, lemahnya komando dari pusat ke daerah, dan lemahnya peraturan perundangan.




Acuan Pustaka


Arambulo III PV. 1991. Veterinary public health: perspectives at the threshold of the 21st century. Rev sci tech Off int Epiz 11 (1): 255-262.

Waltner-Toews D. 2002. Veterinary public health. http://www.enotes.com/veterinary-public-health-reference/veterinary-public-health [19 Maret 2012].

[WHO] World Health Organization. 2012. Veterinary public health. http://www.who.int/zoonoses/vph/en/ [19 Maret 2012].