Sabtu, 11 Oktober 2008

Higiene Personal dan Penanganan Pangan yang Aman

HIGIENE PERSONAL DAN PENANGANAN PANGAN YANG AMAN


diambil dari Marriott NG (1999) Principles of Food Sanitation. 4th Ed. Gaithersburg, Maryland: Aspen




Penjamah pangan (food handler) dapat memindahkan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Kenyataannya, manusia merupakan sumber utama pencemaran pangan. Tangan, nafas, rambut dan keringat dapat mencemari pangan. Pemindahan feses (kotoran) manusia dan hewan melalui karyawan merpana sumber potensial mikroorganisme patogen yang dapat masuk ke dalam rantai pangan.

Industri pangan memfokuskan lebih pada pendidikan dan pelatihan karyawan serta menekankan bahwa penyelia (supervisor) dan karyawan terbiasa dengan prinsip-prinsip perlindungan keamanan pangan.


Higiene Personal

Kata higiene digunakan untuk menggambarkan penerapan prinsip-prinsip kebersihan untuk perlindungan kesehatan manusia. Higiene personal mengacu kepada kebersihan tubuh perseorangan. Kesehatan karyawan berperan sangat penting dalam sanitasi pangan. Manusia merupakan sumber potensial mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.


Higiene Karyawan


Karyawan yang sakit tidak diperkenankan kontak dengan pangan, peralatan dan fasilitas yang digunakan untuk proses, penyiapan, dan penyajian makanan. Penyakit manusia yang dapat ditularkan melalui pangan adalah penyakit saluran nafas seperti demam, radang tenggorok, pneumonia, scarlet fever, dan tuberkulosis; gangguan pencernaan; disentri; demam tifoid; serta hepatitis inkfesius. Pada beberapa penyakit, mikroorganisme penyebab penyakit masih dapat bertahan/tinggal pada penderita setelah sembuh. Orang dengan kondisi demikian disebut carrier.

Jika karyawan sakit, maka potensinya sebagai sumber pencemar menjadi meningkat drastis. Staphylococcus biasanya terdapat di sekitar bisul, jerawat, karbunkel, luka yang terinfeksi, mata dan telinga. Infeksi pada sinus, radang tenggorok, batuk terus-menerus, serta gejala penyakit dan demam merupakan gambaran bahwa mikroorganisme meningkat. Prinsip tersebut perlu diterapkan pada saluran pencernaan seperti diare. Bahkan setelah sembuh, mikroorganisme masih dapat berada dalam tubuh yang merupakan sumber pencemaran. Sebagai contoh, Salmonellae dapat bertahan beberapa bulan setelah penderita sembuh. Virus hepatitis masih dapat dijumpai pada saluran pencernaan sampai lebih dari 5 tahun setelah gejala penyakit. Di bawah ini akan dibahas beberapa bagian tubuh manusia yang merupakan sumber pencemaran mikroorganisme.

Kulit


Bagian terluar dari epidermis yang disebut dengan corneum merupakan lapisan sel yang lebih datar dan lebih halus dibandingkan dengan sel-sel lain. Lapisan ini yang penting dalam pendistribusian mikroflora transien dan residen. Kelenjar dalam kulit mengeluarkan (sekresi) keringan dan minyak. Kulit berfungsi secara konstan pengaturan pengeluaran keringat, minyak dan sel-sel yang mati ke bagian permukaan. Jika bahan-bahan tersebut bercampur dengan bahan-bahan dari lingkungan sekitarnya, seperti debu, kotoran dan lemak, maka akan membentuk suatu lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan bakteri. Sejalan dengan peningkatan sekresi maka bakteri akan terus tumbuh. Penjamah makanan akan memindahkan bakteri-bakteri tersebut ke makanan. Cuci tangan yang tidak benar dan mandi yang jarang akan meningkatkan jumlah mikroorganisme yang bercampur dengan sel-sel mati pada permukaan kulit. Pencemaran mikroorganisme akan mengurangi masa simpan produk atau menyebabkan keracunan makanan (fooodborne illness).

Keracunan makanan dapat terjadi jika penjamah makanan menjadi pembawa (carrier) Staphylococcus aureus atau Staphylococcus epidermis, yang merupakan dua spesies bakteri paling dominan yang secara normal berada di kulit. Kedua bakteri tersebut berada di folikel rambut dan saluran kelenjar keringat kulit. Bakteri tersebut dapat menyebakan abses, bisul, dan infeksi luka setelah operasi. Bersamaan dengan sekresi dari kelenjar keringat kulit, bakteri tersebut akan keluar bercampur dengan keringat dan sebum (bahan berlemak di folikel rambut) ke permukaan kulit.

Golongan bakteri tertentu tidak dapat tumbuh pada permukaan kulit karena kulit merupakan barrier fisik dan juga menghasilkan sekreta kimiawi yang dapat membunuh beberapa mikroorganisme. Fungsi ini akan paling efektif jika kulit dalam keadaan bersih.

Epidermis mengandung cracks, crevices dan hollows sehingga menjadikan kondisi lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri juga tumbuh pada folikel rambut dan kelenjar keringat.

Bakteri residen di kulit, yang tidak mudah dipindahkan/dihilangkan, hidup dalam mikrokoloni di dalam pori-pori kulit dan terlindungi oleh sekresi-sekresi kelenjar kulit. Mikroorganisme dalam kelompok residen terutama mencakup Micrococcus luteus dan Staphylococcus epidermis, sedangan bakteri kelompok transien adalah Staphylococcus aureus.


Jari-jari

Bakteri akan terikut dengan tangan saat menyentuh peralatan kotor, pangan tercemar, pakaian, dan bagian lain dari tubuh. Jika hal ini terjadi, maka karyawan harus menggunakan sanitaiser yang dapat mengurangi perpindahan cemaran. Sarung tangan plastik merupakan suatu solusinya. Hal tersebut akan mencegah perpindahan bakteri patogen dari jari-jari dan tangan ke makanan.


Kuku

Penyebaran bakteri yang paling mudah adalah melalui kotoran yang berada pada kuku (bagian dalam kuku). Karyawan dengan kuku yang kotor dilarang menangani pangan. Pencucian tangan dengan sabun dan air akan menghilangkan bakteri transien, dan penggunaan sanitaiser atau antiseptik akan mengendalikan bakteri residen. Praktek tersebut di rumah sakit telah menunjukkan bahwa penggunaan alkohol dapat mengendalikan dan menghilangkan bakteri-bakteri residen dan transien tanpa iritasi tangan.


Pehiasan

Perhiasan tidak boleh dikenakan selama penanganan makanan atau di daerah penanganan makanan untuk mengurangi pencemaran serta menghindari kemungkinan jatuh ke dalam makanan.


Rambut

Mikroorganisme, terutama Staphylococcus, terdapat pada rambut. Karyawan yang menggaruk kepala atau menyentuh rambutnya harus mencuci dan mensanitasi tangannya. Karyawan harus menggunakan penutup kepala. Hair net dapat digunakan untuk menutup kepala.


Mata


Pada dasarnya mata bebas dari bakteri, namun infeksi bakteri ringan dapat pula terjadi. Bakteri dapat dijumpai di eyelashes dan sudut mata dekat hidung. Tangan yang menggosok mata akan tercemar oleh mikroorganisme tersebut.


Mulut

Beberapa bakteri ditemukan di dalam mulut dan pada bibir. bSaat bersin sejumlah bakteri akan berpindah ke udara dan mungkin akan mencemari makanan yang sedang ditanganinya. Sejumlah bakteri dan virus penyebab penyakit pada manusia dapat pula ditemukan di mulut, khususnya pada karyawan yang sakit. Mikroorganisme tersebut akan berpindah ke individu atau makanan saat karyawan yang sakit tersebut bersin.

Meludah dilarang di area pengolah makanan. Meludah dapat mencemari makanan.


Hidung, Nasofaring, Saluran Pernafasan

Hidung dan tenggorok memiliki jumlah mikroorganisme yang sangat terbatas dibandingkan dengan mulut. Hal ini karena sistem penyaringan tubuh yang efektif. Partikel-partikel lebih besar dari diameter 7 μm yang masuk saat bernafas akan ditahan pada saluran pernafasan atas. Hal tersebut akan lebih efektif dengan adanya lendir yang kental pada permukaan slauran hidun, sinus, faring dan esofagus. Kira-kita setengah dari partikel-partikel dengan diameter lebih besar dari 3 μm akan dihilangkan dari saluran pernafasan, sedangkan sisanya akan masuk ke paru-paru. Partikel-partikel yang masuk ke dalam paru-paru akan dimusnahkan dengan sistem pertahanan tubuh. Virus akan dikendalikan dengan bahan yang dapat menginaktivasi virus yang berada pada cairan serous hidung.

Kadang-kadang mikroorganisme tertentu dapat masuk ke dalam membran yang mucous dan tinggal pada tenggorok dan saluran pernafasan, contohnya Staphylococcus, Streptococcus, dan difteroid.


Organ-organ ekskretor

Buangan dari usus merupakan sumber utama pencemar mikroorganisme. Sebanyak 30-35% bahan kering isi usus terdiri dari sel-sel bakteri. Pada saluran pencernaan atas umumnya ditemukan Streptococcus faecalis dan Staphylococcus. Buruknya higiene pribadi akan menyebabkan pencemaran bakteri-bakteri tersebut ke makanan. Oleh sebab itu, karyawan harus mencuci tangan dengan sabun sebelum meninggalkan toilert dan menggunakan sanitaiser sebelum menangani makanan.


Kontaminasi Karyawan pada Pangan

Faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi pencemaran mikroorganisme oleh manusia antara lain:

1. Lokasi di tubuh. Komposisi mikroflora pada bagian-bagian tubuh bervariasi. Muka, leher, tangan dan rambut mengandung proporsi tertinggi mikroorganisme transien dan kepadatan bakteri yang tinggi.

2. Umur. Populasi mikroorganisme berubah seiring dengan pertambahan umur. Hal ini terutama saat manusia memasuki pubertas. Saat itu sejumlah besar sebum dihasilkan kulit yang mendoronga terjadinya jerawat yang disebabkan oleh Propionibacterium acnes.

3. Rambut. Karena kepadatan dan produksi minya, rambut akan mendorong pertumbuhan bakteri seperti S. aureus dan Pityrosporum.

4. pH. pH kulit dipengaruhi oleh sekresi asam laktat dari kelenjar keringat, asam lemak dari aktivitas mikroorganisme, dan difusi karbondioksida pada kulit. Nilai pH kulit sekita 5.5 sangat selektif terhadap mikroorganisme transien. Faktor-faktor yang mempengaruhi pH kulit akan mempengaruhi pula kandungan mikroorganisme pada kulit.

5. Gizi. Keringat mengandung zat gizi yang terlarut bersamanya (misalnya ion-ion inorganik dan asam-asam) dan sebum mengandung bahan-bahan yang larut dalam lemak (minyak) seperti trigliserida, ester, dan kolesterol.

Manusia merupakan sumber pencemar pangan yang paling umum. Orang yang memindahkan penyakit dikenal sebagai carrier. Carrier adalah orang yang mengandung dan mengeluarkan patogen tetapi tidak menunjukkan gejala klinis sakit. Carrier dibagi menjadi tiga kelompok:
1. Convalescent carrier. Orang yang telah sembuh dari sakit yang masih mengandung patogen sampai jangka waktu tertentu, biasanya kurang dari 10 minggu.
2. Chronic carrier. Orang yang terus-menerus mengandung mikroorganisme infeksius namun tidak menunjukkan gejala sakit.
3. Contact carrier. Orang yang mendapatkan dan terinfeksi oleh mikroorganisme patogen melalui kontak dekat (close contact) dengan orang yang terinfesi namun orang tersebut tidak menunjukkan gejala sakit.

Mikroorganisme yang terdapat di tubuh manusia antara lain:
1. Streptococcus. Mikroorganisme ini umumnya berada di tenggorok dan saluran pencernaan. Mikroorganisme ini menyebabkan infeksi sekunder.
2. Staphylococcus. Sumber utama terpenting mikroorganisme ini pada tubuh manusia adalah lubang hidung.
3. Mikroorganisme intestinal. Grup mikroorganisme ini antara lain Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Cholera, virus hepatitis infeksius, dan amuba infeksius. Mikroorganisme tersebut penting dalam masalah kesehatan masyarakat karena sebagai penyebab penyakit yang serius.


Cuci Tangan

Kira-kira 25% pencemaran pangan berkaitan dengan cuci tangan yang tidak sempurna. Cuci tangan dilakukan untuk memutus jalur transmisi mikroorganisme dari tangan ke sumber lain serta mengurangi bakteri residen. Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Serratia marcescens, Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus dapat bertahan hidup sampai 90 menit jika inokulasikan secara buatan di atas jari-jari tangan.

Cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air, yang berfungsi sebagai bahan emulsifikasi untuk melarutkan lemak dan minyak pada tangan, akan menghilangkan bakteri transien. Peningkatan friksi melalui penggosokan kedua tangan atau penggunaan sikat dengan sabun akan mengurangi jumlah bakteri transien dan residen dibandingkan dengan cuci tangan yang cepat.


Aturan untuk Praktek Higiene

Manajemen harus menetapkan suatu protokol untuk menjamin praktek higiene oleh karyawannya. Penyelia (supervisor) dan manajer harus sebagai contoh tingkat higiene dan kesehatan yang tinggi untuk diperlihatkan kepada karyawannya betapa pentingnya praktek higiene. Mereka perlu menyediakan fasilitas pencucian pakaian untuk menjaga kebersihan seragam kerja.

Manajemen harus melaksanakan pengujian kesehatan sebelum penerimaan pegawai untuk memverifikasi bahwa mereka dalam keadaan sehat fisik, mental dan emosi.

Praktek-praktek berikut in harus diterapkan oleh karyawan untuk menjamin higiene personal:
1. Kesehatan fisik harus dijaga dan dilindungi dengan gizi yang baik dan kebersihan diri.
2. Penyakit harus dilaporkan kepada perusahaan sebelum bekerja dengan makanan sehingga kontak antara karyawan sakit dan makanan dapat dicegah
3. kebiasaan kerja yang higienis harus dikembangkan untuk menghilangkan pencemaran pangan yang potensial
4. Selama kerja, tangan harus dicuci setelah menggunakan toilet, menangani sampah atau bahan-bahan yang kotor, menangani daging mentah, produk telur atau produk susu, memegang uang, merokok, batuk atau bersin
5. Kebersihan diri harus dipelihara dengan mandi setiap hari dan menggunakan deodoran, keramas minimum 2 kali seminggu, membersihkan kuku setiap hari, menggunakan penutup kepala (hair net) selama menangani makanan, mengenakan pakaian yang bersih
6. Tangan karyawan dilarang menyentuh peralatan dan fasilitas untuk makanan. Sarung tangan sekali pakai perlu digunakan jika diperlukan kontak.
7. Aturan seperti “dilarang merokok” perlu ditaati, dan peraturan laiinya yang berkaitan dengan pencemaran yang potensial.

Perusahaan (manajemen) harus menekankan praktek higiene karyawan melalui:
1. Karyawan harus diikutsertakan dalam pelatihan penanganan makanan dan higiene personal
2. Inspeksi secara reguler perlu dilaksanakan terhadap karyawan dan kebiasaan kerjanya
3. Insentif bagi praktek higiene dan sanitasi yang terbaik perlu disediakan

Penjamah makanan (food handler) harus bertanggung jawab terhadap kesehatan pribadinya dan kebersihan dirinya. Perusahaan (manajer) harus bertanggung jawab agar masyarakat terhindar dari praktek yang tidak higienis yang dapat menyebabkan penyakit masyarakat. Higiene perosnal merupakan sutau tahapan dasar yang harus dilaksanakan untuk menjamin produksi makanan yang aman.

Daging dan Produk Olahan Daging

DAGING DAN PRODUK OLAHANNYA

Denny W. Lukman

Bagian Kesmavet FKH IPB

1. Definisi Umum

Daging segar adalah daging atau otot skeletal dari hewan yang disembelih secara halal dan higienis setelah mengalami pelayuan (aging) yang disimpan pada suhu dingin atau beku, yang tidak mengalami proses pengolahan lebih lanjut.

Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi (edible offals).

Offal adalah seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing, dan alat reproduksi.

Jeroan (edible offal atau disebut juga variety meat atau fancy meat) adalah organ atau jaringan selain otot skeletal yang lazim dan layak dikonsumsi manusia yang tidak mengalami proses lebih lanjut selain daripada pendinginan atau pembekuan. Jeroan terdiri dari jantung, lidah, hati, daging di kepala, otak, timus dan atau pankreas, babat, usus, ginjal, buntut.

Mechanically Deboned Meat (MDM)/Mechanically Recovered Meat (MRM)/Mechanically Seperated Meat (MSM) adalah daging yang diperoleh dari pelepasan sisa-sisa daging yang melekat pada tulang (terutama dari tulang belakang (vertebrae), rusuk, bahu, dan pelvis) dengan menggunakan mesin bertekanan tinggi. MRM dapat mengandung beberapa bagian/materi tulang dan atau sumsum tulang belakang. Kandungan kalsium, besi dan purin relatif lebih tinggi dibandingkan daging lain.

Daging giling adalah daging yang dihasilkan dari penggilingan dan pencampuran berbagai jenis potongan daging, dengan atau tanpa campuran lemak (maksimum 30%).

Patties (beef patties) adalah daging giling yang telah dibentuk tertentu (patties) yang dibekukan, dengan atau tanpa penambahan bumbu, dapat ditambahkan dengan pengikat (binder atau extender) dan air untuk memudahkan pembentukan menjadi patties.

Hamburger adalah daging giling yang telah dibentuk tertentu (patties) yang dibekukan, dengan atau tanpa penambahan bumbu, namun tidak ditambahkan dengan pengikat (binder atau extender) dan air.

Daging asap (smoked meat) adalah daging atau produk daging yang telah mengalami pengasapan atau penambahan citarasa asap.

Cured meat adalah produk daging yang telah diperlakukan dengan memberikan garam curing (mengandung garam, sodium nitrit dan atau nitrat, gula dan bumbu lain) kemudian disimpan (beberapa hari). Setelah curing, produk daging dibilas dan siap disajikan atau diasap.

Baso daging adalah produk daging berbentuk bulatan atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging (kandungan daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan (BTP) yang diizinkan.

Sosis daging adalah produk daging yang berasal dari daging yang digiling dan dicampur dengan bahan tambahan pangan lain kemudian dimasukkan ke dalam casing sosis. Sosis dibagi menjadi dua kelompok yaitu sosis mentah dan sosis matang. Sosis mentah terdiri dari sosis segar (uncooked fresh sausage) dan sosis asap (smoked sausage). Sosis matang terdiri dari sosis masak, semi-dry sausage dan dry sausage.

Dried meat adalah produk daging yang berasal dari daging yang dilakukan curing, diasap dan dikeringkan menggunakan mesin pengering (dryer atau dehydrator) atau menggunakan sinar matahari.

Kaldu daging adalah kaldu daging kering berupa bubuk atau bubuk yang dibentuk kubus.

Canned meat adalah produk daging olahan yang diproses dengan pemanasan steril komersial dan dikemas di dalam kaleng yang hampa udara.

Corned meat adalah produk daging yang telah diproses menggunakan garam curing dan diberikan bumbu lain, kemudian dilakukan pemanasan steril komersial.

Tallow adalah bahan yang berasal dari lemak hewan yang disembelih yang memiliki titer minimum (=suhu minimum untuk merubah dari bentuk cair ke padat) sama atau lebih besar dari 40oC.

Casing sosis adalah selubung atau selongsong sosis yang dibuat dari bahan sintetik atau organ



2. Daging Segar

Daging segar dihasilkan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) atau Rumah Pemotongan Unggas setelah proses penyembelihan hewan yang dilaksanakan secara halal dan higienis.

Setelah proses pemotongan, karkas atau daging harus disimpan pada suhu dingin (suhu internal daging 0 sampai +4 oC; suhu chiller/cooler -1 sampai +1 oC) atau suhu beku (suhu internal daging -18 oC; suhu cold storage/freezer > -18 oC).

3. Jeroan (Variety Meat, Fancy Meat)

Jeroan dihasilkan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) atau Rumah Pemotongan Unggas setelah proses penyembelihan hewan yang dilaksanakan secara halal dan higienis.

Setelah proses pemotongan, jeroan harus disimpan pada suhu dingin (suhu internal daging 0 sampai +3 oC; suhu chiller/cooler -1 sampai +1 oC) atau suhu beku (suhu internal daging -18 oC; suhu cold storage/freezer > -18 oC).

4. Daging Giling, Patties, Hamburger

Daging giling dihasilkan dengan menggiling dan mencampur beberapa potongan daging, dan dapat dicampur dengan lemak (maksimum 30%).

5. Daging Asap

Daging asap dihasilkan dari proses pengasapan. Metode pengasapan ada 2 yaitu (a) pengasapan dingin (cold smoking) yang dilakukan pada suhu 20-25 oC (tidak lebih dari 28oC), pada kelembaban 70-80%, selama beberapa jam sampai beberapa hari; (2) pengasapan panas (hot smoking) yang dilakukan pada suhu awal 30-35oC dan akhir 50-55oC bahkan dapat mencapai 75-80oC.

6. Cured Meat

Cured meat (daging curing) dihasilkan dari proses pemberian garam curing kepada daging. Garam curing terdiri dari garam, nitrit dan atau nitrat, gula serta bumbu lain. Curing dapat dilakukan secara kering (dry curing) atau secara basah (wet curing). Curing kering dilakukan dengan melumuri daging dengan garam curing. Curing basah (wet curing atau dikenal juga sebagai brine curing) dilakukan dengan merendam daging dalam larutan garam curing atau dengan menyuntikkan larutan garam curing ke dalam daging dengan alat khusus. Daging yang telah diberi garam curing disimpan beberapa hari pada suhu +5 oC, kemudian daging dibilas, yang selanjutnya siap disajikan atau diasap.

7. Baso Daging

Baso daging dihasilkan dari penggilingan dan pencampuran daging (kandungan daging tidak kurang dari 50%) dengan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan (BTP) yang diizinkan. Selanjutnya campuran tersebut dicetak/dibentuk (bulat atau gepeng), lalu dimasukkan ke dalam air mendidih sampai baso tersebut mengapung. Baso ditiriskan dan dikemas.

8. Sosis Daging

Sosis daging dihasilkan dari daging yang digiling dan dicampur dengan bahan tambahan pangan lain kemudian dimasukkan ke dalam casing sosis. Sosis dibagi menjadi dua kelompok yaitu sosis mentah dan sosis matang. Sosis mentah terdiri dari sosis segar (uncooked fresh sausage) dan sosis asap mentah (uncooked smoked sausage). Sosis matang terdiri dari sosis masak, semi-dry sausage dan dry sausage.

Uncooked fresh sausage adalah sosis yang masih mentah/segar, belum dilakukan curing atau diasap, yang harus dimasak sebelum dikonsumsi. Contohnya fresh Bockwurst, Bratwurst, fresh pork sausage, Italian-style fresh pork sausage, Salsicca, Weisswurst, fresh Thuringer.

Uncooked smoked sausage adalah sosis yang telah mengalami curing atau pengasapan, yang harus dimasak sebelum dikonsumsi. Contohnya country style smoked porks sausage, Linguica, Mettwurst, Polish sausage.

Cooked sausage adalah sosis yang tidak dilakukan curing atau diasap, yang telah dimasak terlebih dahulu. Contohnya blood sausage, cooked Bockwurst, Braunschweiger, cooked Bratwurst, Liver sausage, cooked Thuringer.

Cooked smoked sausage adalah sosis yang telah dilakukan curing, diasap (sedikit), dan telah dimasak. Contohnya Bologna, Boterhamworst, Bratwurst, Frankfurters, Knackwurst, Polish sausage, Berliner or New England style sausage, Vienna sausages, Wieners.

Dry sausage adalah sosis yang telah dilakukan curing dan dikeringkan dengan udara, yang siap disajikan dingin atau hangat. Dry sausage terdiri dari semi-dry sausage dan dry sausage. Contoh semi-dry sausage antara lain Cervele\atm Lebanon, Bologna, Mortadella, Vienna. Dry sausage dapat diasap, tidak diasap atau dimasak, contohnya Chorizo, Frizzes, Lyons, Pepperoni, Salami, Soppressata.

9. Daging Kering, Kaldu Daging

Daging kering dihasilkan dari daging yang telah diproses dengan curing, asap dan pengeringan. Daging dapat berupa potongan daging, slice, atau serbuk/bubuk (powder) atau serbuk yang dibentuk kubus. Contoh produk daging kering antara lain beef jerky, biltong, bresaola, chipped meat, bouillon.

10. Canned Meat, Corned Meat

Canned meat dihasilkan dari produk olahan daging yang diproses dengan pemanasan sterilisasi komersial (retort). Pemanasan sterilisasi komersial dilakukan dalam autoklaf (121oC).

11. Tallow

Tallow bahan yang berasal dari lemak hewan yang disembelih yang memiliki titer minimum (=suhu minimum untuk merubah dari bentuk cair ke padat) sama atau lebih besar dari 40oC. Proses pemanasan yang diterapkan dalam produksi tallow adalah sterilisasi (120oC dengan tekanan 1,3 bar), kemudian pencucian panas 90oC.

Definisi Higiene, Sanitasi dan Higiene Pangan

Definisi Higiene, Sanitasi, dan Higiene Pangan



Denny W. Lukman

Bagian Kesmavet FKH IPB



Definisi Higiene


Kata Higiene berasal dari Bahasa Yunani "hygieine" (artinya healthfull = sehat), seorang nama dewi kesehatan Yunani (Hygieia).


Beberapa definisi Higiene adalah:


Higiene adalah seluruh kondisi atau tindakan untuk meningkatkan kesehatan (a condition or practice which promotes good health).


Higiene adalah tindakan-tindakan pemeliharaan kesehatan (the maintanance of healthfull practices)


Higiene adalah ilmu yang berkaitan dengan pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan (the sciene concerned with the prevention of illness and maintanance of health).


Pengertian higiene saat ini terkait teknologi mengacu kepada kebersihan (cleanliness). Higiene juga mencakup usaha perawatan kesehatan diri (higiene personal), yang mencakup juga perlindungan kesehatan akibat pekerjaan.



Definisi Sanitasi


Sanitasi adalah usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit tersebut.


Terkait makanan, sanitasi didefinisikan sebagai penerapan atau pemeliharaan kondisi yang mampu mencegah terjadinya pencemaran (kontaminasi) makanan atau terjadinya penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne illness atau foodborne disease).



Higiene Pangan


Definisi higiene pangan menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan makanan pada semua tahap dalam rantai makanan (all conditions and measures necessary to ensure the safety and the suitability of food at all stages in the food chain).


Pengertian keamanan pangan (food safety) dalam definisi di atas adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya (assurance that food will not cause harms to the consumer when it is prepared and/or eaten according to its intended use). Sedangkan kelayakan pangan (food suitability) adalah jaminan agar makanan dapat diterima untuk konsumsi manusia menurut penggunaannya (assurance that food is acceptable for human consumption according to its intended use).


Higiene daging adalah semua dan kondisi tindakan untuk menjamin keamanan dan kelayakan daging pada semua tahap dalam rantai makanan (all conditions and measures necessary to ensure the safety and the suitability of meat at all stages in the food chain).


Diambil dari berbagai sumber pustaka

Jumat, 10 Oktober 2008

Aspek Kesmavet E. sakazakii

Enterobacter sakazakii pada Susu Formula Bayi:
Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner

Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Jalan Agatis Kampus IPB Darmaga Bogor, Telpon/Faksimili +251 8625588




Pendahuluan
Susu merupakan pangan asal hewan yang mengandung gizi tinggi, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Kandungan gizi dan keadaan susu sangat menunjang pertumbuhan mikroorganisme, baik mikroorganisme patogen (menyebabkan sakit pada konsumen) maupun mikroorganisme pembusuk (menyebabkan kerusakan pada susu). Sapi yang sakit dapat mengeluarkan mikroorganisme patogen ke dalam susu dan jika terminum oleh konsumen, maka konsumen tersebut akan terinfeksi. Hal ini dikenal sebagai zoonosis, yaitu penyakit-penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya.

Telah dilaporkan bahwa 75% penyakit-penyakit baru (emerging diseases) yang menyerang manusia selama lebih dari dua dasa warsa terakhir diakibatkan karena berpindahnya patogen-patogen hewan (animal pathogens) ke manusia dan karenanya diklasifikasikan sebagai zoonosis (Brown 2004). Selanjutnya, Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat (2006) menyatakan bahwa saat ini telah terdapat lebih dari 250 penyakit-penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan atau yang dikenal dengan foodborne diseases. Hal ini menjadi permasalahan dan tantangan bagi kesehatan masyarakat saat ini dan masa depan.

Masalah kesehatan masyarakat yang terkait dengan hewan dan produk hewan dikenal sebagai kesehatan masyarakat veteriner atau Kesmavet (veterinary public health), yang merupakan bagian dari kewenangan, tugas, dan tanggung jawab profesi dokter hewan. Istilah Kesmavet pertama kali digunakan World Health Organization (WHO) pada tahun 1951. Definisi Kesmavet saat itu yang dirumuskan oleh the Joint of WHO/FAO Experts Group on Zoonoses (1951) adalah seluruh usaha masyarakat yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh seni dan ilmu kedokteran hewan, yang diterapkan untuk pencegahan penyakit, perlindungan hidup dan peningkatan kesejahteraan manusia. Sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, definisi Kesmavet terus dikembangkan dan direvisi. Pada pertemuan WHO, FAO, OIE, WHO/FAO Collaborating Centre for Research and Training in Veterinary Epidemiology and Management (1999), definisi Kesmavet direvisi kembali dan mengacu pada definisi sehat yang ditetapkan oleh WHO, sehingga Kesmavet didefinisikan sebagai kontribusi terhadap kesehatan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial masyarakat melalui suatu pemahaman dan penerapan ilmu kedokteran hewan.

Berkaitan dengan kesehatan masyarakat, profesi dokter hewan sebagai salah satu profesi medik utama yang memiliki tujuan akhir melindungi/menjaga dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia. Oleh sebab itu, semua usaha dan tindakan yang dilakukan dokter hewan tidak hanya melulu terfokus pada kesehatan hewan saja, namun sangat memperhatikan dan peduli terhadap pengaruh dan akibat dari tindakannya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Dengan demikian, profesi dokter hewan merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dari kesehatan masyarakat.

Salah satu agen patogen baru penyebab foodborne disease (emerging foodborne pathogen) yang terkait dengan susu bubuk formula bayi (powdered infant formula) adalah Enterobacter sakazakii. Pada bulan Juni 2003, negara-negara anggota WHO dan the FAO/WHO Codex Alimentarius Commission (CAC) telah memberikan perhatian terkait dengan adanya risiko penyakit yang diakibatkan oleh Enterobacter sakazakii dan patogen-patogen lain dalam susu formula bayi. Selanjutnya pada Maret 2004, the Codex Committee for Food Hygiene (CCFH) menyetujui untuk menindaklanjuti sesecepat mungkin revisi the International Code of Hygienic Practice for Foods for Infants and Children, termasuk kriteria mikrobiologis dari E. sakazakii dan mikroorganisme-mikroorganisme lain. Pada pertemuan CCFH sesi ke-39, the International Code of Hygienic Practice for Foods for Infants and Children telah mengalami revisi yang pesat.


Karakteristik dan Sumber Bakteri Enterobacter sakazakii
Bakteri ini merupakan bakteri batang, Gram negatif dari famili Enterobacteriaceae, dan digolongkan sebagai bakteri koliform. Bakteri ini bersifat motil (memiliki peritrichous flagella), tidak membentuk spora, memproduksi koloni berpigmen kuning. Sebelum tahun 1980, bakteri ini disebut sebagai yellow-pigmented Enterobacter cloacae (INFOSAN 2005). Bakteri ini dapat dimusnahkan pada suhu di atas 70 °C.

Habitat alami bakteri ini tidak diketahui pasti. E. sakazakii dapat dideteksi pada usus manusia sehat, serta dapat pula ditemukan di usus hewan dan lingkungan.

E. sakazakii merupakan bakteri patogen yang bersifat oportunistik. Bakteri ini menyebabkan meningitis, sepsis, bakterimia, dan necrotizing enteritis pada bayi (Kim et al. 2007). Tingkat mortalitas dari infeksi E. sakazakii ini mencapai 20 – 50%.

Bakteri ini dapat diisolasi dari berbagai macam lingkungan dan makanan (Tabel 1). Susu bubuk formula bayi telah banyak dilaporkan berkaitan erat dengan sumber E. sakazakii pada sejumlah wabah infeksi bakteri tersebut (Kim et al. 2007). Bowen dan Braden (2006) menyatakan E. sakazakii telah menyebabkan kematian 40–80% bayi-bayi yang terinfeksi bakteri tersebut dan berkaitan dengan susu bubuk formula.


Tabel 1 Sumber bakteri E. sakazakii yang pernah diisolasi (NZFSA 2008)

1. Pangan dan Peralatan Pangan: gelas bir, keju, cured meat, fermented bread, bubuk formula bayi berbasis susu dan kedelai, peralatan untuk menyiapkan bubuk formula bayi (blender, sendok, sikat botol), lettuce, bubuk susu, daging giling, daging, bulir padi, sosis, teh asam, tahu, sayuran, air (dalam pipa, biofilm)

2. Lingkungan: minyak mentah, cutting fluids, lalat buah, pabrik pengolahan pangan (susu, sereal, coklat, tepung kentang, pasta), rumah sakit (udara, stetoskop, materi klinis), rumah tangga, hydrothermal spring, tikus, rhizophere, sedimen, wetlands, tanah

Kontaminasi Susu Formula Bayi dan Kasus Infeksi E. sakazakii
Susu bubuk formula bayi bukanlah produk pangan yang steril, sehingga masih memungkinkan dapat mengandung mikroorganisme patogen. E. sakazakii banyak ditemukan di lingkungan pabrik yang berpotensi sebagai sumber kontaminasi setelah pasteurisasi (Anon 2002). Secara garis besar terdapat tiga jalur masuknya E. sakazakii ke dalam formula bayi: (1) bahan baku untuk produksi susu formula bayi; (2) kontaminasi pada susu formula bayi atau bahan baku kering lainnya setelah proses pasteurisasi; dan (3) kontaminasi pada susu formula saat disiapkan sebelum dikonsumsi (Anon 2004). Sebesar 20-50% dari kasus infeksi E. sakazakii, disebabkan susu formula (sebagai vehicle), akan tetapi rendahnya sanitasi pada waktu rekonstitusi dan penanganan merupakan sumber penularan.

Dalam Codex dinyatakan bahwa susu formula bayi boleh mengandung koliform asal tidak melampaui batas 3 bakteri/gram formula. E. sakazakii termasuk kelompok koliform ini.

Susu bubuk formula bayi belum pernah diidentifikasi secara jelas sebagai alat tran sportasi atau sumber penularan infeksi untuk kasus yg bersifat sporadis jika dibandingkan dengan kejadian infeksi yang disebabkan salmonella. Hal ini lebih banyak disebabkan kesulitan mengidentifikasi penyebab kasus-kasus sporadik.
Susu bubuk formula dianggap sebagai kendaraan (vehicles) dan sumber penularan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam penularan E. sakazakii adalah:
• Belum ada laporan transmisi dari satu bayi ke bayi lainnya atau penyebaran dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.
• Kontaminasi dalam susu formula dapat terjadi karena kurang higienis pada saat penyediaan, penyimpanan yang lama pada suhu kamar (tidak disimpan pada suhu refrigerator) setelah preparasi.
E. sakazakii ditemukan pada lingkungan tempat produksi, fasilitas produksi dan peralatan.
Beberapa kasus dan wabah akibat infeksi E. sakazakii pada bayi telah banyak dilaporkan di negara-negara maju dan berkembang. Beberapa kasus infeksi E. sakazakii pada bayi-bayi dapat dilihat pada Tabel 2.


Tabel 2 Kasus Infeksi E. sakazakii pada Bayi


1961 Inggris 2
1965 Denmark 1
1979 Georgia Amerika Serikat 1
1981 Indiana Amerika Serikat 1; Oklahoma Amerika Serikat 1
1983 Belanda 8
1985 Missouri Amerika Serikat 1
1988 Amerika Serikat 2
1989 Portugis 1; Iceland 1; Tennessee Amerika Serikat 3
1990 Maryland Amerika Serikat 1
1991 Ohio Amerika Serikat 1
2000 North Carolina Amerika Serikat 1
2001 Israel 2; Belgia 1
2002 Israel 2; Tennessee Amerika Serikat 1; Wisconsin Amerika Serikat 1
2003 Amerika Serikat 6
2004 Perancis 2; Amerika Serikat 2
2005 Amerika Serikat 2

Rendahnya sistem surveillance di suatu negara dan penggunaan susu formula bayi yg meluas menyebabkan kehadiran E.sakazakii dalam susu formula bayi dan efeknya terhadap bayi merupakan masalah kesehatan masyarakat.


Faktor-Faktor Risiko Pasien yang Terinfeksi E. sakazakii
E. sakazakii menyebabkan sakit pada semua kelompok umur. Namun kelompok umur di bawah 1 tahun merupakan kelompok berisiko tinggi. Kelompok yang memiliki risiko tertinggi terhadap infeksi E. sakazakii adalah bayi yang baru lahir (sampai 28 hari), terutama lahir prematur, berat di bawah 2.5 kg, atau bayi yang tidak memiliki kekebalan tubuh (immunocompromised). Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV merupakan kelompok berisiko tinggi.


Tindakan Pencegahan Infeksi terkait Susu Bubuk Formula

Cara preparasi susu bubuk formula yang benar:
1. Botol yang digunakan harus steril (sebelum digunakan direbus terlebih dahulu).
2. Masukkan susu formula ke dalam botol.
3. Air panas yang akan dipakai adalah air yang telah dididihkan, dinginkan sejenak sekitar suhu pasturisasi (70 – 90 °C) untuk menghindari susu menggumpal. Masukkan ke dalam susu formula tersebut.
4. Dinginkan campuran tersebut sampai suhu tubuh sebelum diberikan pada bayi.
5. Setelah selesai pemberian susu, botol segera dicuci bersih dan disteril/direbus. Simpan. Sebelum dipakai harus dibilas kembali dengan air panas (lihat no 1).
6. Biasakan untuk mencampur/rekonstitusi susu untuk 1 kali pemberian. Hal ini mencegah infeksi penyakit.
7. Buanglah sisa susu yang belum habis diminum jika sudah tersimpan 2 (dua) jam atau lebih.
8. Penambahan bahan-bahan lain dalam susu formula tersebut juga memungkinkan kontaminasi dari luar.
Industri wajib mencantumkan petunjuk untuk konsumen dalam label kemasan untuk cara penanganan dan penyimpanan susu tersebut setelah direkonstitusi.
Industri persusuan telah mempunyai standar pembuatan susu bubuk. Pengawasan terhadap keberadaan bakteri dan jumlahnya telah mengikuti standar dunia (FAO).



Daftar Pustaka
Anon. 2002. FDA warns about possible Enterobacter sakazakii infection in hospitalized newborns fed powdered infant formulas. 888-INFO-FDA. http://www.cfsan.fda/~dms/inf-ltr3.html [25 Juni 2007].
Anon. 2004. Questions and answers on Enterobacter sakazakii in powdered infant formula. http://www.who.int/foodsafety/publications/micro/en/qa2.pdf [27 Februari 2008]
Brown C. 2004. Emerging zoonoses and pathogens of public health significance – an overview. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz. 23: 435-442
Erickson M.C. dan Kornacki J.L. 2005. Enterobacter sakazakii: an emerging food pathogen. http://www.ugacfs.org/faculty/Erickson/EBWhitePaper.mpd.PDF [27 Februari 2008].
[International Food Safety Authorities Networks] INFOSAN. 2005. Enterobacter sakazakii in powdered infant formula. INFOSAN information Note No. 1/2005
Kim H., Ryu J-H., Beuchat L.R. 2007. Effectiveness of disinfectants in killling Enterobacter sakazakii in suspension, dried on the surface of stainless steel, an in a biofilm. Appl. Environ. Microbiol. 73: 1259-1265.
[New Zealand Food Safety Authority] NZFSA. 2008 Common sources and environments of E. sakazakii. http://www.nzfsa.govt.nz/dairy/publications/ information-pamphlets/enterobacter-sakazakii [25 Februari 2008]




Bagian Kesmavet FKH IPB
1. R. Roso Soejoedono, drh, MPH, DEA
2. A. Winny Sanjaya, drh, MS, Dr
3. Hj. Mirnawati Sudarwanto, drh, Dr.med.vet., Prof.
4. H. Widiyanto Dwi Surya, drh, MSc, PhD
5. Abdul Zahid Ilyas, drh, MSi
6. Trioso Purnawarman, drh, MSi
7. Denny Widaya Lukman, drh, MSi, Dr.med.vet.
8. Etih Sudarnika, Ir, MSi
9. Hadri Latif, drh, MSi
10. Chaerul Basri, drh.

Rabu, 08 Oktober 2008

Analisis Risiko Perangkat Kesehatan Masyarakat Veteriner

ANALISIS RISIKO SUATU PERANGKAT DALAM BIDANG KEAMANAN PANGAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

Denny Widaya Lukman
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Indonesia
dennylukman@hotmail.com


PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar untuk menunjang kelangsungan hidup, menjaga kesehatan, pertumbuhan tubuh dan kecerdasan. Namun pangan juga memiliki risiko bahaya terhadap kesehatan konsumen. Untuk menjamin kesehatan masyarakat, risiko bahaya dalam pangan yang dapat mengganggu kesehatan manusia harus dikendalikan sampai tingkat yang dapat diterima (acceptable level). WHO/FAO (WHO 1995) mengembangkan suatu pendekatan untuk menilai risiko terkait keamanan pangan yang dikenal dengan analisis risiko (risk analysis).
Analisis risiko telah diterapkan dengan baik pada bahaya kimiawi. Selain itu, analisis risiko juga dikembangkan terhadap bahaya mikrobiologis dan pemasukan komoditi pangan ke dalam suatu wilayah (impor). Penerapan analisis risiko untuk standar pangan dan keamanan pangan telah dikembangkan pada pertemuan Joint FAO/WHO Expert Consultation on the Application of Risk Analysis to Food Standards Issues pada Maret 1995 di kantor pusat WHO Jenewa Swiss (WHO 1995). Penerapan pendekatan analisis risiko sangat potensial untuk menilai risiko dan keuntungan (benefits) dalam program higiene pangan dan menjadi dasar ilmiah pengembangan standar-standar, guidelines dan recommendations tentang keamanan pangan (Hathaway dan Cook 1997).
Dalam perjanjian sanitary and phytosanitary (SPS), setiap negara anggota World Trade Organization (WTO) diperkenankan menetapkan sanitary measures untuk melindungi negaranya dari risiko-risiko masuknya beberapa penyakit dan agen patogen lainnya. Penetapan sanitary measures di suatu negara dapat mengacu kepada standar-standar, guidelines, recommendations dari badan-badan internasional seperti Codex Alimentarius Commission (CAC) untuk masalah keamanan pangan dan Office International des Epizooties (OIE, World Organization for Animal Health) untuk masalah kesehatan hewan dan keamanan produk hewan terkait penyakit-penyakit hewan menular dan zoonosis (WHO 1995; OIE 2004).
Suatu negara perlu melaksanakan analisis risiko yang bersifat ilmiah dalam menetapkan kebijakan atau keputusan apakah komoditi tertentu yang dimasukkan (impor) ke dalam wilayah negara tersebut memiliki risiko yang signifikan bagi kesehatan hewan dan manusia, apabila tidak ada standar, guidelines atau recommendations yang relevan dari CAC dan OIE atau jika negara tersebut memilih menerima tingkat perlindungan (level of protection) yang lebih tinggi. Namun tingkat perlindungan bagi komoditi impor tersebut tidak diperkenankan berbeda dari yang diterapkan pada pasar dalam negeri.
Analisis risiko adalah suatu alat bagi pengambil keputusan untuk menyediakan suatu penilaian yang objektif, repeatable, dan terdokumentasi terhadap risiko-risiko dari suatu tindakan tertentu yang diambil. Berkaitan dengan impor, analisis risiko bagi negara pengimpor bertujuan utama untuk menyediakan suatu metode penilaian yang objektif dan defensible terhadap risiko-risiko masuknya penyakit terkait dengan importasi hewan dan produk hewan.
Dari aspek keamanan pangan dan kesehatan masyarakat veteriner, produk hewan memiliki potensi sebagai media pembawa agen patogen bagi kesehatan hewan dan manusia (zoonosis), serta bahaya-bahaya kimia seperti residu obat hewan, bahan tambahan pangan, dan cemaran kimia lain. Produk hewan terdiri dari pangan asal hewan, seperti daging, susu, telur, dan produk olahannya, serta produk non-pangan, seperti kulit, tanduk, tulang, bulu. Menurut Brown (2004) sekitar 75% penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia dalam 20 tahun terakhir disebabkan oleh patogen-patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan.
Risiko suatu bahaya memiliki dua komponen, yaitu (1) peluang (probability), dan (2) konsekuensi atau akibat jika bahaya itu muncul (OIE 2004). Analisis risiko akan membantu pengambil keputusan (decision maker) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
a Apa yang dapat menyimpang? (what can go wrong?)
b Bagaimana/berapa besar peluang penyimpangan tersebut? (how likely is it to go wrong?)
c Apa konsekuensi/akibat dari penyimpangan itu? (what are the consequences of it going wrong?)
d Tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi peluang dan atau konsekuensi/akibat dari penyimpangan itu? (what can be done to reduce the likelihood and/or the consequences of it going wrong?).


ANALISIS RISIKO

Proses Analisis Risiko
Komponen analisis risiko yang digunakan oleh CAC untuk keamanan pangan sedikit berbeda dengan analisis risiko yang dikembangkan OIE terutama untuk analisis risiko impor hewan dan produk hewan. Pada intinya komponen analisis risiko terdiri dari penilaian risiko (risk assessment), manajemen risiko (risk management), dan komunikasi risiko (risk communication). OIE memisahkan identifikasi bahaya dari penilaian risiko, yang di dalam dokumen CAC termasuk dalam tahapan awal penilaian risiko.
Proses penilaian risiko menurut sistem National Academic Science - National Research Council (NAS-NRC) yang diadopsi oleh CAC terdiri dari empat tahap yaitu (1) identifikasi bahaya (hazard identification), (2) karakterisasi bahaya (hazard characterization), (3) penilaian keterpaparan (exposure assessment), dan (4) karakterisasi risiko (risk characterization); sedangkan OIE membagi penilaian risiko menurut OIE terdiri dari empat komponen yaitu (1) penilaiaan pengeluaran (release assessment), (2) penilaian pendedahan (exposure assessment), (3) penilaian konsekuensi (consequence assessment), dan (4) estimasi risiko (risk estimation).
Manajemen risiko menurut sistem NAS-NRC dan CAC terdiri dari (1) evaluasi risiko (risk evaluation), (2) penilaian pilihan (option assessment), (3) implementasi (implementation), dan (4) pemantauan dan kaji-ulang (monitoring and review). Sedangkan manajemen risiko menurut OIE terdiri dari (1) evaluasi risiko, (2) evaluasi pilihan (option evaluation), (3) implementasi (implementation), (4) pemantauan dan kaji-ulang (monitoring and review).


Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko adalah tahapan awal penting yang harus dilaksanakan sebelum tahap penilaian risiko. Dalam tahapan ini akan diidentifikasi agen patogen atau bahaya yang potensial untuk kesehatan hewan dan manusia yang mungkin terbawa oleh komoditas yang diimpor (OIE 2007).
Hal yang sangat penting diperhatikan adalah apakah agen atau bahaya potensial tersebut ada di negara pengekspor dan negara pengimpor. Selanjutnya, apakah bahaya potensial tersebut di negara pengimpor termasuk kategori yang harus dilaporkan atau kategori yang perlu dikendalikan atau dieradikasi. Hal ini untuk menghindari munculnya pembatasan atau tindakan-tindakan yang lebih ketat terhadap komoditas impor dibandingkan komoditas sejenis di negara pengimpor. Selain itu, perlu diperhatikan evaluasi sistem kesehatan hewan (veterinary services), program surveilan dan pengendalian, serta sistem zona atau kompartementalisasi pada negara pengekspor sebagai masukan penting dalam penilaian kecenderungan munculnya bahaya (penyakit) dalam populasi di negara pengekspor (OIE 2004).
Terkait impor produk hewan, dalam identifikasi bahaya perlu diperhatikan derajat pengolahan atau proses yang telah diterapkan pada produk tersebut. Proses produksi atau pengolahan tertentu dapat menghilangkan beberapa agen patogen tertentu.
Beberapa pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan dalam identifikasi bahaya (OIE 2004) adalah sebagai berikut:
1 Apakah komoditas yang akan diimpor berpotensi sebagai media pembawa agen patogen?
2 Apakah agen patogen terdapat di negara pengekspor?
3 Apakah terdapat bukti atau tindakan yang memadai untuk mengurangi atau menghilangkan agen patogen di negara pengekspor? Evaluasi kesehatan hewan, surveilans, dan program pengendalian merupakan masukan penting untuk menilai kecenderungan keberadaan agen patogen di negara pengekspor.
4 Apakah agen patogen dikategorikan sebagai agen eksotik di negara pengimpor?
5 Apakah agen patogen termasuk kategori yang harus dilaporkan di negara pengimpor?
6 Apakah agen patogen termasuk di dalam program pengendalian resmi di negara pengimpor?
7 Apakah ada zona-zona di negara pengimpor yang bebas dari agen patogen atau yang prevalensinya rendah? Hal ini diterapkan bilamana ada zona di negara pengimpor yang mengawasi lalu lintas hewan dan atau produk hewan.
8. Jika agen patogen juga ada di negara pengimpor, apakah galurnya (strain) relatif kurang virulen dibandingkan dengan agen patogen di negara pengekspor.
Keputusan dari tahapan identifikasi bahaya bersifat dikotomus, yaitu terdapat bahaya potensial atau tidak. Jika tidak ada bahaya potensial, maka tahapan penilaian risiko tidak perlu dilaksanakan.

Penilaian Risiko
Penilaian risiko adalah komponen analisis risiko yang menduga (estimasi) risiko berkatian dengan suatu bahaya. Penilaian risiko ini dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Penilaian risiko ini harus didasari atas data atau informasi yang terbaik dan valid, serta sesuai dengan pemikiran ilmiah terkini. Penilaian ini harus terdokumentasi dengan baik dan didukung oleh pustaka ilmiah dan sumber lain, termasuk pemikiran pakar. Selain itu, ketidak-pastian (uncertainities), asumsi yang dibuat, dan efek semuanya terhadap estimasi risiko. Penilaian risiko ini juga dapat diubah dan diperbaru bilamana terdapat inforamsi baru. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan dalam tahapan ini adalah kekonsistenan dan transparansi untuk menjamin keadilan (fairness), rasionalitas, serta mudah dimengerti oleh semua pihak yang berkepentingan (OIE 2007).
Tahapan penilaian risiko terdiri dari (1) penilaian pengeluaran (release assessment), (2) penilaian pendedahan (exposure assessment), (3) penilaian konsekuensi (consequence assessment), dan (4) estimasi risiko (risk estimation). Penilaian pengeluaran dan pendedahan sangat memerlukan keahlian epidemiologi veteriner. Selain itu, pertimbangan dan pendapat dari pakar lain sangat diperlukan terkait dengan karakteristik agen patogen. Pada beberapa kasus, dibutuhkan pula pakar ekonomi untuk penilaian konsekuensi. Penyusunan penilaian risiko yang bersifat kuantitatif memerlukan keahlian komputer, ahli matematika, dan biometri.
Penilaian pengeluaran. Pada tahap ini dinilai kecenderungan keberadaan agen patogen yang terbawa komoditi yang diimpor, serta disusun alur tapak biologis (biological pathways) yang penting dari bahaya yang potensial. Penilaian ini terutama diterapkan untuk negara pengekspor.
Penilaian pendedahan. Tahapan ini mendeskripsikan kecenderungan terpaparnya agen yang dibawa suatu komoditi yang diimpor di negara pengimpor. Alur tapak biologis dari agen patogen yang mungkin terpapar kepada hewan dan manusia dikembangkan dan diperhitungan kecenderungannya.
Penilaian konsekuensi.

Manajemen Risiko
Manajemen risiko dalam proses analisis risiko pemasukan hewan dan produk hewan terkait dengan penyakit hewan dan zoonosis didefinisikan oleh OIE (2004) sebagai proses identifikasi, seleksi dan penerapan tindakan-tindakan yang dapat diterapkan untuk mengurangi tingkat risiko (the process of identifying, selecting and implementing measures that can be applied to reduce the level of risks). Sedangkan definisi manajemen risiko dalam proses analisis risiko terkait keamanan pangan menurut WHO (1995) adalah proses untuk mempertimbangkan penerapan berbagai alternatif kebijakan, sebagai hasil dari penilaian risiko, dan apabila diperlukan, menyeleksi dan melaksanakan pilihan tindakan pengendalian yang tepat, termasuk tindakan regulasi (the process of weighing policy alternatives in the light of the results of risk assessment and, if required, selecting and implementing appropriate control options, including regulatory measures).
Manajemen risiko kadang merupakan tahap yang relatif sulit karena adanya interaksi antara ilmu pengetahuan dan kebijakan. Sanitary measures yang dikembangkan dalam manajemen risiko dapat mengacu kepada OIE.
Proses manajemen risiko terkait dengan penyakit hewan dan zoonosis untuk mengurangi risikonya sampai ke tingkat yang dapat diterima (acceptable level) membutuhkan keterampilan seorang dokter hewan, ahli epidemiologi, yang didukung oleh ahli laboratorium diagnostik, karantina, ahli teknologi proses, dan ahli ekonomi.
Tujuan manajemen risiko adalah mengatur risiko secara tepat untuk menjamin keseimbangan antara keinginan suatu negara meminimalkan kecenderungan/ peluang suatu kejadian penyakit dengan konsekuensinya dan keinginan negara tersebut mengimpor suatu komoditas yang memenuhi perjanjian perdagangan internasional.

Komponen manajemen risiko. Komponen manajemen risiko menurut sistem CAC dan OIE terdiri dari:
1 Evaluasi risiko (risk evaluation).
2 Evaluasi pilihan (option evaluaion).
3 Implementasi (implementation).
4 Pemantauan dan kaji-ulang (monitoring and review).
Evaluasi risiko adalah membandingkan estimasi risiko yang tidak terbatas (unrestricted risk estimation) dengan appropriate level of protection (ALOP) suatu negara pengimpor.
Evaluasi pilihan adalah mengidentifikasi tindakan-tindakan yang memungkinkan, termasuk aplikasi rekomendasi OIE Code. Hal tersebut dilaksakan dengan cara melakukan re-evaluasi kecenderungan (likelihood), pengeluaran (release), pendedahan (exposure), perkembangan (establishment), dan penyebaran (spread) menurut tindakan-tindakan yang diterapkan. Pilihlah tindakan-tindakan yang terbaik agar dapat memenuhi ALOP yang ditetapkan.
Tahapan implementasi manajemen risiko adalah menggunakan hasil penilaian risiko (risk assessment) sebagai salah satu alat untuk membuat keputusan.
Pemantauan dan kaji ulang dalam manajemen risiko merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan secara berkelanjutan selama proses manajemen risiko.

Prinsip-prinsip pemilihan tindakan manajemen risiko. Hasil dari penilaian risiko terhadap suatu agen penyakit atau bahaya dibandingkan dengan ALOP yang ditentukan. Jika risiko tersebut sesuai dengan ALOP maka tidak diperlukan adanya tindakan-tindakan yang spesifik. Namun bila tidak memenuhi ALOP, maka diperlukan tindakan pengaturan risiko (risk management).
Pilihan-pilihan yang terdapat dalam manajemen risiko didasari atas pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1 Seberapa efektif pilihan tersebut?
2 Seberapa feasible pilihan tersebut?
3 Apa dampak dari pilihan tersebut?
4 Pilihan mana yang terbaik?
Prinsip yang digunakan dalam pemilihan tindakan manajemen risiko adalah:
1 Justifikasi ilmiah (scientifically justified): berdasarkan risk assessment, diterapkan hanya bila diperlukan, dan proses tidak dilanjutkan tanpa dukungan ilmiah yang memadai.
2 Konsisten: tindakan manajemen risiko harus berdasarkan suatu tingkat acceptable risk yang konsisten, tidak lebih dibatasi jika perdagangan tidak dikehendaki, atau lebih “longgar” jika perdagangan memiliki keuntungan ekonomis.
3 dampak minimum: tindakan manajemen risiko harus memenuhi appropriate level of protection atau ALOP atau animal health objectives (dalam keamanan pangan dikenal sebagai food safety objectives) dari negara pengimpor
4 ekuivalensi: seringnya terdapat lebih dari satu cara untuk mengatur risiko. Tindakan yang ekuivalen adalah tindakan yang memiliki efek yang sama dan sesuai dengan tingkat perlindungan yang diperlukan/ditetapkan

Pilihan manajemen risiko. Manajemen risiko dapat diterapkan pada release assessment, exposure assessment, dan consequence assessment. Manajemen risiko pada release assessment dapat diterapkan pada: (a) negara, zona, herd/flock yang bebas; (b) uji diagnostik tunggal atau paralel; (c) karantina pra-ekspor; (d) disinfeksi; (e) vaksinasi; (f) perlakuan (treatment) terhadap hewan atau produk; (g) pembekuan, penyimpanan dan atau transportasi komoditas.
Manajemen risiko pada exposure assessment dapat diterapkan pada: (a) uji diagnostik tunggal atau paralel; (b) karantina kedatangan (post arrival quarantine); (c) disinfeksi; (d) vaksinasi; (e) perlakuan terhadap hewan dan produk; serta (f) pembekuan, penyimpanan dan transpor komoditas.
Manajemen risiko pada consequence assessment dapat diterapkan untuk mengurangi kecenderungan (likelihood) kejadian wabah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat aturan-aturan legal (legislasi) dan perbaikan sistem surveilans dan monitoring.


Komunikasi Risiko
Komunikasi risiko adalah proses penjaringan informasi dan pendapat-pendapat terkait bahaya dan risiko dari pihak-pihak yang berkepentingan selama proses analisis risiko, serta mengkomunikasian hasil penilaian risiko dan tindakan manajemen risiko yang diusulkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan di negara pengimpor dan pengekspor (OIE 2005). Komunikasi risiko ini merupakan bagian integral penting dalam kerangka analisis risiko dengan melibatkan peran stakeholder yang potensial dan tepat pada semua tahapan analisis risiko.
Komunikasi risiko ini merupakan suatu proses multidimensional dan iteratif yang sebaiknya diterapkan pada awal proses analisis risiko dan berlangsung terus menerus selama proses analisis risiko, yang melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan atau yang mungkin menjadi dampak dari suatu analisis risiko tertentu. Pihak yang terlibat dalam komunikasi risiko antara lain adalah pihak pemerintah atau competent authority (kelompok yang ditunjuk dalam melaksanakan analisis risiko, staf senior), instansi pemerintah lain yang terkait dengan hasil analisis risiko, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat yang berkepentingan.
Kadang kommunikasi risiko disalah-artikan dan diidentifikasi pada tahap terakhir proses analisis risiko. Komunikasi risiko ini meliputi pertukaran informasi dan ide yang dua arah atau lebih antara pemerintah dan stakeholder, bukan informasi satu arah, yang bertujuan untuk mendidik masyarakat atau meyakinkan stakeholder untuk menyepakati pendekatan manajemen risiko tertentu. Komunikasi risiko ini dilaksanakan pada awal proses analisis risiko dan setiap tahapan selama proses analisis risiko.
Di era pasar global dan distribusi informasi yang cepat melalui berbagai media dan internet, respon subjektif terhadap suatu risiko lebih sangat diharapkan. Jika semua pihak yang terllibat dan menjadi dampak dari suatu proses analisis risiko dilibatkan lebih awal, maka dapat segera diketahui munculnya berbagai tanggapan dan kekhawatiran, yang perlu mendapatkan perhatian dalam analisis risiko. Dalam komunikasi risiko, transparansi dari analisis risiko perlu diutamakan. Kekhawatiran yang muncul di masyarakat perlu mendapat perhatian serius disamping risiko-risiko yang yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan, sehingga kepercayaan dari pihak-pihak terkait terhadap keputusan pemerintah (otoritas) akan meningkat, serta semua tindakan yang diambil dalam analisis risiko dapat dipahami dan dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait. Komunikasi risiko merupakan bagian terpenting dari suksesnya analisis risiko, yang menyangkut pertukaran informasi dan pendapat/masukan/ kritik terhadap suatu risiko.

Tujuan komunikasi risiko. Komunikasi risiko bertujuan untuk: (a) membuat dan memelihara jalur komunikasi dalam memperoleh informasi tentang pengetahuan, sikap, dan persepsi stakeholder terkait isu-isu risiko yang dianalisis, serta melibatkan dalam kerjasama untuk proses analisis risiko; (b) memberikan kesempatan kepada stakeholder untuk mengkaji-ulang dan memberikan komentar terhadap kebijakan analisis risiko, termasuk metode penilaian risiko dan standar-standar yang digunakan dalam analisis risiko; (c) memberikan kesempatan kepada stakeholder untuk mengkaji-ulang dan memberikan komentar terhadap kebijakan dan program-program manajemen risiko.

Prinsip komunikasi risiko. Prinsip-prinsip dalam komunikasi risiko yang perlu diperhatikan menurut Artikel 1.3.2.7 Terrestrial Animal Health Code (OIE 2007) adalah:
1 Komunikasi risiko adalah proses penjaringan informasi dan pendapat-pendapat terkait bahaya-bahaya dan risiko-risiko dari berbagai pihak terkait dalam proses analisis risiko dan pihak-pihak yang akan terkena dampak dari hasil analisis risiko. Komunikasi risiko ini merupakan proses yang bersifat multidimensional dan iteratif, yang harus dimulai pada awal dan selama proses analisis risiko;
2 Strategi komunikasi risiko harus dikembangkan pada awal setiap langkah/tahapan analisis risiko;
3 Komunikasi risiko harus merupakan suaut pertukaran informasi yang bersifat terbuka, interaktif, iteratif, dan transparan, yang terus berlangsung setelah keputusan importasi;
4 Pihak utama yang terlibat dalam komunikasi risiko meliputi otoritas negara pengekspor dan stakeholder seperti industri-industri, produsen, dan konsumen;
5 Semua asumsi dan ketidak-pastian (uncertainty) dalam model, model inputs, dan estimasi risiko dalam risk assessment harus dikomunikasikan;
6 Peer review (mitra bestari) adalah suatu komponen komunikasi risiko untuk memperoleh kritik ilmiah dan menjamin ketersediaan data, informasi, metode, dan asumsi yang terbaik.
Menurut BVET (2002) prinsip yang perlu diterapkan dalam komunikasi risiko adalah:
1 Strategi untuk komunikasi risiko ditentukan oleh setiap analisis risiko.
2 Komunikasi harus disesuaikan dengan situasi, terbuka, interaktif dan transparan. Pengetahuan, informasi, dan keputusan harus diperbaharui (up-date) dan dikomunikasikan secara aktif. Semua media komunikasi yang tepat perlu menjadi pertimbangan, misalnya media elektronik (internet), cetak, surat, dan lain-lain.
3 Semua pihak yang terlibat harus terintegrasi mulai awal dalam proses analisis risiko. Semua jalur komunikasi harus dimanfaatkan untuk mencapai hal tersebut, termasuk konsultasi dengan para pemerhati, menjaring pendapat tertulis dan dengan pendapat (public hearing).
4 Asumsi-asumsi, persyaratan dasar (pre-requisite), keterbatasan, dan ketidak-pastian analisis risiko dan alasan untuk tindakan-tindakan yang diambil/ditetapkan harus dijelaskan dengan cara yang mudah dipahami dan sesuai dengan pendengar.
5 Secara umum, dampak kekhawatiran/ketakutan perlu mendapat perhatian yang sama seriusnya dengan risiko-risiko yang diidentifikasi secara ilmiah. Gaya komunikasi yang akan digunakan bukan gaya yang terpola dan instruksi, tetapi disesuaikan dengan dampak yang akan muncul.
Komponen kunci (key component) dari komunikasi risiko meliputi transparansi, konsensus (consensus building), pertukaran informasi sehingga semua informasi yang relevan masuk dalam proses, kerjasama stakeholder, dan konsultasi dengan stakeholder selama proses analisis risiko.

Transparansi. Transparansi dari seluruh proses analisis risiko sangat penting dalam memberikan alasan (justification) yang jelas dan logis kepada negara pengekspor, importir, dan semua pihak terkait di negara pengimpor tentang mengapa suatu komoditas harus memenuhi persyaratan tertentu atau ditolak. Perlu diperhatikan bahwa proses analisis risiko berlangsung fair dan memberi kesempatan kepada semua pemangku kepentingan (stakeholder) untuk memberikan masukan/komentar selama proses dan hasil keputusan analisis risiko.

Identifikasi stakeholder. Proses identifikasi stakeholder dimulai sangat awal pada setiap tahapan analisis risiko. Setelah ruang lingkup analisis risiko dan identifikasi bahaya telah ditentukan, maka notifikasi awal perlu diberikan kepada stakeholder potensial yang mencakup ruang lingkup dan alur (pathway) analisis risiko yang harus diikuti. Stakeholder yang dilibatkan perlu ditetapkan dan dimasukkan dalam daftar, serta perlu terus diinformasikan selama proses analisis risiko. Stakeholder lain yang akan dilibatkan perlu diidentifikasi selama proses (misalnya dengan mengumumkan dalam media dan selama pertemuan dengan masyarakat umum) dan dapat ditambahkan dalam daftar dan dilibatkan selama proses analisis risiko selanjutnya.

Alat komunikasi risiko. Banyak cara untuk melaksanakan komunikasi risiko. Negara-negara berkembang harus menetapkan dan mengembangkan strategi komunikasi dan metode yang paling efektif dan efisien dalam biaya untuk keadaan tertentu. Informasi dapat disebarkan dan umpan balik dapat diterima melalui cara antara lain: komunikasi elektronik (e-mail dan website), bahan cetakan (laporan dan pengumuman dalam surat kabar dan jurnal perdagangan, brosur atau fact-sheet, surat ke stakeholder potensial, dan lain-lain), telefon, informasi ke masyarakat dan rapat-rapat review (review meeting), media massa (televisi, surat kabar, majalah), survei melalui surat, serta jalur-jalur penyuluhan.




DAFTAR PUSTAKA

Brown C. 2004. Emerging zoonoses and pathogens of public health significance – an overview. Rev sci tech Off int Epiz 23: 435-442.

[BVET] Bundesamt für Veterinärwesen. 2002. Basic principles for risk analyses conducted at the Swiss Federal Veterinary Office (FVO). ….

Hathaway SC, Cook RL. 1997. A regulatory perspective on the potential uses of microbial risk assessment in international trade. Int J Food Microbiol 36: 127-133.

[OIE] Office International des Epizooties. 2004. Handbook on Import Risk Analysis for Animals and Animal Products. Vol 1. Introduction and Qualitative Risk Analysis. Paris: OIE.

[OIE] Office International des Epizooties. 2007. Terrestrial animal health code. www.oie.int/eng/normes/mcode/en_chapitre_1.3.2.htm [9 Agustus 2008].

[WHO] World Health Organization. 1995. Application of risk analysis to food standards issues. Report of the Joint FAO/WHO Expert Consultation. Geneva: WHO.