TANTANGAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DI INDONESIA
Denny W. Lukman
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Istilah kesehatan masyarakat veteriner atau kesmavet masih banyak belum dikenal oleh masyarakat, termasuk di kalangan pemerintah dan bahkan di kolega dokter. Istilah kesmavet digunakan kali pertama dalam pertemuan World Health Organization (WHO) pada tahun 1946 untuk menyiapkan kerangka konseptual dan struktur program dari aktivitas kesehatan masyarakat yang melibatkan pengetahuan, kepakaran, dan sumberdaya kedokteran hewan untuk melindungi dan memperbaiki kesehatan masyarakat (Arambulo III 1991). Kesmavet merupakan bagian dari aktivitas kedokteran hewan yang berkaitan dengan pencegahan, perlindungan, dan promosi kesehatan masyarakat.
Definisi kesmavet sejak diperkenalkan kali pertama oleh WHO senantiasa disempurnakan. Definisi kesmavet terakhir direvisi pada WHO consultation on "future trends in veterinary public health" yang diselenggarakan di Teramo, Italy pada tahun 1999 sebagai "the sum of all contributions to the physical, mental and social well-being of humans through an understanding and application of veterinary science" (seluruh kontribusi terhadap kesehatan fisik, mental, dan sosial manusia melalui pemahaman dan penerapan ilmu veteriner". Definisi ini disesuaikan dengan definisi "sehat" menurut WHO dan turut mendukung pencapaian tujuan "health for all by the year 2000". Tujuan tersebut tidak berarti bahwa di tahun 2000-an tidak akan ada penyakit lagi, namun lebih ditujukan agar mayoritas populasi dunia memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dasar serta mendorong produktivitas secara ekonomis dan sosial yang dapat memberikan kepuasan hidup. Selain itu, perawaran kesehatan primer tidak hanya dapat dicapai melalui sektor kesehatan saja, melainkan membutuhkan kerjasama berbagai sektor pembangunan dan sosial, antara lain pertanian dan peternakan, sehingga diperlukan fungsi kesmavet dalam pencapaian tujuan "health for all by the year 2000" (Arambulo III 1991).
Beberapa praktisi menjelaskan bahwa kesmavet merupakan "jembatan" antara bidang pertanian dan bidang kesehatan masyarakat. Aktivitas kesmavet melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti kesehatan, sosial, ekologi, dan konservasi. WHO (2012) menyatakan bahwa kesmavet merupakan bagian esensial kesehatan masyarakat dan melibatkan berbagai jenis kerjasama antar disiplin ilmu yang berkaitan dengan segitiga sehat (health triad), manusia-hewan-lingkungan, serta semua interaksinya.
Ruang lingkup utama kegiatan kesmavet adalah keamanan dan produksi pangan, khususnya pangan asal hewan, pencegahan dan pengendalian zoonosis, kesehatan lingkungan, dan kesejahteraan hewan terkait pemanfaatan hewan oleh manusia.
Tantangan Kesmavet di Indonesia
Pengaturan kesmavet secara legal di Indonesia tertulis dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada tahun 2000, dibentuk Direktorat Kesmavet di bawah Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian untuk menangani bidang kesmavet seperti yang diamanahkan dalam UU Nomor 6 Tahun 1967.
Masalah yang terkait kesmavet pada dua dasa warsa terakhir antara lain munculnya penyakit infeksius baru (emerging infectious diseases) pada manusia yang sebagian besar bersumber pada hewan atau bersifat zoonotik. WHO (2012) menyatakan bahwa 75% penyakit infeksius baru pada manusia dalam 10 tahun terakhir disebabkan oleh agen patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan. Jones et al. (2008) menyebutkan bahwa 71.8% dari zoonosis yang baru muncul (emerging zoonoses) bersumber pada satwa liar. Beberapa faktor yang diidentifikasi memicu munculnya penyakit zoonotik baru tersebut antara lain perubahan demografi (peningkatan populasi dunia), perdagangan global, perubahan pola hidup masyarakat, perubahan sistem pertanian (pengalihan hutan menjadi lahan pertanian), dan pariwisata.
Masalah kesmavet, khususnya zoonosis baru, dihadapi juga oleh Indonesia, selain zoonosis yang telah ada di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, avian influenza telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dan telah menyebabkan kasus sakit dan kematian pada manusia. Selain itu, beberapa daerah bebas historis rabies telah menjadi daerah tertular. Kasus penyakit parasitik yang bersifat zoonotik seperti toksoplasmosis dan sistiserkosis masih menjadi masalah di beberapa daerah, namun belum menjadi perhatian serius pemerintah dalam hal pencegahan dan pengendalian di hewan.
Selain zoonosis, pemotongan hewan masih banyak dilakukan di tempat pemotongan hewan atau rumah potong hewan yang sangat memprihatinkan, karena tidak memenuhi persyaratan higiene sanitasi. Hal ini tentunya akan mempengaruhi keamanan dan kualitas karkas/daging yang dihasilkan. Selanjutnya, kesejahteraan hewan yang belum diterapkan di tempat atau rumah potong hewan. Praktik kesejahteraan hewan tersebut menjadi "masalah" dalam perdagangan dengan Australia.
Hal yang lebih memprihatinkan, banyaknya penutupan rumah potong hewan untuk babi akibat relokasi atau renovasi, sementara kebutuhan masyarakat tertentu terhadap daging babi masih harus disediakan. Hal ini yang mendorong terjadinya pemotongan babi di tempat yang tidak mendapat pengawasan dari pemerintah. Dari aspek kesmavet, pemotongan babi di luar pengawasan pemerintah atau otoritas medis veteriner akan membawa risiko pencemaran lingkungan oleh agen patogen zoonotik yang mengancam kesehatan masyarakat, hewan, dan lingkungan. Selain itu, adarisiko "masuknya" produk babi ke dalam rantai penyediaan pangan halal.
Masalah kesmavet lain di Indonesia adalah eksploitasi hutan untuk pertanian dan pertambangan yang dapat mengakibatkan munculnya zoonosis baru yang bersumber dari satwa liar. Peran vektor di sekitar hutan menjadi penting.
Masalah di atas semakin sulit diatasi dan mungkin tidak akan pernah diatasi dengan kondisi pemerintahan saat ini, yang mana "hilangnya rantai komando" kesehatan hewan dari pusat sampai daerah akibat menurunnya "tingkat kewenangan" yang membidangi kesehatan hewan dan kesmavet di kabupaten/kota. Selain itu, belum adanya undang-undang yang khusus mengatur veteriner dan praktik dokter hewan memberikan kontribusi "kelemahan pengaturan" bidang kesmavet.
Sebagai simpulan, tantangan kesmavet di Indonesia adalah munculnya zoonosis baru atau kembali munculnya zoonosis endemis, penyediaan pangan asal hewan yang belum memenuhi keamanan dan kelayakan, praktik penanganan hewan yang belum memenuhi kesejahteraan hewan, lemahnya komando dari pusat ke daerah, dan lemahnya peraturan perundangan.
Acuan Pustaka
Arambulo III PV. 1991. Veterinary public health: perspectives at the threshold of the 21st century. Rev sci tech Off int Epiz 11 (1): 255-262.
Waltner-Toews D. 2002. Veterinary public health. http://www.enotes.com/veterinary-public-health-reference/veterinary-public-health [19 Maret 2012].
[WHO] World Health Organization. 2012. Veterinary public health. http://www.who.int/zoonoses/vph/en/ [19 Maret 2012].
Definisi kesmavet sejak diperkenalkan kali pertama oleh WHO senantiasa disempurnakan. Definisi kesmavet terakhir direvisi pada WHO consultation on "future trends in veterinary public health" yang diselenggarakan di Teramo, Italy pada tahun 1999 sebagai "the sum of all contributions to the physical, mental and social well-being of humans through an understanding and application of veterinary science" (seluruh kontribusi terhadap kesehatan fisik, mental, dan sosial manusia melalui pemahaman dan penerapan ilmu veteriner". Definisi ini disesuaikan dengan definisi "sehat" menurut WHO dan turut mendukung pencapaian tujuan "health for all by the year 2000". Tujuan tersebut tidak berarti bahwa di tahun 2000-an tidak akan ada penyakit lagi, namun lebih ditujukan agar mayoritas populasi dunia memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dasar serta mendorong produktivitas secara ekonomis dan sosial yang dapat memberikan kepuasan hidup. Selain itu, perawaran kesehatan primer tidak hanya dapat dicapai melalui sektor kesehatan saja, melainkan membutuhkan kerjasama berbagai sektor pembangunan dan sosial, antara lain pertanian dan peternakan, sehingga diperlukan fungsi kesmavet dalam pencapaian tujuan "health for all by the year 2000" (Arambulo III 1991).
Beberapa praktisi menjelaskan bahwa kesmavet merupakan "jembatan" antara bidang pertanian dan bidang kesehatan masyarakat. Aktivitas kesmavet melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti kesehatan, sosial, ekologi, dan konservasi. WHO (2012) menyatakan bahwa kesmavet merupakan bagian esensial kesehatan masyarakat dan melibatkan berbagai jenis kerjasama antar disiplin ilmu yang berkaitan dengan segitiga sehat (health triad), manusia-hewan-lingkungan, serta semua interaksinya.
Ruang lingkup utama kegiatan kesmavet adalah keamanan dan produksi pangan, khususnya pangan asal hewan, pencegahan dan pengendalian zoonosis, kesehatan lingkungan, dan kesejahteraan hewan terkait pemanfaatan hewan oleh manusia.
Tantangan Kesmavet di Indonesia
Pengaturan kesmavet secara legal di Indonesia tertulis dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada tahun 2000, dibentuk Direktorat Kesmavet di bawah Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian untuk menangani bidang kesmavet seperti yang diamanahkan dalam UU Nomor 6 Tahun 1967.
Masalah yang terkait kesmavet pada dua dasa warsa terakhir antara lain munculnya penyakit infeksius baru (emerging infectious diseases) pada manusia yang sebagian besar bersumber pada hewan atau bersifat zoonotik. WHO (2012) menyatakan bahwa 75% penyakit infeksius baru pada manusia dalam 10 tahun terakhir disebabkan oleh agen patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan. Jones et al. (2008) menyebutkan bahwa 71.8% dari zoonosis yang baru muncul (emerging zoonoses) bersumber pada satwa liar. Beberapa faktor yang diidentifikasi memicu munculnya penyakit zoonotik baru tersebut antara lain perubahan demografi (peningkatan populasi dunia), perdagangan global, perubahan pola hidup masyarakat, perubahan sistem pertanian (pengalihan hutan menjadi lahan pertanian), dan pariwisata.
Masalah kesmavet, khususnya zoonosis baru, dihadapi juga oleh Indonesia, selain zoonosis yang telah ada di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, avian influenza telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dan telah menyebabkan kasus sakit dan kematian pada manusia. Selain itu, beberapa daerah bebas historis rabies telah menjadi daerah tertular. Kasus penyakit parasitik yang bersifat zoonotik seperti toksoplasmosis dan sistiserkosis masih menjadi masalah di beberapa daerah, namun belum menjadi perhatian serius pemerintah dalam hal pencegahan dan pengendalian di hewan.
Selain zoonosis, pemotongan hewan masih banyak dilakukan di tempat pemotongan hewan atau rumah potong hewan yang sangat memprihatinkan, karena tidak memenuhi persyaratan higiene sanitasi. Hal ini tentunya akan mempengaruhi keamanan dan kualitas karkas/daging yang dihasilkan. Selanjutnya, kesejahteraan hewan yang belum diterapkan di tempat atau rumah potong hewan. Praktik kesejahteraan hewan tersebut menjadi "masalah" dalam perdagangan dengan Australia.
Hal yang lebih memprihatinkan, banyaknya penutupan rumah potong hewan untuk babi akibat relokasi atau renovasi, sementara kebutuhan masyarakat tertentu terhadap daging babi masih harus disediakan. Hal ini yang mendorong terjadinya pemotongan babi di tempat yang tidak mendapat pengawasan dari pemerintah. Dari aspek kesmavet, pemotongan babi di luar pengawasan pemerintah atau otoritas medis veteriner akan membawa risiko pencemaran lingkungan oleh agen patogen zoonotik yang mengancam kesehatan masyarakat, hewan, dan lingkungan. Selain itu, adarisiko "masuknya" produk babi ke dalam rantai penyediaan pangan halal.
Masalah kesmavet lain di Indonesia adalah eksploitasi hutan untuk pertanian dan pertambangan yang dapat mengakibatkan munculnya zoonosis baru yang bersumber dari satwa liar. Peran vektor di sekitar hutan menjadi penting.
Masalah di atas semakin sulit diatasi dan mungkin tidak akan pernah diatasi dengan kondisi pemerintahan saat ini, yang mana "hilangnya rantai komando" kesehatan hewan dari pusat sampai daerah akibat menurunnya "tingkat kewenangan" yang membidangi kesehatan hewan dan kesmavet di kabupaten/kota. Selain itu, belum adanya undang-undang yang khusus mengatur veteriner dan praktik dokter hewan memberikan kontribusi "kelemahan pengaturan" bidang kesmavet.
Sebagai simpulan, tantangan kesmavet di Indonesia adalah munculnya zoonosis baru atau kembali munculnya zoonosis endemis, penyediaan pangan asal hewan yang belum memenuhi keamanan dan kelayakan, praktik penanganan hewan yang belum memenuhi kesejahteraan hewan, lemahnya komando dari pusat ke daerah, dan lemahnya peraturan perundangan.
Acuan Pustaka
Arambulo III PV. 1991. Veterinary public health: perspectives at the threshold of the 21st century. Rev sci tech Off int Epiz 11 (1): 255-262.
Waltner-Toews D. 2002. Veterinary public health. http://www.enotes.com/veterinary-public-health-reference/veterinary-public-health [19 Maret 2012].
[WHO] World Health Organization. 2012. Veterinary public health. http://www.who.int/zoonoses/vph/en/ [19 Maret 2012].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar