Menjaga Pangan Asal Hewan yang Aman, Sehat, Utuh, Halal
Denny Widaya Lukman
Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB
Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB
Pendahuluan
Keamanan pangan merupakan persyaratan utama yang semakin penting di era perdagangan bebas. Masalah pentingnya keamanan pangan juga telah tercantum dalam Deklarasi Gizi Dunia dalam Konferensi Gizi Internasional pada tanggal 11 Desember 1992 „kesempatan untuk mendapatkan pangan yang bergizi dan aman adalah hak setiap orang“ (ICD/SEAMEO TROPMED RCCN 1999). Pangan yang aman, bermutu, bergizi, berada dan tersedia cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makan berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Setiap negara membutuhkan program keamanan pangan yang efektif untuk melindungi kesehatan bangsa dan berpartisipasi dalam produk perdagangan pangan internasional. Perdagangan merupakan pendorong penting bagi pengembangan ekonomi suatu negara dan dengan ekonomi global saat ini, tidak mungkin suatu negara tetap mengisolasi dari perubahan tuntutan persyaratan internasional tentang peraturan keamanan pangan.
Berkaitan dengan pengaturan pangan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-undang tersebut merupakan landasam hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Undang-undang ini juga merupakan acuan dari berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan pangan. Agar Undang-undang Pangan ini dapat diterapkan dengan mantap, maka pemerintah melengkapinya dengan Peraturan Pemerintah. Salah satu peraturan pemerintah yang telah ditetapkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
Pangan asal hewan seperti daging, susu dan telur serta hasil olahannya umumnya bersifat mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung bahaya biologik, kimiawi dan atau fisik, yang dikenal sebagai potentially hazardous foods (PHF). Oleh sebab itu, penanganan produk tersebut harus higienis.
Keamanan Pangan Asal Hewan
Menurut Codex Alimentarius (FAO/WHO 1997), keamanan pangan didefinisikan sebagai jaminan bahwa pangan tidak akan menyebabkan bahaya bagi konsumen saat disiapkan dan atau dikonsumsi sesuai dengan tujuan penggunaannya. Dalam Undang-Undang Pangan, definisi keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Persediaan pangan yang aman dan tidak membahayakan kesehatan konsumen melalui pencemaran kimia, biologi atau yang lain adalah hal penting untuk mencapai status gizi yang baik. Perlindungan konsumen dan pencegahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne illness) adalah dua elemen penting dalam suatu program keamanan pangan, dan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri pangan (produsen) dan konsumen.
Pangan asal hewan memiliki potensi mengandung bahaya biologis, kimia dan atau fisik yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Selain itu, pangan asal hewan juga dapat membawa agen penyakit hewan (bakteri, cacing, protozoa, prion) yang dapat menular ke manusia atau yang dikenal dengan zoonosis, antara lain antraks, salmonelosis, bruselosis, toksoplasmosis, sistiserkosis, bovine spongioform encephalopathie). Menurut WHO (2005), sekitar 75% penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia dalam 2 dasa warsa terakhir disebabkan oleh patogen-patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan. Dengan demikian, pangan asal hewan lebih berpotensi berbahaya dibandingkan pangan nabati karena dapat menyebabkan zoonosis pada konsumen. Oleh sebab itu, aspek keamanan pangan asal hewan perlu mendapat perhatian khusus.
Pangan Asal Hewan yang ASUH
Kebijakan pemerintah dalam penyediaan pangan asal hewan di Indonesia didasarkan atas pangan yang aman, sehat, utuh dan halal atau dikenal dengan ASUH. Hal tersebut sejalan dengan keamanan (safety) dan kelayakan (suitability) pangan untuk dikonsumsi manusia yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius.
Aman berarti tidak mengandung penyakit dan residu, serta unsur lain yang dapat menyebabkan penyakit dan mengganggu kesehatan manusia. Sehat berarti mengandung zat-zat yang berguna dan seimbang bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh. Utuh berarti tidak dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau dipalsukan dengan bagian dari hewan lain. Halal berarti disembelih dan ditangani sesuai dengan syariat agama Islam.
Masalah Pangan Asal Hewan di Indonesia
Beberapa masalah yang terkait dengan ASUH di Indonesia antara lain cemaran mikroorganisme (E. coli, Staphylococcus aureus), antraks, residu antibiotika, residu hormon, cemaran mikotoksin, penggunaan formalin pada daging ayam, penggunaan boraks pada daging olahan, pemalsuan daging (daging sapi dengan daging celeng), penjualan ayam bangkai, penggunaan bahan pewarna non-pangan untuk daging ayam, penyuntikan air ke dalam daging ayam, daging sapi glonggongan. Namun data yang terkait dengan permasalahan tersebut relatif jarang, hanya beberapa yang dilaporkan secara tertulis dan dilakukan pengawasan, seperti Pelaksanaan Monitoring dan Surveillans Residu (PMSR) terhadap cemaran mikroorganisme dan residu antibiotik yang telah dilaksanakan oleh BPMPP (Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan), BPPV (Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner), dan Laboratorium Kesmavet.
Masalah ASUH yang terkait dengan sistem penyediaan antara lain higiene sanitasi, tidak ada pengawasan dan pemeriksaan yang konsisten (misalnya pemeriksaan kesehatan hewan dan kesehatan daging di RPH/RPU), belum adanya penegakan hukum, serta belum adanya sistem kesehatan masyarakat veteriner yang bertanggung jawab terhadap keamanan, kesehatan dan kelayakan pangan asal hewan.
Higiene Sanitasi
Istilah sanitasi dan higiene memiliki arti yang berbeda. Definisi sanitasi adalah menciptakan segala sesuatu yang higienis dan kondisi yang menyehatkan. Tujuan sanitasi ini adalah untuk meningkatkan atau mempertahankan suatu tempat atau benda yang sehat sehingga tidak berpengaruh negatif terhadap lingkungan hidup kita. Sedangkan definisi higiene adalah seluruh tindakan untuk mencegah atau mengurangi kejadian bahaya terhadap kesehatan dan lingkungan. Secara umum, sanitasi lebih ditekankan terhadap lingkungan di sekitar pangan, sedangkan higiene ditekankan terhadap pangan itu sendiri.
Penerapan higiene dan sanitasi secara umum dikenal sebagai Good Hygienic Practices (GHP) atau Good Manufacturing Practices (GMP), yang diterapkan dalam setiap tahapan dan dijadikan pedoman pada setiap tahapan tersebut. Penerapan GHP mulai dari peternakan sampai di meja meliputi Good Farming Practices (GFP), Good Veterinary Practices (GVP), Good Miliking Practices (GMP), Good Handling Practices (GHP), Good Transportation Practices (GTP), Good Slaughtering Practices (GSP), Good Handling Practices (GHP), Good Distribution Practices (GDP), Good Manufacturing Practices (GMP) dan Good Catering Practices (GCP).
Secara umum praktek higiene dan sanitasi pada pangan mencakup penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi (Luning et al. 2003). Dalam sistem jaminan keamanan pangan, penerapan praktek higiene merupakan persyaratan dasar mutlak.
Adanya cemaran mikroorganisme pada pangan asal hewan umumnya terkait dengan praktek higiene sanitasi yang kurang baik selama proses penyediaan pangan tersebut. Sebagai contoh dalam penyediaan daging, terutama Rumah Pemotongan Hewan. Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Jumlah RPH di Indonesia menurut Buku Statistik Peternakan 2003 sebanyak 777 RPH sapi/kerbau dan 208 RPH babi. Namun secara umum, lokasi dan kondisi hampir seluruh RPH tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan, baik dari aspek lingkungan, higiene dan sanitasi. Umumnya RPH yang ada saat ini dibangun sejak zaman penjajahan Belanda (+ 50-70 tahun), dikelola oleh pemerintah daerah dan proses penyembelihan hewan dilakukan secara tradisional. Kondisi RPH yang demikian sangat mempengaruhi kualitas dan keamanan daging.
Menjaga dan Menciptakan Pangan Asal Hewan yang ASUH
Untuk menjaga, menciptakan dan meningkatkan program ASUH pada pangan asal hewan, maka perlu penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan asal hewan secara bertahap, terencana dan berkesinambungan dengan tetap memperhatikan sumberdaya lokal (alat, manusia dan metode). Pada tahap awal, konsep „better practice“ atau „best practice“ perlu direncanakan dan diterapkan sebagai bagian dari penerapan Good Hygienic Practice (GHP) atau Good Manufacturing Practice (GMP). Dalam konsep tersebut, terdapat perpaduan atau campuran antara metode/cara konvensional dan cara modern. Praktek higiene diterapkan mulai dari hal yang relatif mudah dan sederhana.
Sistem jaminan keamanan dan kualitas pangan asal hewan dirancang dan dikembangkan sebagai bagian dari Sistem Kesehatan Masyarakat Veteriner (Siskesmavet). Siskesmavet ini harus dirancang, dikembangkan dan diimplementasikan. Agar sistem berjalan baik, maka perlu ditopang dengan peraturan perundangan yang diikuti dengan penegakan hukum yang konsisten, organisasi yang baik dan tangguh, penyediaan sarana dan prasarana fisik, sumberdaya manusia yang mumpuni, serta anggaran dana yang memadai dan operasional.
Peningkatan pengetahuan sumberdaya manusia baik di pemerintah, produsen atau stakeholder, maupun konsumen diperlukan untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran dan kepedulian. Komitmen dan konsistensi Pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk penyediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) sangat mutlak.
Kesimpulan
1. Pangan asal hewan dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak dan berpotensi berbahaya. Untuk penyediaan pangan asal hewan yang ASUH diperlukan penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan pada setiap tahapan dalam mata rantai penyediaannya, mulai dari peternakan sampai ke meja makan atau dikenal sebagai konsep „safe from farm to table“.
2. Pengembangan konsep „better practice“ atau „best practice“ pada praktek penyediaan pangan asal hewan menuju perbaikan higiene dan sanitasi yang terus menerus sangat diperlukan sebagai bagian dari penerapan Good Hygienic Practice dalam penyediaan pangan asal hewan.
3. Untuk menjaga dan menciptakan pangan asal hewan yang ASUH diperlukan perancangan, pengembangan dan implementasi sistem keamanan dan mutu pangan asal hewan. Sistem tersebut ditunjang oleh sarana dan prasarana fisik, sumberdaya manusia, organisasi dan dana yang memadai.
Daftar Pustaka
FAO/WHO. 1997. Food Hygiene Basic Texts. FAO and WHO, Rome.
ICD/SEAMEO TROPMED RCCN. 1999. Isu Mengenai Keamanan Pangan: Pedoman untuk Meningkatkan Program Keamanan Pangan Nasional. SEAMEO Tropmed RCCN UI, Jakarta.
Luning, PA, Marcelis, WJ, Jongen WMF. 2003. Food Management Quality – a Techno-Managerial Approach. Wageningen Pers, Wageningen.
Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
WHO. 2005. Zoonoses and veterinary public health. http://www.who.int/zoonoses/v[h/en/ [6 April 2005].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar