Selasa, 23 Juli 2013

Kerusakan Pangan


KERUSAKAN PANGAN

Kerusakan pangan adalah setiap perubahan sifat-sifat fisik, kimiawi, atau sensorik/organoleptik yang ditolak oleh konsumen pada bahan pangan yang masih segar maupun yang telah diolah.  Jika terjadi perubahan pada bahan makanan sehingga nilainya menurun, maka dinyatakan makanan tersebut telah rusak atau membusuk.  Perubahan yang nyata terlihat dari perubahan sensorik (penampakan, konsistensi, bau dan rasa), sehingga konsumen menolak (Sinell 1992).  Bahan makanan yang busuk atau rusak dinyatakan sebagai tidak layak dikonsumsi atau unsuitable for human consumption.  Kelayakan bahan makanan untuk dimakan tergantung dari faktor-faktor: (1) penilaian individu, (2) budaya, adat istidadat, (3) agama, dan (4) peraturan.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan kelayakan dikonsumsi secara tepat sulit dilaksanakn karena melibatkan faktor-faktor non-teknis, sosial ekonomi, dan budaya.  Idealnya makanan tersebut harus (1) bebas polusi dari setiap tahap produksi dan penanganan makanan, (2) bebas dari perubahan-perubahan kimia dan fisik, (3) bebas mikroorganisme dan parasit yang dapat menyebabkan penyakit atau pembusukan (Winarno 1993). 
Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh (1) mekanis dan fisik, (2) kimia, dan (3) mikrobiologis.  Kerusakan bahan pangan tersebut menyebabkan bahan pangan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi (biasanya karena mekanis/fisik, kimia dan mikrobiologi) atau bahkan menjadi tidak aman dikonsumsi, artinya dapat mengganggu kesehatan konsumen (karena mikrobiologis).


Kerusakan Mekanis dan Fisik
Kerusakan mekanis terjadi akibat benturan-benturan mekanis yang dapat terjadi selama pemanenan, pengolahan, pengangkutan serta pemanasan, antara bahan pangan dan alat panen atau alat pengangkut, atau antara bahan pangan dan wadah pengolah.  Kerusakan yang timbul antara lain memar (akibat benturan, tertindih atau tertekan), gepeng, retak, pecah, sobek atau terpotong, dan lain-lain.  Bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan mekanis adalah buah-buahan (terutama yang berkulit lunak), sayuran terutama sayuran buah (tomat, timun), telur dan umbi-umbian.
Bahan pangan yang dikeringkan pada suhu yang terlalu tinggi dan dengan cara pengeringan yang terlalu cepat akan mengalami case hardening, yaitu bagian luar bahan mengeras sedangkan bagian dalamnya tetap lunak.   Gejala lain yang terjadi adalah gosong, warna makanan gelap, dan terjadi karamelisasi.
Kerusakan mekanis pada daging berupa memar (bruising) atau freezer burn.  Memar ditandai dengan warna merah kehitaman (gelap) pada daging atau karkas, karena adanya perdarahan pada bagian tersebut sebagai akibat pecahnya pembuluh darah perifer.  Memar disebabkan oleh benturan (fisik) pada bagian tersebut sebelum hewan disembelih, misalnya saat transportasi, penanganan sebelum pemotongan, atau saat hewan difiksasi dan dirubuhkan saat pemotongan.  Freezer burn ditandai dengan warna gelap, kering dan mengeras pada bagian permukaan daging.  Hal ini terjadi pada daging yang dibekukan tanpa dikemas/dilindungi, khususnya permukaan daging yang kontak dengan alat yang sangat dingin (misalnya plat besi).


Kerusakan Kimiawi
Kerusakan kimiawi dapat disebabkan oleh reaksi kimia, seperti oksidasi lemak, pemecahan oleh enzim-enzim yang secara alami terdapat dalam bahan pangan dan perubahan pH.  Kerusakan kimiawi biasanya ditandai dengan timbulnya bau yang menyimpang (misalnya tengik, busuk), perubahan warna dan perubahan konsisten.
Adanya oksigen menyebabkan minyak menjadi tengik.  Timbulnya noda hitam pada makanan kaleng biasanya disebabkan oleh adanya FeS, karena anamel pelapis kaleng bagian dalam tidak baik sehingga bereaksi dengan H2S yang diproduksi oleh makanan tersebut.  Beberapa jenis pigmen dapat mengalami perubahan warna, misalnya klorofil dan antioksianin yang disebabkan oleh perubahan pH.
Kerusakan kimiawi pada daging disebabkan oleh enzim-enzim yang secara alami terdapat dalam daging.  Kerusakan ini disebut pula dengan autolisis dan disebut pula souring, yaitu perubahan yang menimbulkan bau/rasa asam, yang disebabkan asam volatil, seperti asam format, asetat, butirat, dan propionat.  Pembusukan ini sulit dibedakan dengan pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme.  Proses autolisis pada daging ini mendorong pertumbuhan mikroorganisme.


Kerusakan Mikrobiologi
Kerusakan mikrobiologi disebabkan oleh mikroorganisme pembusuk, baik oleh bakteri, kapang maupun oleh kamir.  Jenis pangan yang dapat dirusak oleh mikroorganisme tergantung pada komposisi bahan baku dan keadaannya setelah diolah.  Pada umumnya golongan bakteri mudah merusak bahan pangan yang banyak mengandung protein dan berkadar air tinggi (terutama memiliki aktivitas air di atas 0.90).  Kapang umumnya merusak bahan pangan yang banyak mengandung pektin, pati, dan selulosa.  Sedangkan kamir menyerang bahan pangan yang banyak mengandung gula.  Kerusakan mikrobiologi pada bahan pangan antara lain ditandai dengan timbulnya kapang, bau yang menyimpang (busuk), lendir, dan terjadinya perubahan warna.
Bakteri Clostridium putrefaciens dan Clostridium sporogenes dikenal sebagai penebab kerusakan daging dan sayuran, terutama produk dalam kaleng, karena bakteri bersifat proteolitik ananerobik.  Proteus vulgaris sering merusak telur dan daging.  Micrococcus menyebabkan terbentuknya lendir pada susu, Pseudomonas menyebabkan ketengikan susu pasteurisasi.  Lactobacillus sering menyebabkan kerusakan pada minuman beralkohol.  Micrococcus biasanya lebih tahan terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, garam, pengeringan, sehingga sering menyebakan kerusakan makanan olahan, seperti susu yang telah dipasteurisasi, daging, dan sayuran yang telah diasin. 
Pertumbuhan kapang pada makanan biasanya ditandai seperti kapas yang dapat terlihat oleh mata.  Kapang dapat tumbuh pada makanan seperti keju, selai, dan buah-buahan yang busuk.  Kapang yang termasuk ordo Mucorales hidup dari sisa bahan pertanian (saprofit) dan biasanya merupakan sumber kerusakan pada bahan-bahan yang telah dikeringkan, misalnya jaeh, biji-bijian, kacang-kacangan, kulit, dan kayu.  Jenis kapang terpenting antara lain Rhizopus nigrificans yang dapat tumbuh pada roti dan menimbulkan warna hitam yang tidak disukai.
Aspergillus flavus merusak makanan berkadar gula cukup tinggi seperti jam, jeli, sirup dan manisan, serta dapat mengubah warna makanan, misalnya dari kuning menjadi coklat kehitaman.  Selain itu, Aspergillus flavus ini juga memproduksi aflatoksin, yaitu suatu racun/toksin yang berbahaya bagi manusia dan hewan, misalnya sering tumbuh pada kacang tanah, kopra, jagung dan beras.  Aspergillus glaucus biasanya tumbuh pada buah-buahan yang dikeringkan yang berkadar gula tinggi seperti pisang sale dan kurma.
Kamir Rhodotorulla bersifat fermentatif yang sering tumbuh pada daging dan pickles (acar/asinan) yang dapat menyebabkan terjadikan kerusakan produk dan perubahan warna.


Bahan Bacaan

Lukman DW.  2000.  Pembusukan Bahan Makanan oleh Mikroorganisme.  Bahan Kuliah Pascasarjana.  Program Studi Kesmavet Program Pascasarjan IPB.  Bogor  [tidak diterbitkan]

Sinell HJ.  1992.  Einführung in die Lebensmittelhygiene.  3. Überarbeitete Auflage.  Verlag Paul Parley, Berlin

Sabtu, 16 Maret 2013

Emerging Zoonosis


Emerging Zoonosis Bersumber Satwa Liar


Denny W. Lukman


Beberapa tahun terakhir perdagangan satwa liar semakin marak di dunia yang dipengaruhi antara lain oleh perubahan gaya hidup dan ekonomi.  Perdagangan tersebut bersifat lokal, regional, dan internasional, baik secara legal maupun illegal.  Dari aspek kesehatan hewan dan manusia, hal tersebut memicu penyebaran dan penularan penyakit yang mengancam manusia, peternakan, perdagangan internasional, perekonomian, populasi satwa liar asli, dan kesehatan lingkungan.

Sebanyak 30.2% penyebab utama tingkat kesakitan dan kematian pada manusia dan 25% kematian global berasal dari penyakit menular (WHO 2000).  Zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia) merupakan mayoritas dari penyakit menular yang menimbulkan tingkat kesakitan dan kematian pada manusia (Katare dan Kumar 2010).  Sebanyak 1415 mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia telah diidentifikasi, yang terdiri dari 217 virus dan prion, 538 bakteri dan riketsia, 307 cendawan (fungi), 66 protozoa, dan 287 cacing.  Dari 1415 mikroorganisme tersebut, 868 (61.3%) mikroorganisme bersifat zoonotik.  Sebanyak 175 dari 1415 (12.4%) mikroorganisme tersebut terkait penyakit  infeksius baru (emerging infectious disease/EID) dan yang muncu kembali (reemerging infectious disease/REID).  Dari 175 mikroorganisme mikroorganisme EID/REID, 132 (75%) bersumber pada hewan atau bersifat zoonotik (Taylor et al. 2001).  Selanjutnya, sekitar 60.3% dari 335 EID dan REID selama 60 tahun terakhir disebabkan oleh agen penyakit zoonotik, yang 71.8% di antaranya bersumber di satwa liar (Cunningham 2005;  Jones et al. 2008).

Satwa liar telah diketahui berperan dalam peningkatan kejadian penyakit menular pada manusia.  Satwa liar sebagai sumber (reservoar) utama berkembangnya penyakit menular dan zoonosis pada manusia dan hewan domestic (Daszak et al. 2000;  Kruse et al. 2004).   
Kepentingan dan pengetahuan mengenai satwa liar sebagai reservoar semakin meningkat karena zoonosis yang bersumber satwa liar menyebabkan permasalahan utama kesehatan masyarakat di dunia (Kruse et al. 2004). 

Secara umum, zoonosis bersumber satwa liar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu (1) penyakit bersumber satwa liar yang penularannya jarang terjadi, namun jika sekali terjadi maka penularan antara manusia dan manusia dapat berlangsung selama beberapa periode waktu atau secara permanen, contohnya AIDS oleh HIV, influenza A, virus Ebola, dan SARS; dan (2) penyakit bersumber satwa liar yang penularannya secara langsung dan/atau diperantarai vektor, contohnya rabies, virus Nipah, virus West Nile, Hantavirus, lyme borreliosis, plague, tularemia, leptospirosis, dan ehrlichiosis (Bengis et al. 2004).

Sebagai contoh emerging zoonosis yang bersumber satwa liar adalah infeksi virus Ebola.  Infeksi virus tersebut pertama kali terjadi di bagian barat daya Sudan dan Republik Demokratik Kongo tahun 1976 (Shakespeare 2009).  Virus Ebola memiliki tingkat kematian tinggi pada manusia karena memiliki subtipe yang berbeda-beda (Leroy et al. 2004).  Kasus infeksi virus Ebola yang terjadi pada manusia dikaitkan dengan penanganan karkas gorilla, simpanse, atau duiker (Sylvicapra grimmia), dan kontak langusng manusia dengan hewanmati (Bengis et al. 2004). 

Contoh lain emerging zoonosis yang bersumber pada satwa liar yang ditularkan melalui vektor caplak adalah lyme borreliosis.  Lymve borreliosis disebabkan oleh sprirochaeta Borrelia burgdorferi yang ditularkan melalui caplak Ixodes ricinus di Eropa dan Ixodes scapularis dan Ixodes pacificus di Amerika Utara.  Siklus silvatik menjadikan inang dan reservoir tetap pada mamalia liar kecil, rodensia, dan burung pemakan tanah di area endemik.  Perubahan ekologi pada lahan pertanian, deforestasi, dan perkembangan populasi manusia menyebabkan peningkatan populasi rodensia sebagai reservoir, yang diiringi dengan peningkatan populasi caplak sebagai vektor.  Kasus pertama lyme borreliosis pada manusia terjadai tahun 1970-an di Amerika Utara, yang menyebabkan gangguan kulit, sistem saraf, jantung, dan persendian.  Contoh reemerging zoonosis bersumber satwa liar adalah rabies, Rift Valley fever, virus Marburg, bruselosis, bovine tuberculosis, tularemia, plague, dan leptospirosis (Bengis et al. 2004).  Agen patogen yang berinduk semang pada satwa liar memiliki risiko relative (relative risk) lebih tinggi dalam kemunculan penyakit baru (emerging disease) daripada agen patogen yang memiliki sebaran induk semang yang terbatas (Cleaveland et al. 2007).

Faktor risiko yang memicu munculnya emerging zoonosis dan reemerging zoonosis antara lain: (1) faktor mikroorganisme yang terkait dengan agen;  inang atau reservoir dan manusia yang terinfeksi dapat menghasilkan jenis baru (varian baru) yang dapat menembus barrier spesies lain;  (2) faktor perubahan lingkungan yang merupakan hasil dari kerusakan (degradasi) lingkungan, demografi manusia dan hewan, perubahan pola pertanian, introduksi spesies asing, dan perubahan iklim;  (3) faktor perilaku sosial dan budaya, seperti kebiasaan makan, kepercayaan, dan agama;  (4) faktor ekonomi (WHO/FAO/OIE 2004).  Sebagian besar faktor tersebut erat kaitannya dengan faktor risiko antropogenik atau berasal dari manusia.

Deforestasi hutan tropis menyebabkan peningkatan kontak antara satwa liar dan manusia (terutama pemburu).  Penebangan hutan secara sekaligus (clear-cut logging) kurang menyebabkan kemunculan zoonosis dibandingkan dengan tebang pilih (selective extraction) karena terjadinya kontak antara manusia dan satwa liar relatif kurang pada penebangan hutan sekaligus dibandingkan dengan tebang pilih.  Praktik tebang pilih dapat menjaga kelestarian kegaman hayati satwa liar dibandingkan dengan penebangan hutan sekaligus, yang berarti juga menjaga keragaman patogen zoonotik potensial bagi manusia (Wolfe et al. 2005).

Faktor risiko lain yang terkait dengan kemunculan zoonosis bersumber satwa liar adalah peningkatan konsumsi daging satwa liar (bushmeat) di beberapa belahan dunia, terutama Afrika Tengah dan lembah Sungai Amazon.  Wabah virus Ebola di Afrika bagian barat dikaitkan dengan konsumsi daging simpanse yang telah mati, trikinelosis dikaitkan dengan konsumsi daging rusa yang dimasak kurang matang, dan hepatitis E yang menyebabkan kematian pada pemburu di Jepang terkait dengan konsumsi babi liar (Chomel et al. 2007).  Bushmeat monyet menularkan parasit gastrointestinal, seperti Trichuris sp., Entamoeba coli, Strongyloides fulleborni, dan Ancylostoma spp. di Kamerun.  Kelelawar sering dimanfaatkan juga sebagai bushmeat untuk dikonsumsi.  Kelelawar memiliki peran signifikan bagi kesehatan karena berperan sebagai inang reservoar beberapa virus (Calisher et al. 2005), seperti virus Hendra, virus Nipah, dan rabies (Krauss et al. 2003).

Di Afrika, pemanfaatan satwa liar, seperti cane rat hingga gorilla, untuk dijadikan makanan manusia.  Peningkatan perdagangan bushmeat dipicu oleh kebudayaan, politik, dan ekonomi (Karesh dan Noble 2009).  Di Asia Timur dan Tenggara, puluhan juta satwa liar didatangkan tiap tahun dari regional dan seluruh dunia untuk makanan atua penggunaan obat tradisional.  Diperkirakan lebih dari 1 miliar kilogram bushmeat diperdagangkan di Aftika Tengah baik untuk konsumsi lokal dan regional, sedangkan di lembah Sungai Amazon diperdagangkan 67 hingga 164 kilogram bushmeat dengan jumlah mamalia yang dikonsumsi sebanyak 6.4 juta hingga 15.8 juta ekor (Karesh et al. 2005).


Risiko munculnya zoonosis yang disebabkan oleh perburuan dan konsumsi daging satwa liar semakin menjadi perhatian global karena terkait dengan peningkatan populasi manusia, perdagangan global, dan kontak antara manusia dan hewan.  Perburuan satwa liar oleh manusia dapat membawa risiko perpindahan patogen antar spesies (Wolfe et al. 2005).




Pustaka

Bengis RG, Leighton FA, Fischer JR, Artois M, Mörner T, Tate CM.  2004.  The role of wildlife in emerging and re-emerging zoonoses.  Rev sci tech Off int Epiz. 23(2):497-511.

Calisher CH, Childs JE, Field HE, Holmes KV, Schountz T.  2006.  Bats: important reservoir hosts of emerging viruses.  Clin Microbial Rev. 19(3):531-545.

Chomel BB, Belotto A, Meslin FX.  2007.  Wildlife, exotic pets, and emerging zoonoses.  Emerg Infect Dis. 13(1):6-11.

Cleaveland SC, Haydon DT, Taylor L. 2007.  Overviews of Pathogen Emergence: Which Pathogens Emerge, When and Why?  Dalam: Childs JE, MackenzieJS, Ticht JA, editor, Wildlife and Emerging Zoonotic Diseases: The Biology, Circumstances and Concequencies of Cross-Species Transmission.  Berlin: Springer.  Hlm 85-111.

Cunningham AA.  2005.  A walk on the wild side – emerging wildlife diseases.  Brit Med J. 331:1214-1215.

Daszak P, Cunningham AA, Hyatt AD.  2000.  Emerging infectious diseases of wildlife – threats to biodiversity and human health.  Sci. 287:443-449.

Jones KE, Patel NG, Levy MA, Storeygard A, Balk D, Gittleman JL, Daszak P.  2008.  Global trends in emerging infectious disease.  Nature 451:990-993.

Katare M, Kumar M.  2010.  Emerging zoonoses and their determinants.  Vet World. 3(10):481-486.

Krauss H, Weber A, Appe M, Enders B, Isenberg HD, Schiefer HG, Slenczka W, von Graevenitz A, Zahner H.  2003.  Zoonoses:  Infectious Diseases Transmissible from Animals to Humans.  Washington, DC: ASM Pr.

Leroy EM, Rouquet P, Formenty P, Souquière S, Kilbourne A, Froment JM, Bermenjo M, Smit S, Karesh W, Swanepoel R, Zaki SR, Rollin PE.  2004.  Multiple Ebola virus transmission events and rapid decline of Central Africa wildlife.  Sci. 303:387-390.

Karesh WB, Cook RA, Bennett EL, Newcomb J.  2005.  Wildlife trade and global disease emergence.  Emerg Infect Dis. 11(7):1000-1002.

Karesh WB, Noble E.  2009.  The bushmeat trade: increased opportunities for transmission of zoonotic disease.  Mt Sinai J Med. 76:429-434.

Shakespeare M.  2009.  Zoonoses.  Ed ke-2.  London: Pharmaceutica Pr.

Taylor LH, Latham SM, Woolhouse MEJ.  2001. Risk factors for human disease emergence.  Phil Trans R Soc Lond B Biol Sci. 356:983-989.

[WHO] World Health Organization.  2000.  The World Health Report 2000 Health Systems:  Improving Performance.  Geneva: WHO.

[WHO/FAO/OIE] World Health Organization/Food and Agriculture Organization of the United Nations/World Organization for Animal Health.  2004.  Report of the WHO/FAO/OIE joint consultation on emerging zoonotic disease.  Geneve:WHO/FAO/OIE.

Wolfe ND, Dunavan CP, Kilpatrick AM, Burke DS.  2005.  Bushmeat hunting, deforestation, and prediction of zoonoses emergence.  Emerg Infect Dis. 11(12):1822-1827.


Sabtu, 05 Januari 2013

Bahaya Biologis pada Daging

BAHAYA BIOLOGIS PADA DAGING

Denny W. Lukman



Daging sebagai pangan harus memenuhi persyaratan aman dan layak dikonsumsi oleh manusia.  Mengingat daging berpotensi dapat membawa penyakit hewan ke manusia (foodborne zoonosis), maka penerapan kesehatan hewan dan keamanan pangan mulai dari peternakan sampai siap dikonsumsi sangat diperlukan. Penyakit zoonotik saat ini dan ke depan menjadi ancaman kesehatan masyarakat, terutama di negara berkembang, terkait peningkatan jumlah penduduk, globalisasi perdagangan, deforestasi, perubahan gaya hidup, dan perubahan agen patogen.

Daging dapat menjadi pembawa mikroorganisme (bahaya biologis) baik dari saat hewan hidup maupun setelah hewan dipotong.  Selain itu, daging dapat pula mengandung residu dan bahan kimia lain (bahaya kimiawi), seperti residu antibiotika, residu hormon, dan cemaran logam berat.  Beberapa residu dan cemaran bahan kimia pada daging mentah tersebut umumnya akan tetap berada pada daging yang diolah lebih lanjut karena bahan kimia tersebut umumnya tidak terurai atau jika terurai masih berbahaya bagi kesehatan konsumen. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan keamanan pangan mulai dari peternakan sampai di konsumen sangat penting.

Pada tahun 2007 di Amerika Serikat dilaporkan 235 wabah foodborne illness dan banyak terkait dengan produk unggas dan daging sapi (CDC 2010).  Pada tahun 2009 telah dilaporkan sebanyak 5550 wabah foodborne illness yang melibatkan 48 984 orang yang mengakitabkan 4356 orang dirawat di rumah sakit dan 46 orang meninggal dunia.  Di antara agen patogen penyebab foodborne illness yang paling banyak dilaporkan adalah Campylobacter dan Salmonella dan umumnya terkait dengan daging unggas segar dan telur, produk unggas, dan daging babi (EFSA 2011).

Mikroorganisme patogen yang menjadi perhatian utama untuk dikendalikan pada daging segar (mentah) antara lain bakteri Salmonella, Campylobacter, enterohaemorrhagic E. coli termasuk serotipe O157:H7 dan bakteri enterik lainnya (EFSA 2011; Sofos 2008).  Dari laporan website Food Safety and Inspection Service (FSIS) Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) tahun 2012 terkait penarikan produk daging, mikroorganisme utama yang banyak dilaporkan adalah Listeria, E. coli O157:H7, dan Salmonella (FSIS USDA 2012).  Salmonella diperkirakan masih menjadi foodborne illness, sehingga masih menjadi perhatian utama dalam pengendalian keamanan pangan di masa depan.  Listeria monocytogenes juga menjadi perhatian utama dalam pengawasan produk daging dan unggas yang siap santap (ready-to-eat meat and poultry), mengingat kejadiannya sering sangat berpotensi mencemari makanan yang telah diolah dan dapat berkembang biak pada suhu dingin (Sofos 2008).

Bahaya biologis lain yang dapat dijumpai pada daging adalah cacing atau protozoa yang bersifat zoonotik dalam bentuk larva berkista dalam daging, seperti kista cacing pita Taenia saginata (cysticercus bovis) pada daging sapi dan Taenia solium (cysticercus cellulocae) pada daging babi, cacing pita Echinococcus sp. pada hati domba, kista cacing Trichinella spiralis pada daging babi, serta kista (bradizoit) Toxoplasma pada daging domba dan kamibng.  Keberadaan parasit zoonotik tersebut umumnya kurang mendapat perhatian keamanan pangan dan kesehatan masyarakat, yang sering disebut neglected zoonotic diseases.  Bahaya biologis lainnya pada daging yang relatif bersifat baru (emerging) adalah prion penyebab penyakit sapi gila (mad cow atau bovine spongiform encephalopathy/BSE) yang bersifat zoonotik.

Umumnya keberadaan bakteri pada daging segar dapat dikendalikan (dimatikan atau diturunkan jumlahnya sampai tingkat yang aman bagi konsumsi manusia) selama proses pengolahan daging, khususnya yang menggunakan panas, namun prios sangat sulit dieliminasi dari produk daging dengan proses pemanasan karena daya tahannya terhadap panas dan perlakuan lain.  Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (World Organization for Animal Health atau dikenal dengan OIE) mensyaratkan prosedur pembuatan tepung daging-tulang asal ruminansia (ruminant meat-bone-meal) sebagai bahan baku makanan ternak (pakan) non-ruminansia untuk menguranig infektifitas prion, yaitu ukuran partikel bahan baku sebelum dipanaskan maksimum 50 mm dan pemanasan minimum 132 derajat Celcius selama minimum 20 menit dengan tekanan absolut 3 bar (WOAH 2011).



Pencegahan dan Pengendalian

Pencegahan dan pengendalian bahaya biologis pada pangan asal hewan diterapkan pada semua tahapan dalam rantai pangan asal hewan, mulai dari peternakan sampai di konsumen.  Tindakan dalam setiap tahap berupa praktik yang baik (good practices) yang mencakup penerapan higiene pada bangunan, lokasi, peralatan, proses, dan pekerja.  Praktik yang baik ini merupakan dasar atau fondamen yang esensial dalam penerapan sistem jaminan keamanan pangan di unit usaha pangan, sehingga dijadikan program persyaratan dasar (prerequisite program) dalam penerapan sistem tersebut.  Sistem jaminan keamanan pangan yang sangat dianjurkan dalam industri pangan adalah sistem hazard analysis critical control point (sistem HACCP) dan saat ini diperkenalkan juga sistem manajemen keamanan pangan menurut ISO 22000.  Kedua sistem tersebut menekankan pada tindakan pencegahan (preventive measures).

Di Indonesia, penerapan praktik yang baik, khususnya penerapan higiene sanitasi, pada unit usaha daging dibuktikan dengan perolehan sertifikat nomor kontrol veteriner (NKV) yang diterbitkan oleh Dinas Provinsi yang memiliki fungsi bidang kesehatan masyarakat veteriner (Kesmavet).  Salah satu praktik higiene yang baik dalam menangani daging segar dan daging olahan adalah penerapan rantai dingin, yaitu penanganan dan penyimpanan daging pada suhu dingin (di bawah atau sama dengan 4 derajat Celcius untuk daging segar dan di bawah atau sama dengan minus 18 derajat Celcius untuk daging beku).  Salah satu tindakan pencegahan yang dapat diterapkan industri daging adalah pemasok daging segar harus memiliki sertifikat NKV atau sistem jaminan keamanan pangan (HACCP atau ISO 22000).  Selain itu, program pelatihan sumberdaya manusia di industri daging sangat penting untuk mendukung penerapan sistem jaminan keamanan pangan yang konsisten dan efektif.



Daftar Pustaka

[CDC] Centers for Disease Control and Prevention.  2010.  Surveillance for foodborne disease outbreaks—United States, 2007. MMWR 59:973–9.

[EFSA] European Food Safety Authority.  2011.  The European Union summary report on trends and sources of zoonoses, zoonotic agents and food-borne outbreaks in 2009.  EFSA J 9:2090.

[FSIS USDA] Food Safety and Inspection System United States Department of Agriculture.  2012.  FSIS Recalls: recall case archieve.  http://www.fsis.usda.gov/ Fsis_Recalls/Recall_Case_Archive/index.asp

Sofos JN.  2008.  Challenges to meat safety in the 21st century.  Meat Sci 78:3-13.

[WOAH] World Organization for Animal Health.  2011.  Terrestrial animal health code 2011: Bovine spongiform encephalopathy.  http://www.oie.int/ index.php?id=169&L= 0&htmfile=chapitre_1.11.5.htm