Minggu, 21 Februari 2010

ANALISIS RISIKO TERHADAP BAHAYA KIMIAWI DALAM PANGAN

Denny Widaya Lukman

Pendahuluan

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar untuk menunjang kelangsungan hidup, menjaga kesehatan, pertumbuhan tubuh dan kecerdasan. Namun pangan juga memiliki risiko bahaya terhadap kesehatan konsumen. Untuk menjamin kesehatan masyarakat, risiko bahaya dalam pangan yang dapat mengganggu kesehatan manusia harus dikendalikan sampai tingkat yang dapat diterima (acceptable level). WHO/FAO telah mengembangkan suatu pendekatan untuk menilai risiko tersebut yang dikenal dengan analisis risiko (risk analysis). Analisis risiko telah diterapkan dengan baik pada bahaya kimiawi. Selain itu, analisis risiko juga dikembangkan terhadap bahaya mikrobiologis dan pemasukan komoditi ke dalam suatu wilayah (impor). Penerapan analisis risiko untuk standar pangan dan keamanan pangan telah dikembangkan pada pertemuan Joint FAO/WHO Expert Consultation on the Application of Risk Analysis to Food Standards Issues pada Maret 1995 di kantor pusat WHO Jenewa Swiss (WHO 1995).

Penerapan pendekatan analisis risiko sangat potensial untuk menilai risiko dan keuntungan (benefits) dalam program higiene pangan dan menjadi dasar ilmiah pengembangan standar-standar, guidelines dan recommendations tentang keamanan pangan. Analisis risiko yang dikembangkan untuk keamanan pangan tersebut terdiri dari tiga komponen, yaitu (1) penilaian risiko (risk assessment), (2) manajemen risiko (risk management), dan (3) komunikasi risiko (risk communication) (Hathaway dan Cook 1997).

Dalam perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS), setiap negara anggota World Trade Organization (WTO) diperkenankan menetapkan sanitary measures untuk melindungi negaranya dari risiko-risiko masuknya beberapa penyakit dan agen patogen lainnya. Penetapan sanitary measures di suatu negara dapat mengacu kepada standar-standar, guidelines, recommendations dari badan-badan internasional seperti Codex Alimentarius Commission (CAC) dan Office International des Epizooties (OIE, World Organization for Animal Health). Namun jika tidak ada standar, guidelines atau recommendations yang relevan atau jika suatu negara memilih menerima tingkat perlindungan (level of protection) lebih tinggi, maka perlu dilakukan analisis risiko yang ilmiah untuk menetapkan apakah komoditi tertentu yang dimasukkan (impor) ke dalam wilayah negara tersebut memiliki risiko yang signifikan bagi kesehatan hewan dan manusia, dan jika ada, maka perlu ditetapkan sanitary measures untuk mengurangi risiko tersebut sampai pada tingkat yang dapat diterima. Namun tingkat perlindungan bagi komoditi impor tersebut tidak diperkenankan berbeda dari yang diterapkan pada pasar dalam negeri.

Risiko suatu bahaya memiliki dua komponen, yaitu (1) peluang (probability), dan (2) konsekuensi atau akibat jika bahaya itu muncul (OIE 2004). Analisis risiko akan membantu pengambil keputusan (decision maker) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

§ apa yang dapat menyimpang? (what can go wrong?)

§ bagaimana/berapa besar peluang penyimpangan tersebut? (how likely is it to go wrong?)

§ Apa konsekuensi/akibat dari penyimpangan itu? (what are the consequences of it going wrong?)

§ Tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi peluang dan atau konsenkuensi/akibat dari penyimpangan itu? (what can be done to reduce the likelihood and/or the consequences of it going wrong?).

Definisi Istilah Analisis Risiko untuk Keamanan Pangan

Berikut ini adalah definisi beberapa istilah-istilah dalam analisis risiko untuk keamanan pangan yang dipengaruhi oleh foodborne agents. Foodborne agents tersebut mencakup agen kimiawi, biologis dan fisik pada pangan (WHO 1995).

Pangan (food) adalah setiap zat, baik yang telah diproses, semi-proses atau mentah yang ditujukan untuk konsumsi manusia, termasuk minuman, permen karet, dan zat-zat yang digunakan dalam proses manufaktur, penyiapan atau perlakuan terhadap pangan, namun tidak termasuk kosmetik, tembakau, dan zat-zat untuk obat (any substance, whether processed, semi-processed or raw which is intended for human consumption, including drinks, chewing gum and any substance which has been used in the manufacture, preparation or treatment of food but excluding cosmetics, tobacco and substances used only as drugs).

Bahaya (hazard) adalah agen biologis, kimiawi atau fisik di dalam atau bagian dari pangan yang dapat mengganggu kesehatan manusia.

Risiko (risk) adalah suatu fungsi dari peluang (probability) suatu pengaruh berbahaya (adverse effect) dan besarnya/tingkat pengaruh tersebut sebagai konsekuensi adanya bahaya dalam pangan (a function of the probability of an adverse effect and the magnitude of that effect, consequential to a hazard(s) in food).

Analisis risiko (risk analysis) adalah suatu proses yang terdiri dari tiga komponen: penilaian risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko.

Penilaian risiko (risk assessment) adalah evaluasi ilmiah mengenai gangguan kesehatan yang diketahui atau potensial yang ditimbulkan dari keterpaparan manusia terhadap bahaya-bahaya yang terbawa oleh pangan (the scientific evaluation of known or potential adverse health effects resulting from human exposure to foodborne hazards).

Identifikasi bahaya (hazard identification) adalah identifikasi gangguan kesehatan yang diketahui atau potensial berkaitan dengan suatu agen tertentu (the identification of known or potential health effects associated with particular agent).

Karakterisasi bahaya (hazard characterization) adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif terhadap bentuk alamiah dari gangguan-gangguan kesehatan yang berkaitan dengan agen biologis, kimiawi dan fisik yang mungkin terdapat dalam pangan (the qualitative and/or quantitative evaluation of the nature of the adverse effects associated with biological, chemical, and physical agents which may be present in food).

Penilaian keterpaparan (exposure assessment) adalah evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif terhadap tingkat/derajat penyerapan (degree of intake) yang mungkin terjadi (the qualitative and/or quantitative evaluation of the degree of intake likely to occur).

Manajemen risiko (risk management) adalah proses untuk mempertimbangkan penerapan berbagai alternatif kebijakan, sebagai hasil dari penilaian risiko, dan apabila diperlukan, menyeleksi dan melaksanakan pilihan tindakan pengendalian yang tepat, termasuk tindakan regulasi (the process of weighing policy alternatives in the light of the results of risk assessment and, if required, selecting and implementing appropriate control options, including regulatory measures).

Komunikasi risiko (risk communication) adalah pertukaran informasi dan pendapat secara interaktif menyangkut risiko dan manajemen risiko antara penilai risiko (risk assessor), manajer risiko, konsumen dan pihak lain yang berminat (the interactive exchange of information and opinions concerning risks and risk management among risk assessor, risk managers, consumers, and other interested parties).

Penilaian dosis-respon (dose-response assessment) adalah penentuan hubungan antara tingkat keterpaparan dan tingkat dan atau frekuensi gangguan kesehatan (the determination of the relationship between the magnitude of exposure and the magnitude and/or frequency of adverse effects).

Analisis Risiko dalam Codex Alimentarius Commission

Analisis risiko dalam sistem Codex dilaksanakan oleh beberapa badan. Beberapa badan tersebut merupakan badan subsider (subsidiary body) dari Codex Alimentarius Commission (CAC), yaitu Codex Committee on Food Additive and Contaminants, Codex Committee on Pesticide Residues, Codex Committee on Veterinary Drugs in Foods, Codex Committee on Food Hgyiene, Codex Committee on Meat Hygiene, Codex Committee on Food Import and Export Inspection and Certification Systems, Codex Committee on Nutrition and Foods for Special Dietary Use. Badan-badan tersebut memiliki kewajiban menyiapkan draft standar-standar, guidelines dan recommendations untuk dipertimbangkan oleh CAC.

Masukan ilmiah dalam proses keputusan Codex secara rutin disiapkan oleh badan pakar independen (independent expert bodies) seperti the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA for additives, chemical contaminants and veterinary drug residues, serta the Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues (JMPR) for pesticide residues. Codex juga mendapat masukan dari badan-badan di luar sistem Codex, seperti the International Commission on Microbiological Specifications for Food (ICMSF).

Diskusi mengenai analisis risiko dalam Codex dapat dibagi dalam beberapa bidang yaitu bahan tambahan (food additives), kontaminan kimia (chemical contaminants), residu pestisida (pesticide residues), residu obat veteriner (veterinary drug residues) dan agen biologis (biological agents).

Proses Analisis Risiko

Tahapan proses analisis risiko yang dikembangkan oleh NAS-NRC (National Academic Science - National Research Council) dan yang digunakan oleh Codex Alimentarius Commission memiliki tiga komponen yaitu (1) penilaian risiko, (2) manajemen risiko, dan (3) komunikasi risiko.

Proses penilaian risiko menurut sistem NAS-NRC terdiri dari empat tahap yaitu (1) identifikasi bahaya (hazard identification), (2) karakterisasi bahaya (hazard characterization), (3) penilaian keterpaparan (exposure assessment), dan (4) karakterisasi risiko (risk characterization).

Manajemen risiko menurut sistem NAS-NRC dan CAC terdiri dari (1) evaluasi risiko (risk evaluation), (2) option assessment, (3) implementation, dan (4) monitoring and review.

Penilaian Risiko terhadap Agen Kimiawi pada Pangan

Penilaian risiko terhadap agen kimiawi meliputi bahan tambahan pangan, residu pestisida, residu obat hewan, kontaminan kimia, dan toksin-toksin alami (tidak termasuk toksin bakteri). Penilaian risiko terhadap agen kimiawi dilakukan secara kuantitatif (quantitative risk analysis).

Proses penilaian risiko ini membutuhkan informasi toksikologis yang memadai, khususnya berdasarkan protokol uji standar yang telah diakui/diterima oleh komunitas internasional. Selain itu, penilaian risiko ini akan lebih dipercaya jika menggunakan data yang dihasilkan oleh organisasi atau badan yang diakui atau kompeten, seperti JECFA (Joint FAO/WHO Experts Committee on Food Additives), JMPR (Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues), EPA (US Environmental Protection Agency), FDA (US Food and Drugs Administration), OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). Beberapa kendala dalam proses penilaian risiko antara lain tidak tersedianya atau tidak lengkapnya data toksikologis, baik jumlah, ruang lingkup maupun kualitas data.

Identifikasi Bahaya

Tujuan dari identifikasi bahaya adalah mengidentifikasi gangguan kesehatan mansia berkaitan dengan keterpaparannya pada suatu bahan kimia, peluang terjadinya efek tersebut dan kepastian atau ketidakpastian berkaitan dengan efek tersebut. Dalam hal ini, identifikasi bahaya merupakan evaluasi peluang kualitatif dari terjadinya efek pada populasi manusia yang terpapar, bukan ekstrapolasi kuantitatif risiko pada populasi manusia seperti tahapan dose-response dan karakterisasi risiko.

Mengingat data yang ada tidak memadai, maka identifikasi bahaya dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan weight of evidence. Pendekatan tersebut membutuhkan review yang memadai dan terdokumentasi dari informasi ilmiah yang relevan, yang diperoleh dari data base, peer-reviewed literatures, dan jika ada data yang tidak dipublikasikan dari industri-industri. Pendekatan ini menekankan pada kajian epidemiologis, toksikologis hewan, pengujian in vitro, dan hubungan struktur-aktivitas kuantitatif. Data dari kajian epidemiologis yang ideal berasal dari penelitan atau kajian yang dirancang pada manusia, namun karena biaya kajian tersebut cukup mahal maka data epidemiologis yang tersedia umumnya diperoleh dari hewan dan penelitian in-vitro.

Data toksikologis hewan yang dibutuhkan antara lain NOEL (no-observed-effect-level), NOAEL (no-observed-adverse-effect-level), MTD (maximum tolerated dose), mekanisme kerja, hubungan antara dosis yang diberikan dan diedarkan, farmakokinetik dan farmakodinamik.

Karakterisasi Bahaya

Mengingat konsentrasi agen kimia dalam pangan umumnya dalam jumlah sedikit (dalam ppm atau ppb), sedangkan data kajian toksikologi pada hewan berasal dari pemberian dosis tinggi atau melebihi, maka penggunaan data tersebut untuk diterapkan pada manusia yang terpapar dengan agen kimia dengan dosis sedikit harus hati-hati. Untuk itu perlu dilakukan kajian atau penilaian antara lain terhadap dose-response, dose-scaling, genotoxic and non-genotoxic carcinogens, non-threshold approach.

Dalam penilaian dose-response, data dose-response pada hewan (biasanya dengan dosis relatif besar) yang diekstrapolasikan kepada manusia (dosis sangat kecil), perlu dikaji secara hati-hati. Karakteristik bahaya dapat berubah dengan dosis atau bahkan hilang. Model dose-response akan menjadi tidak tepat/benar jika karakteristik respon pada hewan dan manusia secara kualitatif sama. Metabolisme bahan kimia dengan dosis kecil dan besar berbeda.

Pada dose-scaling, JECFA dan JMPR biasanya menggunakan mg per kg berat badan untuk interspecies scaling. Scaling factor yang ideal diperoleh dengan mengukur konsentrasi jaringan dan clearance rate pada organ target baik hewan maupun di manusia.

Agen kimiawi yang bersifat karsinogen perlu dikaji berdasarkan penelitian/percobaan in vitro atau in vivo, pendekatan threshold (ambang batas) seperti pendekatan NOEL-safety factor dan informasi mekanisme karsinogenisitas.

Pengembangan Acceptable Daily Intake (ADI) dapat didasarkan atas penelitian/percobaan NOEL atau NOAEL atau Effective Dose seperti ED10 atau ED50. ADI adalah estimasi jumlah bahan tambahan pangan (BTP) yang diekspresikan atas dasar berat badan yang dapat dicerna setiap oleh tubuh per hari selama kurun waktu tertentu tanpa menimbulkan risiko kesehatan yang berarti.

Penilaian Keterpaparan

Secara umum penilaian keterpaparan manusia terhadap agen kimiawi dalam pangan dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu (1) studi diet total (total diet studies), (2) studi selektif pada pangan individual (selective studies of individual foods), dan (3) studi porsi duplikat (duplicate portion studies). Selanjutnya, penilaian keterpaparan dapat langsung diperoleh dari hasil pemantauan langsung terhadap jaringan dan cairan tubuh manusia, misalnya penentuan tingkat senyawa organoklorin dalam susu ibu yang umumnya berasal dari diet merupakan penilaian terintegrasi dari pemaparan manusia terhadap senyawa organoklorin.

Data tingkat agen kimiawi pada pangan dapat diperoleh dari industri dan atau hasil pengujian laboratorium. Konsentrasi agen kimiawi dalam pangan dapat berubah (menurun) sebelum dikonsumsi, misalnya akibat pengolahan, penyimpanan atau reaksi dengan komponen pangan.

Karakterisasi Risiko

Luaran (outcome) karakteristik risiko adalah suatu estimasi peluang gangguan kesehatan pada populasi manusia sebagai konsekuensi keterpaparan. Karakterisasi risiko dilaksanakan dengan memperhatikan hasil identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya dan penilaian keterpaparan. Untuk agen kimiawi yang memiliki ambang batas (threshold), risiko populasi dikarakterisasi dengan membandingkan antara ADI dan keterpaparan. Peluang gangguan kesehatan pada manusia menjadi nol jika tingkat keterpaparan kurang dari ADI.

Bahan Bacaan

Hathaway SC, Cook RL. 1997. A regulatory perspective on the potential uses of microbial risk assessment in international trade. Int J Food Microbiol. 36: 127-133.

Office International des Epizooties. 2004. Handbook on import risk analysis for animals and animal products. Vol.1. Introduction and qualitative risk analysis. OIE, Paris.

World Health Organization. 1995. Application of risk analysis to food standards issues. Report of the Joint FAO/WHO Expert Consultation. WHO, Geneva.

World Health Organization/Food and Agriculture Organization. 2000. Joint FAO/WHO expert consultation on risk assessment of microbiological hazards in foods. FAO, Rome.

Sabtu, 20 Februari 2010

Tantangan DRH di RPH

Tantangan Dokter Hewan dalam Mengantisipasi Perkembangan RPH di Indonesia di Masa Depan

Denny W. Lukman

Bagian Kesmavet FKH IPB


Tantangan RPH di Masa Depan

  • Bangunan, fasilitas dan alat yang memenuhi persyaratan teknis (higiene sanitasi) – bangun baru, renovasi
  • Unit pemantauan (monitoring) dan surveilans penyakit hewan , zoonosis, dan meat borne diseases
  • Butchering – peningkatan fasilitas (pendingin, alat, dll), SDM terampil dan bersertifikat
  • Peraturan, pedoman – manajemen dan organisasi, deskripsi kerja SDM, kewenangan
  • Sistem identifikasi ternak dan telusur balik
  • Labelisasi (branding), sertifikasi produk
  • Penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu - sertifikasi RPH (GHP/GMP, NKV, sistem manajemen keamanan pangan/HACCP, sistem manajemen mutu, sistem manajemen lingkungan, dll)


Tantangan Dokter Hewan di RPH

  • Pengetahuan dan keterampilan (kompetensi): pemeriksaan antemortem dan postmortem, higiene pangan, sistem manajemen keamanan dan mutu pangan (GHP/GMP, HACCP, ISO), sanitasi lingkungan, penyakit hewan (infeksius dan non-infeksius, terutama PHMU), zoonosis, epidemiologi, sistem monitoring dan surveilans, manajemen dan analisis data, analisis risiko, butchering, peraturan perundangan dan etika veteriner (nasional, internasional), sosiologi, komunikasi, manajemen.
  • Soft skill: mandiri, kemampuan manajerial, disiplin, dapat berkomunikasi dengan baik, tangguh, memiliki komitmen tinggi, kerja keras, tegas, team work
  • Penguasaan program komputer dan internet: Words, Excell, SPSS, dll.
  • Sertifikasi profesi: standar kompetensi profesi, ahli Kesmavet/Higiene Pangan (?), pendidikan berkelanjutan dalam bidang RPH dan Higiene Daging
  • Penguasaan bahasa asing: bahasa Inggris

Apakah DRH memiliki kompetensi dalam keamanan pangan

Apakah Dokter Hewan memiliki Kompetensi dalam Keamanan Pangan?

Denny W. Lukman

Bagian Kesmavet FKH IPB

Sering saya dengar pertanyaan atau pernyataan "lho kok dokter hewan kerja di bidang pangan?" atau "memang dokter hewan belajar keamanan pangan?". Bahkan saat saya ikut pelatihan tentang mikrobiologi pangan, ada peserta yang bertanya "apa waktu kuliah dapat mikrobiologi?". Seorang kolega muda bercerita pengalamannya saat melamar di industri pengolahan susu, manajer HRD yang mewawancarainya berkata "mengapa Saudara sebagai dokter hewan melamar sebagai QA/QC di perusahaan ini? kami tidak memiliki peternakan sapi perah sendiri, kami mendapat pasokan susu segar dari koperasi“. Kolega muda itu menjelaskan dengan semangat apa yang dia peroleh selama kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH). Alhamdulillah, manajer tersebut memahami dan berkomentar "saya pikir dokter hewan itu kerjanya hanya mengobati dan menyuntik hewan".


Pengalaman lain saat FKH IPB membuka program studi Higiene Makanan Program Diploma 3. Banyak pertanyaan dan penolakan terkait kompetensi FKH dalam memberikan higiene makanan. Bahkan sampai ada pernyataan "mentang-mentang seorang dosen FKH belajar pascasarjana bidang higiene pangan di fakultas non-FKH, kemudian
setelah kembali ke Indonesia yang bersangkutan membuka program studi higiene makanan di FKH IPB". Pernyataan terakhir dibantah dengan penjelasan bahwa pendidikan doktor (strata 3) dalam bidang higiene pangan ditempuh di FKH di Eropa dan pendidikan doktor tersebut hanya diijinkan pada dokter hewan.

Higiene pangan (food hygiene) memang umum dikenal di Eropa dan merupakan salah satu bidang ilmu yang dipelajari di FKH di Eropa. Fokus yang dipelajari adalah higiene pangan asal hewan (daging, susu, telur, ikan dan madu, serta produk olahannya), termasuk cemaran lingkungan akibat aktivitas peternakan yang dapat mempengaruhi keamanan pangan.

Dalam pendidikannya, seorang dokter hewan telah mempelajari berbagai ilmu seperti mikrobiologi (bakteri, virus, riketsia, kapang dan kamir, terutama yang bersifat patogen), parasitologi, penyakit infeksius yang disebabkan mikroorganisme dan parasit, ektoparasit, higiene pangan, sanitasi, zoonosis, epidemiologi, kesehatan masyarakat, ilmu-ilmu klinik, farmakologi, fisiologi, biokimia, kimia klinik, praktek pemeriksaan antemortem dan postmortem di rumah potong hewan dan unggas, dan lain-lain. Ilmu-ilmu tersebut tentu saja memberikan dasar penting dalam menunjang kompetensi keamanan pangan. Pola pikir medis yang sistematis dalam diagnosa yang dimulai dari anamnese (pengumpulan informasi), pemeriksaan dan diagnosa dengan mempertimbangkan diagnosa banding dan atau hasil uji laboratorium, prognosa (kesimpulan) sampai kepada terapi (treatment) yang termasuk pemberian saran. Selain itu, pola pikir khas dokter hewan yang didasarkan pada kesehatan populasi, tindakan preventif dan pertimbangan ekonomis memberikan bekal khusus pada dokter hewan dalam tindakan pencegahan, pengendalian, pengawasan, pemantauan, surveilan, dan penyidikan.

Pengetahuan tentang mikrobiologi, parasitologi, farmakologi yang mencakup toksikologi, higiene pangan, zoonosis dan epidemiologi sangat penting dalam keamanan pangan.

Masalah keamanan pangan yang terkait kesehatan manusia, terutama yang dapat menyebabkan penyakit, atau yang dikenal dengan penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne illness atau foodborne disease) banyak disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus) dan parasit. Akhir-akhir ini salah satu penyebab emerging foodborne disease adalah prion, misalnya yang menyebabkan mad cow atau bovine spongiform encephalopathy (BSE). Tantangan ke depan dalam keamanan pangan nampaknya masih didominasi oleh patogen-patogen yang bersumber pada hewan atau yang dikenal bersifat zoonotik. Ada kecenderungan patogen tersebut dibawa pula oleh makanan, sehingga muncul istilah foodborne zoonosis. Contoh foodborne zoonosis yang masih menjadi masalah dan tantangan antara lain antraks, salmonelosis, bruselosis, prion disease.

Organisasi Kesehatan Hewan Dunia atau World Organization for Animal Health (OIE) melihat peran penting dokter hewan dalam keamanan pangan dan kesehatan masyarakat yang ditunjang pengetahuannya yang bertumpu pada kesehatan dan pencegahan. Hal ini juga didasarkan pada tujuan akhir (ultimate goal) dari kedokteran hewan adalah kesehatan manusia. Saya bahkan menyatakan bahwa salah satu kakinya berpijak pada kesehatan hewan dan satunya lagi pada kesehatan manusia.

Di akhir tahun 1950-an, Badan Kesehatan Hewan Dunia atau World Health Organization membuat istilah veterinary public health atau kesehatan masyarakat veteriner atau kesmavet. Bidang tersebut merupakan bidang kedokteran hewan yang merupakan jembatan antara pertanian dan kesehatan manusia. Bidang ini merupakan bidang terapan kedokteran hewan yang juga memerlukan kerjasama baik dengan bidang lain seperti kesehatan, teknologi pangan, ekologi, lingkungan.

Di masa depan tantangan bagi dokter hewan dalam bidang keamanan pangan semakin besar seiring dengan perubahan global, terutama terkait perkembangan penduduk, perubahan sistem pertanian, perambahan hutan, perubahan pola makan, perdagangan global dan perubahan iklim, yang berdampak munculnya patogen-patogen baru yang bahkan dapat bersumber pada hewan dan dapat ditularkan melalui produk hewan. Tuntutan terhadap penyediaan pangan yang aman dan layak semakin meningkat dan telah ditetapkan secara hukum oleh banyak negara. Selain itu, tuntutan penerapan sistem manajemen keamanan pangan, kesejahteraan hewan, penerapan analisis risiko dalam kebijakan impor dan ekspor perlu menjadi perhatian serius. Hal tersebut perlu mendapat perhatian dan kepedulian pendidikan kedokteran hewan dan pendidikan berkelanjutan bagi dokter hewan.

Bahan Tambahan Pangan Berbahaya dalam Pangan Asal Hewan

Denny Widaya Lukman
Bagian Kesmavet FKH IPB



Pendahuluan

Keamanan pangan merupakan persyaratan utama yang semakin penting di era perdagangan bebas. Masalah pentingnya keamanan pangan juga telah tercantum dalam Deklarasi Gizi Dunia dalam Konferensi Gizi Internasional pada tanggal 11 Desember 1992 „kesempatan untuk mendapatkan pangan yang bergizi dan aman adalah hak setiap orang“ (ICD/SEAMEO TROPMED RCCN 1999). Pangan yang aman, bermutu, bergizi, berada dan tersedia cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makan berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Setiap negara membutuhkan program keamanan pangan yang efektif untuk melindungi kesehatan bangsa dan berpartisipasi dalam produk perdagangan pangan internasional. Perdagangan merupakan pendorong penting bagi pengembangan ekonomi suatu negara dan dengan ekonomi global saat ini, tidak mungkin suatu negara tetap mengisolasi dari perubahan tuntutan persyaratan internasional tentang peraturan keamanan pangan. Berkaitan dengan pengaturan pangan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-undang tersebut merupakan landasam hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Undang-undang ini juga merupakan acuan dari berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan pangan. Agar Undang-undang Pangan ini dapat diterapkan dengan mantap, maka pemerintah melengkapinya dengan Peraturan Pemerintah. Salah satu peraturan pemerintah yang telah ditetapkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

Pangan asal hewan seperti daging, susu dan telur serta hasil olahannya umumnya bersifat mudah rusak (perishable) dan memiliki potensi mengandung bahaya biologik, kimiawi dan atau fisik, yang dikenal sebagai potentially hazardous foods (PHF). Hal tersebut berhubungan dengan faktor intrinsik pangan asal hewan yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, pangan asal hewan secara alami memiliki enzim-enzim yang dapat mengurai protein dan lemak sehingga terjadi autolisis. Oleh sebab itu, telah banyak cara atau metode yang dikembangkan untuk mengawetkan pangan dengan cara menghambat pembusukan dengan mengurangi atau menghilangkan mikroorganisme pembusuk dalam pangan asal hewan, bahkan juga dapat mengurangi dan menghilangkan mikroorganisme patogen.

Salah satu metode pengawetan pangan adalah pemakaian bahan tambahan pangan (BTP). Dari aspek keamanan pangan, pemakaian BTP yang salah dan berlebihan dapat membawa dampak negatif bagi kesehatan konsumen.


Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alamai bukan meruapakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Syah et al. 2005). Menurut Penjelasan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, antigumpal, pemucat, dan pengental.

Tujuan penggunaan BTP adalah untuk (1) mengawetkan makanan, (2) membentuk makanan lebih baik, lebih renyak dan enak di mulut, (3) memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera, (4) meningkatkan kualitas pangan, serta (5) menghemat biaya (Syah et al. 2005).

BTP digolongkan berdasarkan tujuan penggunaannya di dalam pangan. Pengelompokan BTP yang diizinkan digunakan pada makanan dapat digolongkan sebagai: pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan penguat rasa serta aroma, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap dan pengental, pengeras, dan sekuestran (pengikat ion logam). BTP lain yang ditambahkan ke makanan adalah enzim, penambah gizi, dan humektan yaitu BTP yang dapat menyerap uap air sehingga mempertahankan kadar air pangan (Syah et al. 2005).

Berdasarkan fungsinya, menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 235/Menkes/Per/VI/1979, BTP dapat dikelompokkan menjadi 14, yaitu: (1) antioksidan, (2) antikempal, (3) pengasam, penetral dan pendapar, (4) enzim, (5) pemanis buatan, (6) pemutih dan pematang, (7) penambah gizi, (8) pengawet, (9) pengemulsi, pemantap dan pengental, (10) pengeras, (11) pewarna alami dan sintetis, (12) penyedap rasa dan aroma, (13) sekuestran, (14) BTP lain.

Pada pangan asal hewan yang segar, terutama daging, banyak digunakan bahan pengawet oleh pedagang untuk memperpanjang masa simpan. Di Eropa, pemakaian bahan pengawet pada daging segar tidak diperkenankan. Pendinginan adalah cara yang diperkenankan untuk mempertahankan kesegaran daging. Jika mengikuti konsep aman sehat utuh dan halal (ASUH) di Indonesia, penggunaan bahan pengawet pada daging juga tidak diperkenankan, karena tidak memenuhi prinsip utuh (tidak ada penambahan atau pengurangan bahan). Selain bahan pengawet, BTP yang mungkin diberikan pada pangan asal hewan segar antara lain antioksidan dan enzim pengempuk daging.

Dalam prakteknya saat ini banyak produsen atau pedagang yang menggunakan bahan tambahan yang berbahaya bagi kesehatan konsumen yang sebenarnya bukan untuk pangan atau dilarang digunakan untuk pangan. Pengaruh BTP terhadap kesehatan manusia umumnya tidak langsung dapat dilihat atau dirasakan dalam waktu dekat, karena umumnya bersifat akumulatif (kronis). Praktek penggunaan BTP yang menyimpang oleh produsen atau pedagang pangan umumnya berkaitan dengan ketidak-tahuan produsen atau pedagang mengenai sifat dan keamanan BTP atau berkaitan dengan penghematan biaya produksi.

Penyimpangan atau pelanggaran penggunaan BTP yang sering dilakukan oleh produsen pangan, yaitu: (1) menggunakan bahan tambahan yang dilarang penggunaannya untuk makanan, dan (2) menggunakan BTP melebihi dosis yang diizinkan (Syah et al. 2005).

BTP yang diperkenankan digunakan untuk pangan telah diteliti dan diuji lama, terutama dari aspek toksisitasnya dan risiko terhadap kesehatan. Oleh sebab itu, setiap BTP telah ditetapkan nilai acceptable daily intake (ADI) dan batas maksimum penggunaannya oleh pemerintah atau organisasi internasional (Sinell 1992). Di tingkat internasional, masalah keamanan BTP (food additive) secara rutin dibahas oleh the Joint FAO/WHO Experts Committee on Food Additive (JECFA), yang merupakan forum internasional yang paling berwibawa di dunia dalam menyarikan pendapat dan pandangannya mengenai masalah keamanan BTP (Winarno 2004).

Dalam UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, BTP diatur dalam Bagian Kedua Pasal 10, 11 dan 12. Pangan yang diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai BTP yang dinyatakan terlarang atau melampaui batas maksimal yang ditetapkan. Pemerintah menetapkan BTP yang dilarang dan atau dapat digunakan, serta ambang batas maksimalnya (Pasal 10). BTP yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam pangan untuk diedarkan dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Pemerintah (Pasal 11).


Bahan Tambahan Berbahaya dalam Pangan Asal Hewan

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 menetapkan sejumlah BTP yang aman ditambahkan ke dalam pangan, serta menetapkan daftar BTP yang dilarang digunakan. BTP yang dilarang digunakan adalah: asam borat, asam salisilat, dietilpirokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan formalin. Terkait dengan distribusi dan pengawasan bahan berbahaya tersebut, Menteri Perdagangan telah menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-Dag/Per/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.

Untuk zat pewarna sebagai BTP yang dilarang telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 239/Menkes/ Per/V/1985, yang menetapkan 30 zat pewarna tertentu yang dinyatakan berbahaya. Zat pewarna yang dilarang adalah auramine, alkanet, butter yellow, black 7984, burn umber, chrysbidine, chrysoine S, citrus red no. 2, chocolate brown FB, fast red E, fast yellow AB, guinea green B, indanthrene blue RS, magenta, metanil yellow, oil orange SS, oil orange XO, oil yellow AB, oil yellow OB, orange G, orange GGN, orange RN, orchil and orcein, ponceau 3R, ponceau SX, ponceau 6R, rhodamin B, sudan I, scarlet GN, violet 6B.

Bahan tambahan berbahaya yang sering digunakan oleh produsen pangan asal hewan segar sebagau bahan pengawet, antara lain: formalin untuk karkas ayam dan asam borat (boraks) untuk pembuatan baso.


Formalin

Formalin atau formaldehid adalah larutan 37% formaldehid dalam air, yang biasanya mengandung 10-15% metanol untuk mencegah polimerisasi. Formalin ditujukan sebagai bahan antiseptik, disinfektan, dan pengawet jaringan atau spesimen biologi dan pengawet mayat. Selain itu, formalin umum digunakan untuk pembersih lantai; pembasmi lalat dan serangga; bahan pembuatan sutra, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak; bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea; bahan pembuatan parfum; bahan perekat untu produk kayu lapis.

Penyalahgunaan penggunaan formalin dalam makanan sering ditemukan pada jenis makanan tahu, mi, kerupuk, ikan, karkas ayam.

Dalam dosis rendah, jika formalin tertelan akan menyebabkan iritasi lambung, sakit perut, disertai muntah-muntah, menimbulkan depresi susunan syaraf, serta kegagalan peredaran darah. Selain itu, formalin juga dapat menyebabkan alergi, kanker (bersifat karsinogenik), mutagen atau perubahan fungsi sel atau jaringan (bersifat mutagenik). Dalam dosis tinggi, formalin yang tertelan dapat menyebabkan kejang-kejang, kencing darah, tidak dapat kencing, muntah darah, dan akhirnya menyebabkan kematian.

Penggunaan formalin dalam jangka waktu lama akan berakibat buruk pada organ tubuh, seperti kerusakan hati dan ginjal.


Asam Borat (Boraks)

Asam borat atau boraks atau boric acid merupakan senyawa berbentuk kristal putih, tidak berbau, serta stabil pada suhu kamar dan tekanan normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium hidroksida dan asam borat. Umumnya boraks digunakan untuk mematri logam, pembuatan gelas dan enamel, pengawet kayu, pembasmi kecoa. Namun boraks sering disalahgunakan untuk campuran pembuatan bakso, kerupuk, dan mi.

Boraks biasanya bersifat iritan dan racun bagi sel-sel tubuh, berbahaya bagi susunan syaraf pusat, ginjal, dan hati. Jika tertelan akan menimbulkan kerusakan usus, otak atau ginjal. Jika digunakan berulang-ulang secara kumulatif akan tertimbun di otak, hati, dan jaringan lemak. Asam borat ini akan menyerang sistem syaraf pusat dan menimbulkan gejala seperti mual, muntah, diare, kejang perut, iritasi kulit, gangguan peredaran darah, koma, bahkan dapat menimbulkan kematian akibat gangguan peredaran darah.


Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah golongan antibiotik dengan spektrum luas, dan biasa digunakan unutk mengobati infeksi Salmonella, meningitis, dan infeksi riketsia yang resisten dengan tetrasiklin.

Pada beberapa orang, kloramfenikol dapat menyebabkan ketidaknormalan produksi sel darah (blood dyscrasias) atau menyebabkan anemia aplastik akibat kerja kloramfenikol pada sumsum tulang. Kloramfenikol juga diketahui memiliki sifat karsinogenik. Oleh sebab itu, penggunaan kloramfenikol pada hewan produksi dilarang.


Pengawasan Bahan Tambahan Berbahaya dalam Pangan Asal Hewan

Dalam rangka menjamin pangan asal hewan yang aman dan layak (safe and suitable for human consumption) dianjurkan penerapan jaminan keamanan dan mutu pangan mulai dari peternakan sampai dikonsumsi. Konsep ini dikenal dengan safe from farm to table concept. Pada setiap tahapan dalam mata rantai penyediaan pangan asal hewan diterapkan good practices. Good practices di peternakan dikenal sebagai good farming practices, saat pemerahan dikenal sebagai good milking practice, di rumah pemotongan hewan/unggas dikenal good slaughtering practices, di industri dikenal sebagai good manufacturing practices. Good practices tersebut merupakan dasar atau fondamen dari penerapan sistem jaminan keamanan pangan.

Pengendalian dan pencegahan pemakaian bahan tambahan yang berbahaya dalam pangan yang efektif dimulai dari komitmen dari produsen pangan. Selain itu, pemerintah berkewajiban mengatur dan mengawasi produksi, distribusi dan peredaran bahan kimia sehingga tidak masuk ke dalam rantai makanan. Hal itu didukung oleh pemberlakuan peraturan perundangan dan penegakan hukumnya. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah antara lain pengambilan contoh dalam rangka monitoring dan surveilen, inspeksi, audit dan sertifikasi. Konsumen perlu dilibatkan dalam pengawasan pemakaian bahan tambahan berbahaya untuk pangan.

Di Indonesia, peraturan tentang bahan tambahan pangan telah diatur dalam UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, serta untuk jenis BTP yang dilarang ditetapkan melalui Permenkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, dan zat pewarna yang dilarang untuk makanan ditetapkan dalam Permenkes Nomor 239/Menkes/ Per/V/1985.

Pengawasan pemakaian bahan tambahan berbahaya dalam pangan asal hewan yang perlu dilaksanakan oleh Pemerintah antara lain inspeksi, monitoring dan surveilens, akreditasi dan sertifikasi. Untuk itu diperlukan sistem keamanan pangan asal hewan yang merupakan bagian dari sistem kesehatan masyarakat veteriner (SISKESMAVET), yang harus didukung oleh organisasi, sarana dan prasarana, sumberdaya manusia, program yang baik, sistem informasi yang baik, serta dana yang rasional dan operasional.

Pengujian laboratorium terhadap bahan tambahan berbahaya dari contoh pangan asal hewan perlu menjadi program nasional yang terencana, rutin, berkesinambungan sebagai bagian dari program monitoring dan surveilens. Pengujian contoh sebaiknya dilakukan di laboratorium yang terakreditasi. Data hasil pengujian laboratorium uji harus senantiasa dianalisis menggunakan statistik untuk memperoleh kesimpulan yang sahih, serta diinformasikan melalui jejaring informasi laboratorium, yang selanjutnya dibuat kesimpulan secara nasional oleh pemerintah mengenai keberadaan, jenis, konsentrasi, dan penyebaran bahan tambahan berbahaya dalam pangan asal hewan.



BAHAN BACAAN

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 235/Menkes/Per/VI/1979 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 239/Menkes/ Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-Dag/Per/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.

Sinell H.-J. 1992. Einführung in die Lebensmittelhygiene. 3. überarbeitete Auflage. Verlag Paul Parey, Berlin.

Syah D. et al. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan Jilid 2. M-Brio Press, Bogor.

Sistem HACCP

PENGANTAR HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP)



Denny Widaya Lukman



Pendahuluan


Sistem HACCP adalah:

  • suatu pendekatan ilmiah, rasional dan sistematik untuk mengidentifikasi (identify), evaluasi (evaluate) dan mengendalikan (control) bahaya (hazard) selama produksi, processing, manufacturing, penyiapan (preparation) dan penggunaan (use).
  • sistem jaminan keamanan pangan berdasarkan tindakan preventif (pencegahan)
  • sistem manajemen keamanan pangan yang preventif
  • bukan sistem pengujian (inspection)
  • diterapkan pada seluruh mata rantai produksi (from farm to table)
  • metode yang sistematik dan terdokumentasi dalam pengendalian keamanan pangan yang menggunakan pedoman (rules and guidelines) yang disusun untuk mencegah, mengeliminasi dan/atau mendeteksi bahaya pada seluruh tahapan produksi sampai ke konsumen.


HACCP dalam industri pangan harus melibatkan dan mendapat komitmen dari seluruh sumber daya manusia di industri tersebut (top management, plant manager, QA manager and people working in the plant)



HACCP sebagai Sistem Jaminan Keamanan Pangan

Penerapan HACCP dalam rangka keamanan pangan telah menjadi kebutuhan yang esensial. Alasannya sebagai berikut:

  • Penyakit yang ditularkan oleh makanan (foodborne diseases) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia dan merupakan suatu penyebab kerugian ekonomi.
  • Meningkatnya insidensi beberapa penyakit yang ditularkan bahan pangan, misalnya salmonelosis, di beberapa negara.
  • Menigkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang efek agen penyebab penyakit (foodborne pathogens) terhadap kesehatan.
  • Munculnya patogen-patogen baru, seperti Listeria monocytogenes, Escherichia coli penghasil verositotoksin, Campylobacter spp., trematoda, dll.
  • Meningkatnya jumlah masyarakat yang rentan, seperti orang lanjut usia.
  • Industrialisasi dan produksi masal pangan, yang dapat mengakibatkan (a) peningkatan resiko kontaminasi pada makanan, (b) besarnya jumlah konsumen yang dapat terkena wabah penyakit.
  • Urbanisasi, yang mengakibatkan semakin kompleksnya rantai makanan, yang dapat memperbesar kesempatan terjadinya kontaminasi pangan.
  • Metode teknologi dan pengolahan pangan baru memberikan perhatian terhadap keamanan produk yang dihasilkan serta mengantisipasi berbagai konsekuensi penanganan yang kurang baik terhadap produk tersebut selama persiapan di tingkat rumah tangga atau jasa boga (katering, restoran).
  • Perubahan pola hidup, yang mana orang-orang lebih banyak makan di luar, seperti di restoran, kaki lima, dll.
  • Peningkatan wisatawan dunia dan perdagangan pangan internasional, yang mengakibatkan peningkatan keterpaparan terhadap bahaya-bahaya yang dapat ditularkan oleh bahan pangan (foodborne hazards) dari daerah lain.
  • Peningkatan pencemaran lingkungan.
  • Peningkatan kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan.


Kegunaan Sistem HACCP

  • Sistem HACCP dapat digunakan sebagai metode jaminan keamanan pangan dalam produksi, proses, manufacturing, dan penyiapan pangan.
  • Sistem HACCP dapat digunakan sebagai alat pemeriksaan (inspection) dalam pengawasan pangan (food control). Pengawasan akan lebih efisien, karena pengawas (food inspector) lebih dititik-beratkan pada penilaian rencana HACCP dan konfirmasi bahwa rencana tersebut didisain sempurna dan dapat dilaksanakan secara efektif.
  • Konsep HACCP dapat digunakan dalam manajemen program-program keamanan pangan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang memiliki resiko tinggi terhadap kesehatan masyarakat.



Keuntungan Sistem HACCP

  • Sistem HACCP dapat mengatasi beberapa keterbatasan dari pendekatan tradisional terhadap pengawasan keamanan pangan – yang umumnya didasarkan pada pemeriksaan snap-shot dan pengujian produk akhir (end-product testing) - termasuk:

· mengatasi kesulitan dalam mengumpulkan dan menguji contoh yang cukup agar mendapatkan informasi yang berarti dan mewakili;

· mengatasi waktu yang relatif lama untuk mendapatkan hasil pengujian;

· menghindari kerugian akibat pemusnahan produk yang telah jadi atau penarikan produk di pasar setelah diketahui dari pengujian di akhir produksi bahwa produk tidak memenuhi persyaratan;

· mencegah identifikasi masalah pada produk akhir tanpa dapat mengetahui penyebabnya;

· mengatasi keterbatasan pada teknik pengujian snap-shot dalam rangka menduga masalah keamanan pangan yang potensial.

  • Sistem HACCP memiliki potensi untuk mengidentifikasi semua bahaya-bahaya yang mungkin muncul, walaupun belum pernah ada (pengalaman) “kegagalan”(failures) sebelumnya.
  • Sistem HACCP dapat mengakomodasi perubahan-perubahan yang mungkin akan diterapkan di dalam proses, seperti perubahan disain atau pergantian peralatan dengan yang lebih modern, penyempurnaan prosedur/proses dan perkembangan teknologi.
  • Dengan sistem HACCP, hubungan antara (a) industri pangan dan pengawas, (b) industri dan konsumen dapat disempurnakan. Dalam sistem HACCP, tindakan-tindakan pencegahan yang diterapkan untuk menjamin keamanan produk dilakukan secara ilmiah dan rasional. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan terhadap industri dan menjamin kelancaran usaha.
  • Data-data yang terkumpul dari pelaksanaan HACCP dapat menunjang pelaksanaan audit oleh pengawas.
  • Sistem HACCP dapat diterapkan pada semua rantai makanan.
  • Sistem HACCP dapat terintegrasi dalam sistem manajemen mutu, misalnya ISO 9000.


Prinsip HACCP

Codex Alimentarius Commission (1997):

Prinsip 1 : Analisis bahaya

Prinsip 2 : Identifikasi CCP

Prinsip 3 : Penetapan batas kritis

Prinsip 4 : Penetapan prosedur pemantauan CCP

Prinsip 5 : Penetapan tindakan koreksi

Prinsip 6 : Penetapan prosedur verifikasi

Prinsip 7 : Penetapan prosedur sistem pencatatan dan dokumentasi



Analisis Bahaya

Maksud analisis bahaya adalah:

1. Mengidentifikasi bahaya

2. Menyeleksi bahaya atas dasar analisis resiko

3. Mengembangkan tindakan-tindakan preventif di dalam proses atau produk untuk menjamin atau memperbaiki keamanan pangan (produk)

Dalam tahap ini, semua bahaya (biologis, kimia dan fisik) yang mungkin muncul pada setiap tahapan proses produksi ditabulasi dan dideskripsikan, termasuk tindakan pencegahannya (preventive measures) untuk mengendalikan bahaya tersebut.


Analisis bahaya dinilai atas dasar (a) bahaya akan terjadi/timbul dan (b) keparahan jika bahaya tersebut timbul (resiko).


Penilaian perlu memperhatikan:

  • tindakan pencegahan, eliminasi atau pengurangan bahaya tersebut sampai tingkat yang dapat diterima (acceptable level).
  • seluruh aspek yang berkaitan dengan proses dan produk. Misalnya: apakah produk mengandung bahan baku yang sensitif terhadap timbulnya bahaya, apakah tindakan sanitasi akan mempengaruhi timbulnya bahaya pada proses produksi, siapakah konsumen, apakah produk langsung dimakan atau perlu diolah lebih lanjut oleh konsumen.


Penggolongan Mikroorganisme dan Parasit Berdasarkan Tingkat Bahaya (ICMSF, 1986)

Penggolongan

Mikroorganisme/Parasit

Sangat Berbahaya

Clostridium botulinum tipe A, B, E dan F

Shigella dysenteriae

Salmonella typhi; paratyphi A, B

Hepatitis A dan E

Brucella abortus; Brucelle suis

Vibrio cholerae O1

Vibrio vulnificus

Taenia solium

Trichinella spiralis

Bahaya Sedang,

Penyebaran Cepat

Listeria monocytogenes

Salmonella spp.

Shigella spp.

Escherichia coli enterovirulen

Streptococcus pyogenes

Rotavirus

Grup virus Norwalk

Entamoeba histolytica

Dyphillobothrium latum

Ascaris lumbricoides

Cryptosporidium parvum

Bahaya Sedang,

Penyebaran Terbatas

Bacillus cereus

Campylobacter jejuni

Clostridium perfringens

Staphylococcus aureus

Vibrio cholerae, non-O1

Vibrio parahaemolyticus

Yersinia enterocolitica

Giardia lamblia

Taenia saginata


Contoh Bahaya-bahaya Kimia (Chemical Hazards):


Secara alami dapat terjadi:

Mikotoksin (misalnya aflatoksin) dari kapang

Skombrotoksin (histamin) dari dekomposisi protein

Siguatoksin dari dinoflagelata laut

Spesies jamur beracun (toxic mushroom)

Shellfish toxins

Toksin-toksin tanaman


Penambahan:

Bahan kimia pertanian: pestisida, fungisida, pupuk, insektisida, antibiotik dan hormon pertumbuhan

Polychlorinated biphenyls (PCB)

Bahan kimia asal industri

Logam berat

Bahan imbuhan pangan (food additives)


Contoh Bahaya Fisik (Physical Hazards):

Pecahan gelas

Serpihan kayu

Batu/kerikil

Serpihan logam

Serpihan tulang

Plastik

Benda-benda lain dari pekerja



Identifikasi Titik Kendali Kritis

Setelah semua bahaya dan tindakan pencegahannya dideskripsikan, CCP (titik kendali kritis) diidentifikasi.


Contoh titik-titik dalam tahapan proses produksi pangan yang mungkin merupakan CCP antara lain: pemanasan, pendinginan, pengendalian formulasi produk, higiene lingkungan. Misalnya: pemanasan harus dilakukan pada suhu dan lama tertentu, nilai pH produk harus tertentu.


Beberapa tahapan dalam proses produksi dapat dipertimbangkan dan dinyatakan sebagai titik kendali (Control Point = CP), tetapi sesungguhnya hanya terdapat sedikit CCP. CP tidak dimasukkan dalam rencana HACCP.


CCP dalam rencana HACCP dari satu produk yang sama namun dihasilkan dari dua produsen berbeda tidak sama, karena kedua produsen tersebut memiliki fasilitas produksi yang berbeda (lay out, peralatan, bahan baku) dan cara produksi yang berbeda. Selain itu keterampilan dan pengetahuan sumberdaya manusia berbeda.


Rencana HACCP generik (generic HACCP plan) dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam menentukan CCP.


Untuk membantu menentukan CCP dapat diguanakan Bagan Penetapan CCP (CCP Decision Tree).


Penetapan Batas Kritis

Batas kritis digunakan untuk membedakan kondisi yang “aman” dan “tidak aman” pada titik kritis. Batas kritis harus dilandaskan pada dasar ilmiah. Setiap CCP harus memiliki satu faktor batas kritis.

Batas kritis dapat diperoleh dari peraturan, standar, guidelines, pustaka ilmiah, hasil penelitian atau konsultasi dengan para pakar/ahli.

Kriteria yang sering digunakan untuk batas kritis:

waktu

suhu

kelembaban

aktivitas air (aw)

pH

keasaman (titratable acidity)

bahan pengawet

kadar garam

residu klorin (available chlorine)

viskositas


Penetapan Prosedur Pemantauan CCP

Maksud pemantauan titik kritis adalah:

1. membantu mengendalikan proses (apabila terdapat kecenderungan di luar kendali, maka dapat segera diambil tindakan untuk mengembalikan proses kembali di bawah kendali)

2. menentukan apakah terjadi hilang kendali (loss of control) dan penyimpangan pada titik kritis (melebihi atau tidak di dalam batas kritis)

3. menyediakan dokumentasi tertulis yang dapat digunakan untuk verifikasi.

Prosedur pemantauan titik kritis harus bersifat efektif. Pemantauan harus dilakukan secara berkala.Contih ukuran yang dapat dipakai dalam pemantauan:

observasi visual

suhu

waktu

pH

aw


Penetapan Tindakan Koreksi

Prosedur tindakan koreksi dan tanggung jawab pelaksanaan harus dispesifikasi. Tindaan tersebut termasuk mengembalikan proses menjadi di bawah kendali.


Penetapan Prosedur Verifikasi

Prosedur verifikasi perlu disusun dan dikembangkan agar dapat memelihara sistem HACCP dan menjamin bahwa sistem berjalan efektif.


Penetapan Prosedur Sistem Pencatatan dan Dokumentasi

Catatan perlu didokumentasi untuk menunjukkan bahwa sistem HACCP berjalan di bawah kendali serta tindakan koreksi yang tepat telah dilaksanakan apabila terjadi penyimpangan dari batas kritis. Hal tersebut menjadmin keamanan produk.



Penerapan HACCP

1. Menyusun tim HACCP

2. Menguraikan produk pangan dan distribusinya

3. Menguraikan cara penggunaan /konsumsi dan konsumennya

4. Menyusun diagram alir proses produksi

5. Verifikasi diagram alir

6. Analisis bahaya (Prinsip 1)

7. Identifikasi CCP (Prinsip 2)

8. Penetapan batas kritis (Prinsip 3)

9. Penetapan prosedur pemantauan (Prinsip 4)

10. Penetapan tindakan koreksi (Prinsip 5)

11. Penetapan prosedur verifikasi (Prinsip 6)

12. Penetapan prosedur sistem pencatatan dan dokumentasi (Prinsip 7)


Bahan Bacaan

Bryan, F. L. 1992. Hazard Analysis Critical Control Point Evaluations – A Guide to Identifying Hazards and Assessing Risks associated with Food Preparation and Storage. World Health Organization, Geneve.


Codex Alimentarius Commission (CAC). 1997. Food Hygiene – Basic Text. FAO/WHO, Rome.


International Commission on Microbiological Specifications of Food (ICMSF). 1996. Microorganisms in Food 4. Application of the Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) System to Ensure Microbiological Safety and Quality. Blackwell Scientific Publication, Oxford.


Mortimore, S. dan C. Wallace. 1994. HACCP – A Practical Approach. Chapman and Hall, London.


Motarjemi, Y., F. Käferstein, G. Moy, S. Miyagawa dan K. Miyagishima. 1996. Importance of HACCP for public health and development – The role of the World Health Organization. Food Control 7: 77-85.


Moy, G., Y. Motarjemi dan F. Käferstein. 1995. Application of HACCP to food manufacturing: some considerations on harmonization through training. Food Control 5: 131-139.


National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (NACMCF). 1998. Hazard Analysis Critical Control Point Principles and Application Guidelines. J. Food Protect. 61: 762-775.


Food and Drug Administration (FDA). 1997. Annex 5: HACCP Guidelines. http://vm.cfsan.fda.gov/~dms/fcannex5.html